PERKARA penanggulangan korosi jembatan rangka baja menjadi bahan seminar PPI '85, dua pekan lalu. Soalnya, "Hingga kini kita telah membangun 44.161,4 meter jembatan rangka baja," ujar Irman Nurdin, kepala Seksi Laboratorium Aspal dan Kimia, Bidang Tekanan Jalan dan Lalu Lintas, Pusat Penelitian dan Pengembangan, Ditjen Bina Marga, Departemen PU. Pemakaian rangka baja dan pondasi tiang pancang baja, yang dimulai sejak 1976, juga cenderung meningkat. Soalnya, "Dibandingkan dengan jembatan beton, pembangunan jembatan rangka baja lebih cepat, sesuai dengan tuntutan kebutuhan," kata lulusan Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Industri ITB (1977) itu. Korosi baja adalah menurunnya kualitas baja akibat reaksi kimia atau elektrokimia antara baja dan lingkungannya. Sebagai daerah tropis, Indonesia memang merupakan lingkungan korosif: udara lembap, curah hujan tinggi, perbedaan jauh suhu siang dan malam, serta pengaruh air dan udara laut. Seraya menggerogoti umur jembatan, dan bangunan korosi, sudah tentu, sangat merugikan. "Sekitar 25% sampai 30% produksi baja dunia digunakan untuk mengganti baia yang terkena korosi," tutur Irman kepada Farid Gaban dari TEMPO. Bila kerugian itu diuangkan, dalam tahun-tahun terakhir ini saja sudah lebih dari US$ 70 milyar. Keadaan bertambah gawat bila diingat, setiap jenis baja sebenarnya mempunyai potensi bagi terbentuknya sel korosi. Terdapat empat sarana yang mendukung muncul dan meluasnya "penyakit" itu: adanya kutub anoda dan katoda pada permukaan logam, adanya beda potensial antara anoda dan katoda, adanya pengantar arus listrik antara anoda dan katoda, serta beradanya anoda dan katoda dalam elektrolit - medium arus listrik. Sedangkan penyebab utama terjadinya korosi meliputi dua faktor. Pertama, baja tidak homogen dalam komposisi campurannya, struktur kristalnya, internal stress-nya, dan kemurniannya. Kedua, lingkungan baja (air, udara, tanah) tidak homogen, misalnya dalam konsentrasi ionnya, konsentrasi oksigen, dan suhu. Heterogenitas baja dan lingkungan ini mengakibatkan terbentuknya sel korosi pada permukaan baja. Sampai saat ini, terdapat empat teknik yang bisa dipakai di Indonesia untuk menangkal korosi tadi. Pertama, galvanisasi, pelapisan dengan mencelup baja di dalam cairan seng panas. Kemudian pengecatan yang, selain efektif, juga ekonomis. Lalu "pembalutan" dengan pita Petrolatum, dengan bahan utama fraksi hidrokarbon yang tahan terhadap berbagai lingkungan korosif. Dan terakhir, proteksi katodik, yang tergolong baru. Berdasarkan penelitian, laju korosi pada komponen-komponen jembatan baja tanpa perlindungan mencapai sekitar 0,1 mm per tahun. Komponen baja bermuka dua, dengan demikian, terserang korosi 0,2 mm per tahun. "Artinya, komponen baja setebal 10 mm akan berkurang tebalnya 40% dalam 20 tahun," kata Irman, anggota Asosiasi Rekayasa Jalan Asia dan Australia (REAAA). Di Indonesia sendiri, penelitian menunjukkan, kerugian karena korosi meningkat dari tahun ke tahun. Pada 1978, kerugian itu mencapai sekitar US$ 300 juta. Tiga tahun kemudian, meningkat menjadi sekitar US$ 600 juta. Dan dua tahun lalu, naik lagi menjadi US$ 800 juta. Syukurlah, korosi itu belum menjamah jembatan rangka baja. "Di Indonesia, khususnya di lingkungan Ditjen Bina Marga, kami sudah menguasai teknik maupun aplikasi cara pencegahan korosi," Irman menjelaskan. Teknik itu diterapkan sejak awal pembangunan jembatan. Sehingga, ia yakin, kita belum menghadapi kenyataan korosi pada jembatan rangka baja. Namun, tindakan berjaga-jaga tetap mustahak. Karena itu, ia menyarankan, agar dana penanggulangan korosi konstruksi jembatan baja diprogramkan sejalan dengan program pelaksanaan pembangunan jembatan itu sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini