DI Sumatera Utara ada kepercayaan, seorang wanita yang mengalami kecelakaan, kendati tak cedera, bisa "rusak dalam". Dan, luka yang tak terlihat ini bisa mengakibatkan anak yang dilahirkannya punya bibir bercelah vertikal, alias sumbing. Fenomena itu menunjukkan, cacat bibir sumbing cukup dikenal di kalangan masyarakat kita, dan dianggap mempunyai "faktor X" yang ada kaitannya dengan keturunan, atau bawaan. Rabaan yang tak ilmiah itu, nyatanya, tidak terlampau salah. Bibir sumbing, menurut dr. Cornel Prawira Winata, kepala Subbagian Bedah Plastik dan Maksillofasial RS Hasan Sadikin (RSHS), Bandung, diakibatkan faktor keturunan (heriditas) dan sejumlah faktor lingkungan (etiologis). Namun, sebegitu jauh, komposisi faktor-faktor penyebab itu masih sulit dipastikan - ada berbagai teori yang dibuat berdasarkan data berbagai kawasan. Karena itu, RSHS mencoba membuat penelitian dengan cara mengumpulkan berbagai data dari sejumlah klinik dan rumah sakit di Kota Madya Bandung. Penelitian itu meliputi pencatatan angka, faktor penyebab - pencocokan beberapa teori - sampai percobaan melakukan operasi dan melihat hasilnya setelah beberapa tahun kemudian. Awal percobaan dilakukan di 1980-1982, khususnya mencoba mencatat angka kelahiran cacat bibir sumbing. Percobaan selama 21 bulan itu menemukan perbandingan, rata-rata satu cacat bibir sumbing dalam 860 kelahiran. Angka ini dinilai cukup tinggi. Percobaan selanjutnya sejak 1983 adalah ikhtiar melihat hasil operasi. Penelitian ini dilakukan oleh dr. Sunarto. Pada tahun itu dilakukan pendataan terhadap 171 bayi yang dioperasi antara 1 Januari 1980 dan 30 Maret 1983. Dan tahun 1985 ini, 171 kasus itu diteliti kembali para penderita yang sudah dioperasi - yang kini berusia 3-5 tahun dipanggil untuk dilihat apakah ada kelainan pada hasil operasi. Sayang, hanya 49 keluarga yang membawa anak mereka untuk diperiksakan - di bawah 50%. Namun, kesimpulan bisa juga ditarik. Faktor keturunan dalam cacat bibir sumbing agaknya pasti. Kebanyakan kasus dalam penelitian menunjukkan adanya cacat itu di lingkungan keluarga. "Ada anggota keluarga yang punya cacat sama," ujar dr. Cornel. Yang paling mencolok, ayah ibu yang sumbing bibirnya punya risiko 80% mendapat anak dengan bibir sumbing pula. Di samping itu, ada pula indikator perkawinan sesama suku mempunyai risiko tinggi pula. Khususnya kelompok suku yang kecil, yang seluruh anggota sukunya terbilang keluarga. Dilihat dari jenis kelamin penderita, ada teori menyebutkan, cacat bibir sumbing lebih banyak diderita anak laki-laki. Namun, hasil penelitian di RSHS itu membuahkan kesimpulan, insidensi cacat ternyata berimbang di kedua jenis kelamin. Dari 30 bayi sumbing yang diteliti, 14 bayi laki-laki, 16 perempuan. Cornel menyebutkan bahwa terdapat dua jenis kecacatan bibir sumbing. Yang pertama, celah vertikal pada bibir. Yang kedua, yang lebih parah, celah itu menerus sampai ke langit-langit, di bagian dalam mulut. Kedua cacat itu adalah kelainan pertumbuhan janin bayi di dalam perut, ketika kehamilan 32-40 minggu. Kelainan pertumbuhan ini, tentu saja, diakibatkan pula oleh faktor-faktor lingkungan, yang bisa saja tanpa faktor keturunan. Yang sudah sangat dikenal - karena menimbulkan kehebohan - bila ibu hamil menelan obat penenang thalidomide. Di samping itu, menurut Cornel, terdapat faktor luar lain. Hasil penelitian menemukan, ibu yang melahirkan di atas usia 40 tahun mempunyai risiko yang besar mendapat anak dengan bibir sumbing. Juga penyakit infeksi - bahkan influensa, diabetes, dan kekurangan vitamin, yang diderita pada masa kehamilan. Cacat bibir sumbing adalah kesialan yang berkepanjangan. Kendati tak mengganggu inteligensia, sumbing pada masa bayi mengganggu perkembangan fisik. "Sebab, mekanisme mengisap susu ibu tidak berjalan dengan baik bayi sering terkena infeksi tenggorokan yang malah bisa merambat ke infeksi saluran telinga," kata Cornel, menjelaskan pada Aji Abdul Gofar dari TEMPO. Bila anak menjadi besar, gangguan merambat ke masalah psikologis, baik rasa malu maupun kemampuan bicara. Karena itu, ikhtiar menolong cacat bibir sumbing terutama difokuskan ke usaha pengoperasian sedini-dininya. Di Indonesia, percobaan yang banyak menjadi tumpuan orangtua itu, baru kini dapat dikatakan berhasil - di luar negeri, sudah beberapa waktu lalu. Pembedahan terhadap penderita bibir sumbing yang terbaik,menurut dr. Sunarto, dilakukan pada usia tiga bulan. Pada usia itu, elemen bibir dan hidung sudah cukup tebal untuk dimanipulasikan. Metode yang paling efektif, menurut penelitian Sunarto, ialah operasi Millard (ditemukan dr. Millard pada 1967). Dibandingkan dengan metode operasi lain, metode ini berhasil dengan meyakinkan: 9,5% kurang berhasil, 90,5% berhasil baik. Pada operasi ini, dilakukan pemutaran bagian atas bibir, dan bagian dalam bibir ditarik maju. Dengan begitu, lekuk bibir tampak alami. Dengan munculnya hasil penelitian dan percobaan operasi ini, para orangtua yang melahirkan anak dengan bibir sumbing tak lagi perlu khawatir. Hasil observasi Sunarto menunjukkan, setelah 3 - 5 tahun, bibir yang dioperasi tumbuh dengan baik - dan jejak-jejak cacat sirna sama sekali. Jim Supangkat Laporan Biro Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini