Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERASAL dari desa kecil di pinggiran Bukittinggi, pemikiran Agus Salim menjelma menjadi gelombang yang menyapu ke pusat dunia. Kepintaran Salim yang di atas rata-rata—terbukti dengan menjadi lulusan terbaik untuk sekolah menengah Hogere Burger School—membuat tokoh ini kaya dengan gagasan. Dengan gagasan itu pula ia membawa Indonesia menuju kemerdekaan. "Kakek Agung" yang poliglot ini juga diundang menyampaikan wawasannya soal Islam di depan civitas academica Cornell University di New York, ketika ia berada di pengujung usia.
Sepanjang usianya, Salim menghasilkan setidaknya 22 buku dan menerjemahkan 12 buku asing—termasuk dua karya William Shakespeare. Sebagai jurnalis, ia juga rajin menulis di pelbagai media cetak.
Pesan-pesan Islam, Rangkaian Kuliah Musim Semi 1953 di Cornell University, Amerika Serikat
(Penerbit Mizan, 2011)
Bagi Salim, Islam adalah agama yang damai dan rasional. Pemikiran itu ia sampaikan ketika menjadi dosen tamu di Cornell University, Amerika Serikat, pada musim semi 1953. Dalam kuliah yang berlangsung empat bulan itu, Salim menyusun kepingan sejarah Islam yang merentang selama 13 abad menjadi sebuah rupa yang utuh, indah, dan kontekstual.
Padai usia 69 tahun, Salim seperti menemukan kearifannya memandang agama. Perjuangannya bersama tokoh lintas bangsa dalam memerdekakan Indonesia membuatnya memiliki pandangan yang luas soal agama. Islam, dilihat dari kacamata Salim, adalah agama yang lapang.
Salim mewakili sebuah bangsa yang ditindas bangsa lain. Namun tak terlintas di pikirannya untuk melakukan perlawanan menggunakan teror seperti banyak dilakukan ekstremis agama sekarang. Baginya, jihad adalah perang wajib antara kebajikan dan kebatilan yang dilakukan dengan cara cerdas dan rasional. Jihad, bagi Salim, bukan sekadar perang fisik.
Berada di negara yang tegak oleh sendi rasionalitas dan pluralitas seperti Amerika, Salim membawakan agama dalam konsep yang rasional. Ia memasukkan perumpamaan ilmiah dalam ceramahnya. Seperti penjelasannya mengenai ciptaan Tuhan yang selalu berguna, yang ia ibaratkan seperti udara yang terdiri atas campuran oksigen, karbon dioksida, dan nitrogen. Udara harus terdiri atas gas tersebut dalam komposisi yang seimbang agar bisa dihirup manusia. Jika udara hanya berisi oksigen—sebagai simbol kebaikan—ia berubah menjadi racun.
Hal lain yang membuat buku ini menarik adalah terdapat sesi tanya-jawab antara Salim dan peserta kuliah. Pertanyaan yang diajukan mahasiswa Salim mengandung banyak permasalahan. Salim, dengan wawasannya yang luas, bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan tangkas.
Rakyat dan Polisi
(Fadjar Asia, 29 November 1928)
Ancaman dan penganiayaan oleh polisi terhadap seorang terperiksa begitu lazim terjadi di Hindia Belanda. Hal ini berbeda dengan laporan pemerintah kepada Volksraad, yang berkilah penganiayaan sebagai kasus khusus yang jarang terjadi.
Salim melihat terjadi keambiguan aturan. Aturan melarang polisi menyiksa seseorang demi mendapatkan pengakuan. Namun prestasi seorang polisi dinilai dari pengakuan terperiksa yang ia dapat selama pemeriksaan.
Salim mengusulkan perubahan sistem penilaian prestasi dan perbaikan mentalitas petugas polisi. Capaian polisi sebaiknya tak dinilai dari keterangan yang didapat, tapi dilihat dari caranya melakukan pemeriksaan. Ia juga menuntut pergantian sikap polisi terhadap rakyat. Salim berpendapat polisi jangan menganggap masyarakat sebagai orang dari kasta terendah.
Keterangan Filsafat tentang Tauhid, Takdir, dan Tawakal
(Penerbit PT Intermassa, edisi keempat, 1987)
Manusia berfilsafat demi mengupayakan kesempurnaan ilmu pengetahuan. Dalam proses ini terkandung keindahan dan hikmah. Buku ini merupakan perenungan Agus Salim terhadap tiga pokok ajaran Islam, yaitu tauhid, takdir, dan tawakal.
Keesaan Tuhan atau tauhid menjadi pokok ajaran Islam dan menjadi pembuka buku ini. Kepercayaan akan takdir dan tawakal harus bertopang pada tauhid. Atas dasar pengakuan atas keesaan Tuhan pula seluruh upaya seorang muslim harus dimulai dengan penyebutan nama Tuhan. Dalam pikiran Salim, tak lengkap suatu pekerjaan tanpa didahului pengakuan atas penyebutan nama Tuhan.
Takdir sendiri merupakan bentuk kuasa Tuhan yang tak bisa diubah manusia. Ia mencontohkan hal ini dengan nyawa yang bisa melayang dari raga sewaktu-waktu. Adalah Tuhan yang mengizinkan hidup-mati seorang manusia. Kekuasaan Tuhan pula yang menentukan di mana dan kapan seorang manusia lahir ke bumi. Ketiadaan kuasa manusia dalam memilih rahim ibu tempat ia dilahirkan membuktikan kuasa yang utuh dari Tuhan Yang Mahatunggal.
Kesadaran akan kuasa Tuhan dalam takdir itulah yang menyebabkan seorang muslim tak boleh memiliki perasaan kecewa ketika kehendak Tuhan berbeda dari keinginan pribadi. Dalam tafakurnya, Salim beranggapan setiap manusia telah diberi segala alat dan kecakapan yang dibutuhkan untuk menjalani hidup. Itu sebabnya nama Tuhan selalu disandingkan dengan Mahapengasih dan Mahapenyayang.
Ketuhanan Yang Maha Esa
(Majalah Hikmah, 21 Juni 1953)
Dalam artikel ini Agus Salim menegaskan pentingnya Pancasila sebagai semboyan politik sekaligus lambang persatuan semua golongan yang ada di Indonesia. Salim mafhum bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku dan golongan. Interaksi aneka perbedaan itu bisa memunculkan perseteruan dan pertikaian. Namun semua perbedaan tersebut akan mengalir pada satu kesepakatan bersama yang sudah dirangkum dengan sempurna melalui Pancasila.
Pancasila sebagai simbol persatuan sendiri tak luput dari interpretasi berbeda dari berbagai kelompok. Setiap kelompok memiliki pemahaman berbeda terhadap lambang persatuan ini. Salim, dalam harapannya, meminta kelompok-kelompok tersebut tak terlalu memperturutkan ego dalam memiliki semangat Pancasila yang menjadi modal kemerdekaan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo