Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siapa yang melahirkan penjahat ?

Sebuah pandangan kontroversial hasil kajian richard j. herrstein dan james q. wilson tentang penyebab tindakan kejahatan. dijelaskan dalam bukunya, kejahatan berasal dari faktor keturunan/biologis.(sel)

7 September 1985 | 00.00 WIB

Siapa yang melahirkan penjahat ?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PEMAHAMAN kita tentang kejahatan diam-diam menyerimpung beberapa doktrin yang sudah mapan. Belum lama ini, para kriminolog masih beranggapan bahwa sebab musabab timbulnya tindak kejahatan hampir seluruhnya akibat sikap lingkungan sosial yang keliru. Selalu ada cela lingkungan untuk dituding: keluarga yang tidak serasi, yang retak atau porak peranda, sekolah yang tak efektif, gang antisosial, dan pengangguran. Para kriminolog dengan kening berkerut, sama seriusnya dengan para mahasiswa ilmu sosial, berpegang kukuh pada diktum sosiolog-Prancis terkenal Emile Durkheim: fakta sosial tentunya harus ada penjabaran sosial. Teori atau pandangan sosiologis terhadap kejahatan sah dan tak tersangkal mendukung sikap para pembuat editorial, komentator, politisi, dan sebagian besar khalayak yang merasa dirinya terkait dengan permasalahan tersebut. Saat ini, jurnal dan karya ilmiah yang berkali-kali diulang kaji memberikan gambaran yang berbeda. Berbagai faktor sosiologis tetap tak dilepas, tapi perkaranya semakin jelas bagi para ahli bahwa kejahatan adalah hasil interaksi antara faktor sosial dan faktor biologis tertentu, khususnya pada para pelaku yang - karena berulang - kali melakukan tindak kejahatan - menjadi gangguan tetap bagi keamanan umum. Pandangan itu masih tetap kontroversial jawaban terhadap pertanyaan "apakah penjahat itu dilahirkan atau diciptakan" semakin menjurus pada kedua-duanya. Sebab musabab kejahatan terletak pada kombinasi ciri atau perangai yang cenderung bersifat biologis, yang disalurkan oleh lingkungan sosial ke kebiasaan atau tindakan kriminalitas. Ciri perwatakan itu sendiri tidak langsung menjurus ke tindak kejahatan. Lingkungan juga tidak membuat setiap orang jadi penjahat. Tetapi keduanya secara bersama menjadikan tiap penduduk bertanggung jawab terhadap guncangan kejahatan di jalan-jalan dan tempat-tempat umum. Upaya pembuktian tentang "kerja sama" faktor biologis dan sosiologis dalam melahirkan seorang penjahat bisa disimak lebih mendalam dalam buku Crime and Human Nature karangan Richard J. Herrstein dan James Q. Wilson, yang akan terbit September ini. Keduanya dari Universitas Harvard, masing -masing guru besar sosiologi dan ilmu pemerintahan. Bagian yang kami turunkan di sini adalah hasil adaptasi The New York Times Magazine atas buku tersebut. Bukti-bukti bahwa bakat kriminal memiliki akar lebih dalam ketimbang faktor lingkungan sosial acap kali mendapatkan pembenaran. Tapi ilmu sosial, sampai tahun-tahun terakhir, mengabaikan implikasi-implikasinya. Sejauh yang ditunjukkan oleh catatan-catatan yang ada, kejahatan, di mana saja dan sepanjang sejarah, menjadi tempat pelarian kaum lelaki muda. Apakah kemungkinan ditangkapnya laki-laki 20 kali lebih besar ketimbang rekannya yang wanita, seperti yang terjadi di Malawi atau Brunei, atau hanya empat berbanding enam kali, seperti di AS atau Prancis. Perbedaan jenis kelamin di dalam statistik kejahatan bersifat universal - kurang lebih sama. Dalam segi perbedaan umur, usia 18 tahun kadang-kadang empat kali lebih banyak melakukan tindak kejahatan ketimbang usia 40 tahun. Di AS, sekitar separuh dari pelaku kejahatan serius yang tertangkap tangan terdiri dari mereka yang berusia 20 tahun atau lebih muda. Mudah melakukan penjabaran sosial sepenuhnya tentang pengaruh usia dan jenis kelamin bagi tindak kejahatan. Anak laki-laki biasanya dilatih oleh ayahnya dan masyarakat melakukan permainan lebih kasar dan agresif ketimbang anak perempuan. Si buyung diharapkan mengambil tindakan balasan, dan bukannya pulang sambil menangis terkaing-kaing. Anak laki-laki dari berbagai latar belakang budaya dituntut memikul tanggung jawab orang dewasa, menanamkan kepercayaan dan memantapkan kewibawaan, atau menghabiskan usia di bangku sekolah sampai ia menganggapnya bukan lagi suatu berkah. Untuk waktu yang lama, berbagai faktor ini dianggap keseluruhan kisah. Toh akhirnya, universalitas perbedaan usia dan jenis kelamin dalam kejahatan menyadarkan sejumlah ilmuwan sosial tentang tidak masuk akalnya teori yang tak mau menjangkau peristiwa kemasyarakatan tertentu. Jika di dalam berbagai kebudayaan yang berbeda, Jepang dan Swedia, Inggris dan Meksiko ditemui perbedaan jenis kelamin dan usia, barangkali kita sudah sejak awal harus curiga ada hal mendasar yang terjadi sebelum orang tua memperlakukan si buyung dan si upik secara berbeda. Ada apa dengan para bujang, para gadis, dan orang-orang tua dari berbagai jenis masyarakat, yang mendorong mereka menekankan, ketimbang memaksakan, perbedaan jenis kelamin? Kita yakin bahwa setiap masyarakat dengan tidak semena-mena menanamkan sikap agresif pada anak lelaki. Sehingga dari sini bisa dijelaskan mengapa jenis kelamin ini seperti dipersiapkan melakukan lebih banyak tindakan kriminalitas, kelak. Toh, dalam sejumlah kebudayaan, lelaki usia muda tidak menolak tanggung jawab orang dewasa. Akibatnya, mereka meninggalkan sekolah, membajak sawah dan ladang, dan tanpa kecuali mengabdikan diri kepada masyarakat. Tapi itu tidak lagi diperlukan untuk menjawab pertanyaan tentang asal muasal bakat kriminal dengan argumen dan dugaan saja. Ada pembuktian. Tindak kejahatan pada umumnya, diakui, memiliki apa yang disebut komponen agresif. Eleanor Emmons Maccoby, profesor sosiologi pada Universitas Stanford, dan Carol Nagy Jacklin, kini psikolog pada Universitas Southern California, setelah mempelajari perbedaan jenis kelamin dalam sikap agresif, menyimpulkan adanya peranan biologis. Tapi kesimpulan hanya dapat ditarik, kata mereka, dari data yang menunjukkan bahwa secara rata-rata laki-laki lebih agresif dibandingkan wanita. Bahwa perbedaan jenis kelamin hadir dalam masa kanak sebelum sosialisasi peranan seks oleh orang dewasa. Dan bahwa perbedaan jenis kelamin yang sama hadir dalam kerabat biologis kita - kera dan siamang. Agresi makhluk manusia secara langsung bertalian dengan hormon seks, khususnya hormon seks laki-laki. Ini berdasarkan eksperimen pada para atlet yang mengikuti pertandingan olah raga dan pada para tahanan yang dikenal beringas berbakat jahat dari sono-nya. Tak ada satu pun bukti bernilai pasti dan semuanya masih dapat disanggah. Namun, umumnya, meyakini Maccoby dan Jacklin, seperti sebagian besar spesialis tentang perbedaan seks, bahwa konvensi seksual yang menganggap laki-laki berperan agresif memiliki akar biologis. Kesimpulan sebagian besar peneliti menyangkut tenaga pembangun yang membuat para remaja dan kaum muda berpeluang melakukan tindak kejahatan dan perangai tidak konvensional lainnya. Ini terjadi bila muncul tekanan tenaga baru yang menjurus kepada frustrasi, yang mendorong perangai secara tidak terkendali, bahkan oleh kesadaran dan kedewasaan orang bersangkutan. Akibatnya, biasanya, berupa kebadungan anak muda yang, sebagian kecil, menjurus ke jalur tindak kriminalitas. * * * Pembuktian faktor biologis bagi tindak kejahatan sangat menonjol dalam dua penelitian. Satu tentang pasangan kembar, lainnya mengenai anak angkat. Sejak 1920-an telah diketahui, pasangan kembar tumbuh dari sebuah telur subur yang mengakibatkan tumbuhnya keturunan yang sama: kembar identik. Atau, sepasang telur subur yang berlainan, yang masing-masing memiliki separuh gen - itulah kembar fraternal. Untuk menarik kesimpulan betapa pentingnya gen dalam pembentukan perangai seseorang, dapat dikenal dengan memperbandingkan dua kembar fraternal. Terlihat pasangan kembar identik lebih sama perangainya dibandingkan pasangan kembar fraternal. Belasan penelitian tentang tindak kejahatan dilakukan dengan menggunakan pasangan kembar. Sekitar 1.500 pasangan kembar telah digunakan oleh para peneliti di AS, Skandinavia, Jepang, Jerman Barat, Inggris, dan negeri lainnya. Kembar identik tampaknya lebih punya riwayat kriminalitas ketimbang kembar jenis lainnya. Almarhum Karl Christiansen, kriminolog Denmark, menggunakan pasangan kembar identik yang memiliki riwayat kejahatan di negeri itu. Setelah meneliti catatan yang ada pada polisi, pengadilan, dan penjara, Christiansen menyimpulkan, seorang di antara si kembar jenis itu melakukan tindak kejahatan 2 berbanding 1 dengan rekannya yang kembar fraternal. Di AS, hasil sama baru-baru ini dilaporkan oleh David Rowe, psikolog pada Universitas Oklahoma, yang menggunakan sistem kuesioner ketimbang dokumen resmi. Para pasangan kembar murid sekolah menengah di hampir semua sekolah di Distrik Ohio dikirimi daftar pertanyaan melalui pos. Di sana dijanjikan kerahasiaan di samping imbalan ala kadarnya jika formulir pertanyaan diisi dan dikembalikan. Para kembar ditanya tentang semua kegiatannya, termasuk perangai buruknya, teman-temannya, dan tentang saudara kembarnya masing-masing. Pasangan kembar identik ternyata memiliki perangai yang lebih serupa ketimbang dengan rekannya yang fraternal. Tambahan lagi, para kembar yang melakukan kegiatan bersama dengan yang lainnya tidak lagi memiliki kemungkinan berperangai buruk yang sama dengan mereka yang kurang bergaul. Tidak satu metode penelitiah pun yang meyakinkan. Tapi secara mendasar hasil yang sama ditemukan pada penelitian terhadap para anak angkat. Yang ingin dicapai dengan penelitian itu adalah untuk menemukan contoh (sample) para anak angkat pada awal kehidupannya, yang riwayat kriminali-tasnya baik dari orangtua angkat maupun biologis dikenal. Kemudian, setelah anak-anak besar, para peneliti dapat menemukan bagaimana ramalan tentang kriminalitas mereka adalah juga riwayat keluarga orangtua angkat dan faktor biologis si anak. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa riwayat keluarga biologis benar-benar berperan kepada kemungkinan para anak angkat terlibat dalam pelanggaran hukum. Sebagai contoh, Sarnoff Mednick, psikolog pada Universitas Southern California, dan para rekannya di AS dan Denmark telah mengumpulkan seberkas contoh tentang beberapa ribu anak angkat di Denmark antara 1927 dan 1947. Anak-anak dengan orangtua kriminal biologis dan nonkriminal angkat lebih mungkin memiliki riwayat kriminalitas ketimbang yang orangtuanya bukan kriminal biologis. Semakin orangtua si anak biasa mempunyai pendirian kriminal, makin besar pula risiko kriminalitas bagi anak tersebut bila diangkat anak oleh orangtua yang tidak memiliki riwayat kejahatan. Risiko tidak dapat dikaitkan dengan apakah anak itu atau orangtua angkatnya mengetahui riwayat kriminalitas orangtua aslinya, apakah orangtua kandung melakukan tindak kejahatan sebelum atau sesudah si anak diserahkan untuk diadopsi ataukah anak itu diangkat segera setelah kelahirannya atau 1-2 tahun belakangan. Hasil penelitian itu telah dikonfirmasikan di dalam contoh anak-anak angkat Swedia dan Amerika. Karena rentetan penelitian ini, banyak di antara sosiolog dan kriminolog yang kini menerima kehadiran faktor genetis ikut berperan dalam lahirnya tindakan kejahatan. Bila ada ketidaksepakatan, itu mengenai seberapa jauh sumbangan genetis kepada kejahatan dan tentang bagaimana kriminalitas orangtua biologis dipindahkan atau menurun kepada anak-anaknya. Penelitian anak kembar dan anak angkat menunjukkan bahwa peranan genetis tidak bertanggung jawab sendiri terhadap tindak kejahatan. Misalnya, sejumlah peningkatan kriminalitas di antara anak-anak terjadi bila ayah angkat mereka seorang penjahat sekalipun orangtua kandung si anak orang baik-baik. Dan tidak selalu pula setiap anak kembar dari pasangan identik langsung saja menjadi bajingan. Walaupun itu bisa kejadian, secara pukul rata, dan cukup berdasar, ukuran yang persis dari peranan genetis dalam kejahatan mungkin tidak dapat dipastikan. Sebab, patokan ukuran kriminalitas sendiri sekarang ini tidak ada. Perlu tambahan penjelasan mengenai pengalihan "warisan" kejahatan dari orangtua kepada anak-anaknya. Tidak seorang pun yakin sepenuhnya tentang adanya "gen kejahatan", tetapi ada dua atribut utama yang mempunyai - pada tingkat tertentu - dasar yang mampu mewariskan dan tampil mempengaruhi perangai kejahatan. Beratus penelitian berhasil menemukan bahwa gen manusia punya pengaruh secara intelektual dan temperamental. Dengan penelitian yang dimulai pada 1930-an, rata-rata para pelaku kejahatan seperti ditunjukkan dalam sejumlah besar contoh memiliki nilai kecerdasan (IQ) dari 91 sampai 93, sedangkan nilai rata-rata penduduk menempati angka 100. Pelaku kejahatan tertentu memiliki nilai lebih buruk di dalam tes kecerdasan lisan dibandingkan bukan tes lisan. Tetapi mereka rata-rata berada di bawah kedua an-ka di atas. Para kriminolog telah lama mengetahui hubungan antara perangai kriminal dan IQ. Tapi banyak di antara mereka menyampingkan dengan berbagai alasan. Beberapa mengisyaratkan bahwa hubungan itu tak bisa dijelaskan dengan gambaran antara rendahnya status sosio-ekonomi dan kejahatan di satu pihak, dan antara IQ dan rendahnya status sosio-ekonomi di pihak lain. Kaum kriminolog ini berpendapat bahwa rendahnya status sosio-ekonomi lebih berpengaruh ketimbang rendahnya IQ dalam mendorong timbulnya tindak kejahatan. Yang lain mempersoalkan apakah tes IQ ukuran inteligensi yang benar-benar bertautan erat dengan risiko pelanggaran hukum. Rendahnya nilai kecerdasan mereka, begitu dalih berlanjut, mengkhianati latar belakang kultural yang tercerabut dari nilai-nilai kemasyarakatan - ketimbang rendahnya taraf kecerdasan. Akhirnya, kerap kali dicatat bahwa para pelaku kejahatan di dalam beberapa penelitian adalah mereka yang tertangkap. "Mungkin yang lolos lebih tinggi IQ-nya," tulis dua serangkai Herrnstein dan Wilson. Tetapi keberatan ini mulanya dinilai kurang bobot ketimbang dari kebalikannya. Misalnya, mereka yang hidup di dalam lingkungan dan suasana yang lebih menekan, toh banyak yang memilik tingkat kecerdasan yang tinggi. Kemudian, juga, tes IQ barangkali tidak berlaku bagi orang-orang yang tidak memiliki latar belakang yang menguntungkan. Dan sistemnya mungkin juga harus berbeda bagi setiap orang dengan latar berbeda. Ini kesimpulan yang keliru. Survei komprehensif yang terakhir dilakukan dan disponsori oleh National Academy of Sciences menyimpulkan bahwa "tes berlaku bagi satu grup dan juga kelompok lainnya". Dan nyatanya beberapa penjahat yang tinggi kecerdasannya berkemampuan mengelakkan diri dari penangkapan. Bila IQ dan kriminalitas dihubungkan, bagaimana menjelaskan hubungan itu sendiri? Ada beberapa kemungkinan. Yang pertama adalah bahwa tes IQ menunjukkan kesulitan lebih besar di dalam meraih konsekuensi atau di dalam mempelajari pengertian kode moral. Lalu, bahwa rendahnya nilai kecerdasan, terutama dalam tes lisan, berarti ada sesuatu yang salah dengan pendidikan di sekolah, yang menjuruskan ke arah frustrasi, kemudian amarah, dendam, dan pelanggaran hukum. Lagi pula, orang yang tak mampu mengemukakan dirinya secara lisan tentunya akan merasa lebih mudah menyatakannya dalam cara yang mereka kuasai, seperti ancaman fisik dari adu kekuatan. Untuk narapidana kambuhan, kecenderungan ke arah kriminalitas mungkin lebih merupakan persoalan temperamen ketimbang masalah inteligensi. Menurutkan kata hati, ketidakpekaan terhadap tata peraturan masyarakat, tumpulnya perasaan akan nilai-nilai yang berlaku umum, dan rasa dahaga akan petualangan penuh bahaya di antara pelaku kejahatan tingkatnya tinggi. Temperamen itu, pada tingkat tertentu, dapat diwariskan walaupun tidak sebanyak inteligensi. Semua orangtua mengetahui bahwa anak-anaknya, segera setelah lahir, mulai memperagakan bentuk-bentuk karakter tertentu, perangai tertentu - mereka berpembawaan tenang atau bijak, pemalu atau kasar. Beberapa di antara tabiat bawaan, seperti sikap agresif dan terlalu lincah, tapi bisa saja berubah setelah mereka mulai besar. Ketika anak-anak tumbuh, perangai-perangai itu, satu di antaranya, secara bertahap dapat berkembang ke kecenderungan tidak konvensional, bersikap menantang dan antisosial. Lee Robins, sosiolog pada Fakultas Kedokteran Universitas Washington di St. Louis, merekonstruksikan masa 30 tahun kehidupan kira-kira 500 remaja yang pernah menghuni rumah penampungan anak-anak telantar di St. Louis. Ia tertarik gejala awal sosiopati kronis - suatu kondisi antisosial yang di dalamnya termasuk tingkah laku kriminalitas sebagai salah satu gejalanya. Penderita sosiopati dewasa di dalam contohnya itu yang tidak menderita psikosis, keterbelakangan mental, adalah, tanpa kekecualian antisosial sebelum mereka berusia 18 tahun. Gejala awal adalah bolos sekolah, berpenampilan ugal-ugalan di sekolah, mencuri, kabur, nekat-nekatan, ceroboh, pemberang, dan tidak merasa membuat suatu kesalahan. Semakin menggejala di masa kanak, makin besar risiko melakukan tindakan antisosial di masa dewasanya. Penelitian-penelitian lain juga memperteguh dan memperluas kesimpulan Dr. Robin. Misalnya, dua psikolog, John D. Conger dari Universitas Colorado dan Wilbur Miller dari Universitas Drake di Des Moines, yang meneliti balik sejumlah contoh dari anak-anak nakal di Denver, berkesimpulan, "Pada akhir tahap ketiga, kenakalan masa depan sudah mulai tampak terlihat oleh para gurunya sebagai ketidakmampuan menyesuaikan diri yang melebihi dari rata-rata teman sekelasnya. Mereka kurang menghargai kebenaran dan perasaan teman-temannya kurang sadar akan perlunya tanggung jawab sebagai bagian dari partisipasi sosial mereka, baik sebagai individu maupun sebagai anggota kelompok, dan sikapnya lebih buruk kepada otoritas." Perangai atau bakat ini terus membayang-bayangi mereka, kebiasaan kriminal kambuhan terlacak balik ke pola tabiat awal, perti kegiatan yang terlalu aktif dan kerewelan yang tak jamak, gejala-gejala neurologis, seperti gelombang-gelombang otak yang tidak khas atau refleks. Dalam kasus yang lebih berskala kecil, hal ini bisa dilacak dalam tahun-tahun pertama kehidupan. Beberapa karakteristiknya adalah di dalam hal yang berkaitan dengan jenis kelamin. Ada bukti-bukti bahwa bayi perempuan yang baru lahir tampaknya lebih gampang tersenyum ketimbang bayi laki-laki, lebih suka merangkul ibunya, lebih terbuka untuk diajak bicara atau disentuh, lebih peka terhadap rangsangan tertentu, sementara kekuatan tubuh bagian atasnya lebih rapuh. Para ibu tentunya memperlakukan anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan, tapi perbedaan itu bukan sekadar karena mereka menyukainya - bayi-bayi perempuan lebih responsif ketimbang bayi laki-laki terhadap jenis perlakuan yang dianggap sebagai kodratnya yang "feminin". Bila orang dewasa diminta bermain dengan anak-anak, mereka bermain di dalam cara yang mereka pikir sesuai dengan jenis kelamin sang anak. Tapi ada juga beberapa bukti bahwa bila jenis kelamin si anak disembunyikan, sikap orang dewasa dipengaruhi oleh sikap sang anak. Anak-anak yang lahir prematur atau yang lahir dengan berat di bawah normal memiliki masalah khusus. Anak-anak ini peka sekali terhadap setiap lingkungan yang tidak bersesuaian - termasuk perlakuan yang tidak semena-mena - dan ini dapat menjuruskannya kepada tindak kejahatan. Walaupun orangtua yang mengasuhnya dapat mengurangi akibat lingkungan tidak nyaman itu, mereka yang bersikap dingin atau tidak konsisten dapat membuat keadaan lebih runyam. Prematuritas dan lahir dengan berat di bawah normal mungkin akibat perawatan pralahir yang buruk, diet yang jelek, atau diakibatkan oleh pengaruh alkohol atau obat bius yang dikonsumsi oleh ibunya. Apakah pengaruh buruk terhadap kemiskinan, kedunguan, atau lainnya? Di sini kita melihat munculnya perkembangan kriminalitas terutama dari faktor biologis walaupun dari segi genetis tidak diperlukan. Kini diketahui bahwa bayi-bayi prematur lebih mungkin menjadi korban perlakuan tidak semena-mena ketimbang rekannya yang lahir tepat pada waktunya. "Kami tidak bermaksud menuding perlakuan tidak semena-mena terhadap bayi dengan mengatakan bahwa anak-anak yang lahir prematur dan beratnya tidak normal lebih sukar dirawat, dan itu bisa menciptakan tekanan berat bagi orangtuanya," tulis Herrnstein dan Wilson lebih jauh. Tetapi, paling tidak, kata mereka lebih lanjut, para orangtua secara emosional bersiap diri untuk tugas perawatan bayi seperti itu. "Mereka mungkin melampiaskan frustrasinya kepada sikap tidak responsif si anak dengan mengganggu atau mengabaikannya," kata kedua ilmuwan itu. Apa pun yang menyebabkan prematuritas itu bisa berakibat pada hubungan lanjutan antara orangtua dan anaknya. Dalam pada itu, anak-anak dengan nilai kecerdasan yang rendah mungkin menghadapi kesulitan di dalam memahami aturan. Dan jika orangtuanya juga kaku dalam bertutur dengan bayinya, mereka akan menemui kesulitan dalam menerapkan aturan kepada anaknya. Dan ini bisa menimbulkan konflik yang bisa berakibat buruk bagi keduanya. * * * Pencanangan bahwa faktor biologi berperan dalam menjelaskan tabiat manusia, terutama perangai kriminal, kadang kala mendatangkan reaksi politis dan ideologis. Merasa khawatir bahwa apa yang dikedepankan merupakan determinisme biologis yang sembrono, beberapa pengecam menolak bukti-bukti. Sedangkan yang lain ingin agar bukti-bukti itu hanya menjadi urusan jurnal keilmuan. Para ilmuwan yang hanya mengemukakan penelitian tentang pengaruh yang mungkin dari abnormalitas kromosom terhadap tingkah laku telah tak habis-habisnya diserang oleh ilmuwan yang lain. Misalnya, publikasi segepok data yang menunjukkan adanya pewarisan inteligensi dan temperamen. Sejumlah orang khawatir bahwa setiap pernyataan yang menunjukkan faktor biologis mempengaruhi tindak kriminalitas adalah sama dengan berkata: tingkat kejahatan rata-rata lebih tinggi pada golongan kulit hitam ketimbang kelompok kulit putih Amerika, dan ini memiliki dasar genetis. Data menunjukkan bahwa dari semua alasan yang dikemukakan orang secara beragam tentang tingkat kejahatan rata-rata, faktor ras jauh kurang penting ketimbang faktor usia, seks, inteligensi, dan faktor individual lainnya. Perbedaan antara berbagai ras banyak bisa dijelaskan tetapi umumnya tidak ada yang bisa dikaitkan dengan faktor biologis. Reaksi gencar terhadap pengkajian faktor biologis dalam kejahatan, diyakini oleh kedua penulis karangan ini, benar-benar salah arah. Nyatanya, penemuan itu, jauh dari hendak menyatakan bahwa "penjahat itu dilahirkan" dan terpasung selamanya pada "takdir" yang telah digariskan. Dan karena itu, begitu kata mereka, meniadakan kemungkinan penanggulangan kejahatan dalam pendekatan yang ramah dan bersifat mengasuh. Herrnstein dan Wilson angkat pembelaan, sama senilai dengan penelitian yang - juga beranjak dari dasar biologis - mereka lakukan terhadap pelaku tindakan menyimpang lainnya. Baik sakit jiwa maupun sakit fisik - alkoholisme dan penyalahgunaan narkotik - kini dipandang memiliki komponen genetis. Dalam tiap kasus, pemahaman baru mendorong semangat penelitian bagi penanganannya, dan memberikan arah baru. Sekarang kita mengetahui, banyak bentuk depresi dapat dengan sukses ditangani dengan obat keras. Para peminum tertolong ketika mereka memahami bahwa beberapa orang, karena keterikatannya yang runyam kepada alkohol, mungkin tidak akan melanjutkan kebiasaan buruk itu. Penanganan kimiawi untuk para penderita seperti itu adalah suatu kemungkinan yang realistis. Beberapa orang dari jenis yang baru dicoba ditolong dengan program khusus. Pada waktunya, yang lain akan menyusul. Kejahatan, harus diakui, sulit ditangani. Begitu banyak tindakan tercela yang dengan mudah dituding sebagai perbuatan "kriminalitas". Kasir bank yang menggelapkan US$ 500 untuk membayar utang di lapak judi tidak bisa dipersamakan dengan seorang yang merampok jumlah yang sama di bawah todongan pistol, atau seseorang yang menimbulkan kerugian US$ 500 karena mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk sehingga menyerempet dan menerjang mobil-mobil yang sedang diparkir. Lebih-lebih lagi, kejahatan, berbeda dengan alkoholisme dan pelanggaran karena tidak bisa membaca (buta huruf) peraturan, menghadapkan orang pada kecaman masyarakat dan kemungkinan dipenjarakan. Kita umumnya khawatir tentang perlakuan sama terhadap setiap "penjahat", atau memojokkan seseorang karena kita merasa ia bisa melakukan suatu tindakan kejahatan. Misalnya, dengan memasukkannya ke dalam program pencegahan kriminalitas. Tapi berbagai masalah ini bukan halangan yang tak dapat ditanggulangi dengan menerapkan cara-cara berpikir lebih baik dalam pencegahan tindak kejahatan. Dalam menyamaratakan semua penjahat, kita tahu sedikit saja tentang anak muda yang melakukan kejahatan serius di jalan raya, misalnya, sehingga kita tak dapat dengan langsung menuding penjahat kambuhan sebagai pelakunya. Kita juga tahu, bandit yang kecanduan itu memulai "karier"-nya pada awal usia mudanya. Program keluarga dan prasekolah lebih awal bisa lebih berguna ketimbang program rehabilitasi yang ditujukan - biasanya sia-sia - kepada anak muda usia 19-20 tahun yang sudah menjadi veteran dalam kancah kejahatan. Program pencegahan bisa berisiko salah penanganan terhadap anak-anak, tapi ini lebih kurang akibat buruknya. Jika cacat (stigma) yang ingin dicoba hindari, kita harus membatalkan seluruh program pendidikan yang paling diperlukan. Setelah semua ini dikemukakan, harus diketahui bahwa hanya ada sedikit bukti keras untuk mengetahui lebih jauh bagaimana mengembangkan penanganan kecenderungan kenakalan anak-anak. Ada beberapa rintisan, seperti program latihan keluarga yang dilakukan di Pusat Pengajaran Sosial Oregon. Di sana, para orangtua diajar bagaimana menggunakan hukuman dan imbalan terhadap anak-anak. Ada petunjuk dari David Weikart dan Lawrence Schweinhart dari sebuah lembaga penelitian pendidikan di Ypsilanti, Michigan, AS, yang menyatakan bahwa pendidikan prasekolah dapat mengurangi kenakalan di masa mendatang. Belum lagi dirumuskan kebijaksanaan secara nasional di sana, tetapi selalu ada manfaat melakukan penelitian dan penelitian ulang. Di atas segala-galanya, terdapat tanda-tanda dilakukannya kembali riset tentang sebab musabab kejahatan dipandang dari saling hubungan faktor biologis dan sosial. Beberapa ahli, seperti Kriminolog Marvin E. Wolfgang dan para koleganya dari Universitas Pennsylvania, yang mulai meneliti soal tersebut dengan menganalisa informasi sosial dan biologis dari kelompok-kelompok usia kanak sampai dewasa, lalu menghubungkannya dengan data tingkah laku kriminal. Tapi masih banyak yang harus dilakukan. Itu memerlukan tahun-tahun kesabaran untuk melacak riwayat hidup dari sekian banyak orang, laki-laki dan perempuan, lalu menghubungkannya dengan kebiasaan merokok, atau diet dan penyakit. Memerlukan pula sekian tahun lagi untuk memelototi segepok data yang rumit dan subtil, yang mengandung berbagai sikap, bakat, inteligensi, temperamen, tingkat hormon, dan lain sebagainya. Ini masih bercampur baur dengan keadaan lingkungan, keluarga, dan pengalaman terakhir pada masa sekolah dan sesudahnya. Penelitian tentang karakter manusia tidak saja menyedot waktu, biaya, tetapi juga memerlukan jerih payah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus