Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Warga kampung Parengpeng, Desa Cileksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor harus kembali hidup dalam kegelapan. Nyala listrik yang baru mereka rasakan dua tahun ini padam lantaran longsor yang menghancurkan kampung ini pada awal Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tahun 2018 listrik baru nyala, eh longsor robohkan hampir semua tiang listrik ke desa kami," kata ketua RW setempat, Jamar, 57 tahun, saat ditemui pada Rabu 22 Januari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jamar berkisah, setelah bertahun-tahun hidup tanpa listrik, warga Parengpeng begitu gembira saat mendengar listrik akan masuk ke kampung itu.
Masyarakat pun bergotong royong memikul tiang-tiang listrik dari pusat desa ke kampungnya. Bahkan untuk memikul tiang listri besar membutuhkan 80 orang dewasa untuk menggotongnya.
"Kami yang gotong tiang dan kami juga yang bawa semua alat lengkapnya, setelah sampai kampung, baru PLN yang nyambungin," ucap Jamar saat mengenang awal pertama listrik masuk ke kampungnya.
Selain infrastruktur listrik, Jamar mengatakan untuk infrastruktur akses jalan menuju kampungnya pun dibangun swadaya oleh warga Parengpeng.
Mereka membuka lahan dan mengukur batas jalan secara swadaya dan bergotong royong. Akhirnya kampung Parengpeng punya akses untuk kendaraan roda dua.
"Dulu kami tidak punya jalan, kalau ke pusat desa aja harus turun naik gunung. Kini jalan itu hilang lagi sama longsor," ucap Jamar.
Jamar mengatakan Kampung Parengpeng dihuni oleh 785 jiwa. Mayoritas masyarakat kampung berprofesi sebagai petani dan peternak.
Untuk pendidikan, hanya ada satu sekolah, yakni SDN 05 Cileksa. Untuk SMP dan SMA, mereka mengikuti sekolah kelas jauh dan itu pun ikut di Desa Cileksa. "Ya enggak apa-apa jauh juga, demi pendidikan dan kami masih diakui sebagai warga negara Indonesia," kata Jamar.
Salah seorang ketua RT setempat, Diding, 45 tahun, mengatakan selain bertani warga Parengpeng juga ada yang berprofesi sebagai kuli panggul kayu.
Mereka mendapat upah yang minim. Untuk satu kali memikul, upah yang didapat hanya Rp 15 ribu. Padahal jalan yang harus dilalui sulit karena harus turun naik gunung dan melalui sungai untuk sampai ke lokasi penggergajian kayu.
"Sehari untuk yang paling gagah, paling dapat tiga kali pikul. Berarti upah mereka hanya Rp 45 ribu," kata Diding.