Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada kata menyerah dalam kamus Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sugiharto. Bagaikan pesilat, dalam kondisi remuk-redam diserang sana-sini, ia terus melawan. Tersengal-sengal. Sebisanya.
Sugiharto adalah orang yang disebut-sebut bakal mental dari Kabinet Indonesia Bersatu. Tapi, pada detik-detik menjelang pengumuman reshuffle, ia tak tinggal diam.
Ia memasang iklan kinerja Kementerian BUMN yang diklaimnya moncer di surat kabar pekan lalu. Ia juga melakukan road show ke berbagai media cetak jauh-jauh hari setelah isu reshuffle bergulir pada akhir tahun lalu. Dalam beberapa kesempatan, ia melontarkan pernyataan yang memamerkan keberhasilannya memimpin BUMN.
Salah satunya di acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Hotel Bidakara, Kamis pekan lalu. Seusai mengikuti pembukaan acara yang dihadiri para gubernur dan bupati seluruh Indonesia tersebut, dengan penuh keyakinan mantan Direktur Keuangan PT Medco Energi ini menuturkan kinerjanya selama dua setengah tahun. ”Saya kira ukuran-ukurannya bisa jelas dilihat,” kata Sugiharto.
Satu per satu indikator perbaikan keuangan BUMN dibeberkan. Salah satunya adalah setoran ke APBN dari pajak, dividen, dan privatisasi yang naik dari Rp 54 triliun akhir 2005 menjadi Rp 69 triliun akhir tahun lalu. Menurut Aries Mufti, staf khusus Kementerian BUMN, setoran ke APBN yang lebih mengandalkan pajak dan dividen seharusnya dinilai bagus. ”Ini menunjukkan nasionalisme, karena hanya sedikit (pendapatan diperoleh) dari privatisasi,” katanya. Pendapatan dari privatisasi tercatat memang hanya Rp 2,1 triliun.
Dengan kinerja yang lumayan, menurut kolega dekatnya yang lain, Sugiharto memang akan bertarung mempertahankan jabatannya. Meski demikian, dilihat secara politik, ia tak punya banyak pilihan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang dulu getol mengusung namanya, ternyata tak bisa diharapkan lagi. Yang kini lumayan membentengi Sugiharto adalah Partai Keadilan Sejahtera. Tapi itu pun tak kelewat bisa diandalkan, karena kini PKS kalah awu dengan Golkar. ”Ia tidak punya basis politik,” kata Aries. Selain itu, Sugiharto juga dianggap tak bisa bekerja sama dengan tim ekonomi kabinet lainnya, bahkan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Apalagi di kalangan politisi Senayan nama Sugiharto juga tak harum. Ia, misalnya, disebut-sebut enggan menghadiri undangan rapat di komisi-komisi DPR, kecuali Komisi BUMN.
Perbedaan pendapat dengan anggota kabinet membuka posisinya bertambah rawan. Dalam soal privatisasi, tim ekonomi menghendaki penjualan BUMN untuk menambal defisit anggaran, tetapi Sugiharto lebih suka menombokinya dengan laba (profitisasi). Akibatnya, program privatisasi tak jalan. Di era Sugiharto, cuma satu BUMN yang dijual, yakni Perusahaan Gas Negara (PGN). Itu pun diributkan banyak orang.
Penjualan PGN bermula dari perbedaan pendapat antara Menteri BUMN dan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam hal bagaimana menyelamatkan PT Garuda Indonesia yang sedang sakit parah. Dalam rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Boediono, Maret tahun lalu, Sugiharto mengusulkan agar biaya pengobatan Garuda diambil dari APBN. Sri Mulyani menolak. ”Akhirnya Sugi terpaksa melego PGN,” ujar seorang sumber.
Kelemahan dalam pengelolaan BUMN yang sering dipersoalkan adalah kisruh dalam pergantian manajemen sejumlah perusahaan seperti PT Telkom dan PT Jamsostek. Juga soal kekosongan direksi di PT Bukit Asam dan PGN. ”DPR mempersoalkan banyaknya direksi BUMN yang habis masa tugas tetapi belum diganti,” kata Aksa Mahmud, ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Selain itu, Sugi juga dinilai tidak beres mengelola manajemen internal kementerian yang memegang aset Rp 1.300 triliun itu. Ia juga dituding membawa orang baru yang menimbulkan ketegangan di internal lembaganya. Misalnya, Lendo Novo yang aktif di Partai Keadilan Sejahtera dan Aries Mufti yang aktif di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Aries membantah pengangkatan dirinya bernunasa nepotisme. Menurut dia, pengangkatan orang-orang seperti dirinya di Kementerian BUMN berdasarkan profesionalisme. ”Silakan lihat riwayat kerja saya,” kata Aries. Tentang tertundanya penentuan jajaran direksi perusahaan negara, menurut Aries, itu disebabkan belum ditemukan orang yang tepat. ”Tidak bisa buru-buru karena ada sistem yang harus dilalui.”
Heri Susanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo