Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIDATO Wakil Presiden Jusuf Kalla terasa menggelegar. Di hadapan gubernur, bupati, dan wali kota dari seluruh penjuru negeri, Ketua Umum Partai Golkar ini tampak gusar. ”Mana ada negara yang sudah 60 tahun merdeka, rakyatnya masih antre beras!” ujarnya.
Karena itulah, kata Kalla dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, pemerintah dalam dua tahun ke depan akan membangun infrastruktur besar-besaran. Tujuannya agar pertumbuhan ekonomi bisa ditingkatkan. Untuk keperluan itu, alokasi anggaran ditingkatkan. Pembahasan soal ini telah dilakukan dalam sidang kabinet.
Dalam rapat, Kalla mengisahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempersilakan menteri yang berkeberatan untuk bicara. Tapi ternyata tak ada yang angkat tangan. ”Ya, sudah, boleh-boleh saja menteri menggerutu, tapi harus setuju,” katanya. Geerrr…, peserta musyawarah sontak tertawa.
”Banyolan” Kalla itu, menurut sumber Tempo, sempat membuat merah kuping sejumlah anggota tim ekonomi kabinet. Sebab, sudah lama terdengar, para menteri ekonomi di bawah Menteri Koordinator Perekonomian Boediono dinilai Kalla lamban bekerja dan pelit menggelontorkan dana.
Dalam pertemuan empat mata dengan SBY di ruang kerja Presiden, Selasa tiga pekan lalu, Kalla sempat menyampaikan perlunya evaluasi tim ekonomi dalam agenda reshuffle kali ini. Wakil Presiden juga mendesak agar beberapa menteri ekonomi disetip dari kabinet—khususnya menteri ekonomi di sektor riil, yang dinilai lelet dan kurang koordinasi.
Sejak isu perombakan kabinet berembus kencang sebulan lalu, aroma ”perseteruan” Boediono-Kalla bikin senewen investor dan pebisnis. Hampir saban hari broker dan investor saham di lantai bursa menggunjingkan nasib Boediono, yang dikabarkan bakal ikut dilengserkan atau mengundurkan diri.
Buat kalangan ini, reshuffle boleh melanda siapa saja, tapi bukan Boediono. Soalnya, doktor ekonomi bisnis lulusan Wharton School, University of Pennsylvania, Amerika Serikat, ini dinilai berkualitas tinggi. Kebijakannya yang konservatif dan ketat dalam menjaga disiplin anggaran dipuji banyak pihak sebagai kunci suksesnya perekonomian Indonesia sehingga bisa keluar dari program Dana Moneter Internasional (IMF).
Hanya dalam dua tahun setelah diangkat Megawati menjadi Menteri Keuangan pada Agustus 2001, Boediono berhasil membalik sejumlah indikator ekonomi yang porak-poranda di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Pertumbuhan ekonomi saat itu memang masih rendah, yakni sekitar empat persen, tapi kurs rupiah menguat lebih dari 16 persen. Laju inflasi bisa ditekan dua kali lipat lebih rendah hingga tinggal 5,1 persen. Berkat stabilitas makro, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia tiga bulan turun menjadi 8,3 persen, jauh lebih rendah dibanding pada 2001, yang mencapai 17,6 persen.
Dengan sederet keberhasilan itu, Boediono sempat dinobatkan majalah Business Week sebagai salah satu dari 25 orang paling berpengaruh yang membawa perubahan di Asia. Tak aneh, ketika Presiden Yudhoyono mendapuknya kembali menjadi Menteri Koordinator Perekonomian—menggantikan Aburizal Bakrie—pada Desember 2005, pasar langsung menyambut. Di Bursa Efek Jakarta, indeks harga saham gabungan langsung melejit 23 poin (2,1 persen). Kurs rupiah menguat 33 poin. Jika melihat kondisi ekonomi makro saat ini, harapan itu tampaknya tak salah-salah amat.
Duet Boediono dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati—yang menandakan kembalinya kaum teknokrat—terbukti berhasil membuat sejumlah indikator ekonomi makro membaik.
Inflasi yang meroket setelah pemerintah dua kali menaikkan harga bahan bakar minyak pada 2005 dapat ditekan hingga tinggal 6,6 persen dari sebelumnya 17,1 persen. Suku bunga patokan Bank Indonesia, BI Rate, pun terus susut dari 12,75 persen menjadi 9 persen.
Persoalannya, seperti di era Megawati, pertumbuhan ekonomi masih ketinggalan kereta—hingga akhir tahun lalu baru mencapai 5,5 persen. Ini jelas masih jauh di bawah target pemerintah: rata-rata 6,6 persen per tahun.
Padahal, dengan pertumbuhan kurang dari enam persen, kata Kalla, mustahil angka kemiskinan dan pengangguran bisa dipangkas. ”Pertumbuhan harus di atas tujuh persen,” ujarnya. Dan untuk itu butuh investasi sedikitnya Rp 1.180 triliun. Nah, di sini persoalan muncul.
Boediono dan timnya dinilai gagal menggerakkan sektor riil dan membangun infrastruktur untuk bisa menggaet dana investasi. Desakan untuk mengganti Boediono dan Sri Mulyani pun datang antara lain dari Partai Keadilan Sejahtera dan Golkar.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance, Iman Sugema, bahkan meminta sebelas menteri perekonomian dicoret dari daftar. ”Prioritasnya adalah Menko Perekonomian, selanjutnya Menteri Keuangan,” kata Iman akhir April lalu.
Menurut beberapa orang dekat Kalla, Boediono memang dianggap tak cukup gesit menakhodai ekonomi Indonesia. Bahkan macetnya sejumlah proyek infrastruktur dianggap bersumber dari kekakuan sikap Boediono dan Sri Mulyani.
Namun posisi Boediono yang moncer di mata SBY membuat Kalla sulit berkutik. Karena itu, yang dilakukannya adalah menurunkan orang-orangnya ke lapangan. Salah satu yang terpenting adalah Muhammad Abduh, anggota staf khusus Wakil Presiden yang kini ditugasi mengatur urusan infrastruktur.
Di bidang infrastruktur, cekcok Kalla dengan duet Boediono-Sri Mulyani sangat terasa. Dua proyek yang menjadi puncak ketegangan mereka adalah pembangunan pembangkit listrik 10 ribu megawatt dan pengadaan kereta cepat ringan (monorel) di Jakarta.
Menurut seorang sumber di Lapangan Banteng—kantor Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan—gara-gara kekisruhan pembangkit listrik ini, Boediono sempat menghadap SBY dan meminta pengunduran diri. ”Saya sampai di sini saja,” ujar sumber itu menirukan Boediono. Namun permohonan itu ditolak Yudhoyono.
Pangkal sebabnya adalah penolakan Boediono untuk memberikan jaminan kepada calon investor asal Cina yang akan mendanai proyek listrik itu. Ketika surat penolakan itu sampai di tangan Kalla, Boediono langsung didamprat.
Cerita seru juga terjadi dalam tarik-ulur pembangunan monorel. Kegusaran Kalla memuncak saat dilakukan presentasi hasil kajian Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) pertengahan September lalu.
Ketika itu, pemerintah diminta menjamin proyek tersebut sebagai syarat turunnya dana US$ 500 juta atau sekitar Rp 4,5 triliun dari Dubai Islamic Bank, lembaga keuangan yang akan mensponsori pembangunan monorel (lihat ”Maju-Mundur Proyek Sepur”).
Bertempat di gedung Bappenas, rapat dipimpin Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta selaku Ketua Harian KKPPI. Selain Kalla dan Abduh, hadir Menteri Perhubungan Hatta Rajasa dan Menteri Negara BUMN Sugiharto. Adapun Boediono selaku Ketua KKPPI dan Sri Mulyani tak hadir karena sedang mengikuti sidang tahunan Bank Dunia di Singapura.
Singkat cerita, KKPPI melaporkan adanya ”bolong” dalam proyek itu sehingga tidak layak menerima jaminan pemerintah. Dari 14 kriteria yang ditetapkan, hanya setengahnya yang dipenuhi.
Salah satunya, penetapan PT Jakarta Monorail yang akan menangani proyek dilakukan tanpa tender di era Presiden Megawati. Penunjukan tanpa tender jelas menabrak sejumlah aturan. Di antaranya Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1998, Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005, yang dibuat semasa Presiden Yudhoyono, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2006. Kelaikan finansialnya juga masih diragukan. KKPPI merekomendasikan agar proyek ini ditender ulang dan dilakukan uji tuntas oleh lembaga independen.
Mendengar ini, Kalla naik pitam. Peserta rapat langsung kena damprat. KKPPI dibentuk, kata dia, untuk mempercepat proyek, bukan malah memperlambat. ”Baca keputusan presidennya. Di situ ada 16 kali kata percepatan,” ujarnya. ”Jadi, kalau memperlambat, berarti melanggar” (lihat ”Jusuf Kalla: Saya Pencet Agar Semua Jalan”).
Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya di kantor Wakil Presiden yang dihadiri Boediono, Sri Mulyani, dan Gubernur DKI Sutiyoso, Kalla tetap kukuh meminta proyek ini dijalankan. Menurut dia, tak ada peraturan yang dilanggar karena proyek itu sudah dipancangkan pada era Megawati alias sebelum Peraturan Presiden Nomor 67 dikeluarkan SBY.
Sri Mulyani, yang semula menolak, akhirnya menyerah. Tapi ia memberi syarat, yakni pemberian jaminan akan diluluskan jika dibuat peraturan presiden yang baru. Permintaan itu dikabulkan: 13 Desember lalu keluarlah Peraturan Presiden Nomor 103 Tahun 2006 yang mengatur soal pemberian jaminan untuk proyek monorel. Ani, begitu Menteri Keuangan biasa disapa, pada 15 Maret 2007 akhirnya mengeluarkan pula peraturan menteri keuangan yang juga mengatur detailnya.
Ketika perseteruan tingkat tinggi ini dikonfirmasi kepada Boediono, ia mengunci lidah. ”No comment,” ujarnya seraya tersenyum. Anggito Abimanyu, wakil Sri Mulyani dalam urusan ini, pun pelit bicara. Katanya, proyek ini sudah diatur oleh peraturan presiden. ”Yang di bawah hanya mengikuti dan menjalankan,” ujarnya.
Kalla tak memungkiri ada sejumlah perbedaan pandangan antara dia dan Boediono. Namun ia menampik kabar bahwa tim ekonomi kerap ia damprat. ”Tidaklah,” katanya, ”cuma diarahkan. Kami mengarahkan mereka untuk mengambil keputusan.”
Kalla mungkin merasa di atas angin. Keluarnya peraturan presiden terbaru menyiratkan dukungan Presiden kepada dirinya. Menurut Abduh, seharusnya memang begitu. Sebab, yang mendapat mandat dari rakyat adalah Presiden dan Wakil Presiden. Adapun menteri adalah pembantu keduanya. Karena itu, kata Abduh, ”Kalau salah satu dari Presiden dan Wakil Presiden bicara, [artinya] itu merupakan keputusan pemerintah.”
Masalahnya, dalam sejumlah urusan, Kalla bukan tak punya konflik kepentingan. Grup Bukaka milik keluarga Kalla, misalnya, terlibat dalam proyek monorel dan pembangkit listrik. ”Ini rawan. Apalagi proyek monorel dilakukan tanpa tender,” kata seorang sumber.
Kalla sendiri tak mau ambil pusing dengan pelbagai tudingan. Menurut dia, justru karena proyek monorel dikerjakan oleh perusahaan domestik, terjadi penghematan hingga US$ 300 juta—dari harga semula US$ 800 juta. ”Ini nasionalisme,” ujarnya. Lagi pula, kata dia, harganya toh lebih murah. ”Kalau harganya saya naikkan menjadi US$ 2 miliar, itu namanya baru KKN.”
Metta Dharmasaputra, Heri Susanto, Muhammad Nafi, D.A. Candraningrum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo