Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita Mostafa dari Tepi Paris

Masyarakat Kota Stains menolak kekerasan. Partai Komunis dan imigran muslim menjalin ikatan politik.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Mostafa, 47 tahun. Jenis nama yang semakin akrab di telinga masyarakat Putih Prancis setelah kerusuhan kaum imigran asal Afrika Utara yang berlarut-larut pada awal November lalu. Mostafa asli Maroko. Jauh dari kampung halamannya, ia hanya seorang sopir taksi di kota gemerlap, Paris.

Tapi hari itu, Sabtu pagi 12 November lalu, ia memarkir taksinya di halaman pusat belanja Carrefour, di pintu Kota Stains. Di kota satelitnya Paris ini Mostafa menetap di apartemen 16 lantai, satu bangunan jangkung dengan sewa miring untuk kebanyakan kaum imigran. Kompleks hunian ini kondang dengan sebutan ”Habitation a’ Loyer Moderé”.

Pagi itu Mostafa bergabung dengan iring-iringan massa anti-kekerasan. Ada pastor, imam, rabbi Yahudi, wali kota, dan pemuka masyarakat. Di barisan depan, kaum ibu dan remaja membawa spanduk putih dengan tulisan merah dan hijau: Le Refus de La Violence, Le Choix de Vivre Ensemble (tolak kekerasan, pilih hidup bersama). Di sisi kiri spanduk tampak potret wajah seorang anak kulit putih berbaur dengan anak-anak kulit hitam.

Mostafa warga negara Prancis dan aktivis Partai Komunis. Ia prihatin atas pernyataan Menteri Dalam Negeri, Nicolas Sarkozy, yang mengancam kaum imigran: mereka akan diusir dari Negara Republik tanpa pengadilan. Padahal 80 persen pemuda keturunan imigran sudah menjadi warga negara Prancis. Mereka enfants de la patrie, ”anak-anak tanah air” sebagaimana Sarkozy yang keturunan Hongaria.

Dalam barisan ada juga teman-teman almarhum Jean-Jacques Le Chenadec. Ia tewas dipukul dua pemuda saat memadamkan api di tempat sampah sebuah apartemen di Stains. ”Saya tak membenci pembunuh Jean-Jacques. Saya kasihan kepada mereka,” ujar seorang di antaranya.

Wali Kota Stains ikut pawai karena dia seorang komunis, orang-orang yang tersingkir. Ia dianggap pengkhianat Republik oleh pribumi Prancis (terutama para anggota partai kanan garis keras) karena kawin dengan perempuan Komore muslim. Bagi Mostafa, jalinan kasih dua insan itu merupakan peluang terjadinya ikatan politik Partai Komunis dengan kaum Islam Prancis. Dua kelompok ini masih peduli pada kaum papa dan menolak masyarakat kaya.

Ketika ia menjadi kandidat anggota Dewan Kota Stains dari Partai Komunis, Mustofa sempat bertemu wali kota. Ia tegas menyatakan bukan penganut Marxisme-Leninisme. Apa reaksi wali kota? Ia juga mengaku bukan seorang ateis, melainkan libre-penseur atau pemikir bebas segala agama. ”Bagus! Kalau begitu, kita berdua bisa berpikir bebas dan terbuka untuk masa depan anak-anak kita,” kata Mostafa kala itu.

Persekutuan itu penuh kejutan bagi Mostafa. Suatu hari Partai Komunis pernah minta bantuannya mendukung demonstrasi kaum pendatang yang tak punya izin tinggal. Wali kota itu sendiri mengirimkan rombongan aktivis komunis Stains yang terdiri dari laki-laki Prancis kulit putih. Mereka miskin, kasar, dan pemabuk. ”Ayo, kita minum dulu supaya bersemangat,” teriak mereka. Sejak itu Mostafa yakin, Partai Komunis tak punya pilihan selain bersekutu dengan warga Prancis Islam.

| | |

Pagi itu hujan gerimis, dingin. Iring-iringan aktivis melewati rue Alfred de Musset, sepenggal jalan dari nama penyair romantis Prancis abad XIX. Di dekatnya ada Lapangan Nelson Mandela, yang terasa senyap. Tak ada pohon, hanya sepasang patung besi berdiri kesepian. Kepala dan perut patung terbuat dari penutup lubang selokan. Itulah karya seniman Prancis keturunan imigran Aljazair, Rachid Khimoun. Ia persembahkan untuk ayahnya, seorang penyapu jalan di Paris.

Perjalanan sampai di depan sebuah masjid. Masjid Stains hanya berupa bangunan tua bekas percetakan yang gulung tikar. Di sekeliling bangunan terbentang kain terpal untuk menaungi jemaah salat Jumat. Meski jumlah umat Islam di Prancis cukup besar, sekitar 5 juta jiwa atau 8,2 persen dari seluruh penduduk Prancis, 60,7 juta jiwa, tak ada masjid yang berbentuk bangunan masjid. Pemerintah kota menolak memberi izin mendirikan masjid karena masyarakat takut tempat ibadah umat Islam itu menjadi ”sarang teroris”. Wali kota pernah menawarkan tanah luas untuk masjid. Sewanya hanya 1 franc selama 100 tahun. Tapi umat Islam menolak. ”Mereka tak mau menjadi boneka pemerintah,” ujar Mostafa.

Arak-arakan tiba di kompleks pertokoan di alun-alun kota yang megah, tapi sepi dan kosong. Semua toko tutup karena pedagang pindah ke daerah yang lebih ramah dan makmur. Tak ada pohon, tak ada burung, tak ada seorang pun. Hanya genangan air yang menyimpan bayangan bangunan jangkung permukiman.

Semakin tinggi apartemen itu, semakin miskin dan tersisih penghuninya. Di bangunan atas, tiupan angin lebih terasa, jendela lebih sempit, lift sering rusak. Bila kita naik lewat tangga, tengkuk merinding karena gelap dan pemuda pecandu narkotik gentayangan. Kini lantai tertinggi dihuni pendatang baru dari Afrika Hitam. Imigran Afrika Utara lebih nyaman di bagian terbawah. ”Kami, orang Maghreb, ingin maju bersama masyarakat Prancis,” kata Mostafa.

Pertokoan yang tertutup tirai besi itu penuh grafiti. Ada juga gambar pohon kurma dan unta berkelana di gurun pasir. Mereka melukis mural: pemandangan kampung asal mereka. ”Di Stains, saya rindu Figuig. Dan kalau berlibur ke Figuig, saya rindu kembali ke Stains,” kata Mostafa, ayah empat anak.

Di kawasan tepi Kota Paris bermukim 500 keluarga asal Figuig, wahah Maroko paling selatan, dekat perbatasan Aljazair. Dulu Figuig dikenal sebagai pintu gerbang Maroko menuju wahah gurun Sahara sampai Afrika Hitam. Di situlah tempat persilangan kafilah.

Kini perbatasan Aljazair tertutup. Persilangan itu berubah menjadi jalan buntu di tengah gurun gersang, panas. Sebabnya, antara lain, pada 1973 warga Figuig terlibat komplotan untuk menjatuhkan Raja Hassan II. Komplotan itu kalah. Raja Hassan II mengirim pasukan untuk melibas pemberontak di Figuig. Hingga kini masyarakat Figuig tak mau membicarakan peristiwa mengerikan itu.

Ribuan masyarakat Figuig meninggalkan wahah nenek moyang Berbère. Mereka mencari kehidupan baru ke Casablanca, Rabat, dan daerah pinggiran Paris. Dulu, dalam satu keluarga hanya satu-dua orang yang ke luar negeri mencari pekerjaan. Kini sebaliknya, hanya satu-dua orang yang tertinggal di Figuig. Bahkan Mostafa berniat membeli satu paviliun di Stains untuk anaknya. Katanya, ”Stains sudah menjadi tempat asal mereka.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus