Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Luka Imigran di Tanah Prancis

TITIK api itu meletik dari satu noktah mungil di peta Prancis: Clichy-sous-Bois. Dari wilayah pinggiran Paris itu, lidah api menjalar ke 30 kota dan memantik geger besar selama tiga pekan. Anak negeri Prancis terhenyak menatap luka lama yang berdarah lagi setelah empat dekade. Pada 1968, imigran muslim Prancis merontak karena merasa dianaktirikan dari warga pribumi. Oktober lalu, tragedi serupa datang kembali. L’histoire se repete, sejarah pun berulang.Elizabeth D. Inandiak—seorang novelis, penulis skenario film, penerjemah Serat Centhini ke dalam bahasa Prancis—menyeruak ke jantung kehidupan para imigran muslim. Dia mengais kenangan masa kecilnya bersama mereka, membandingkannya dengan kerusuhan akbar 1968. Laporannya dituliskan kembali oleh wartawan Tempo Akmal Nasery Basral, Hanibal W.Y. Wijayanta, R. Fadjri, dan L.N. Idayanie.

12 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKU lahir di Kampung Arab, 46 tahun lalu, sebagai pribumi kulit putih. Masa kecilku tersimpan rapi di sebuah apartemen di atas apotek nenekku, di rue Montesquieu, Lyon, sebelah utara Paris. Kawasan itu tak jauh dari Place Dupont, alun-alun pusat kota yang penuh merpati. Jalanan di sana sempit, menjalar, dan suram. Pada sore hari tempat itu sesak dipenuhi imigran Aljazair. Mereka sekadar mengobrol atau menemani anaknya bermain. Karena itulah tempat tinggalku disebut Kampung Arab.

Mereka membanjiri Prancis semenjak 1947, setelah undang-undang pemberian status kewarganegaraan bagi orang Aljazair diberlakukan. Saat itu Prancis kekurangan laki-laki. Padahal negeri ini sedang butuh tenaga kasar untuk membangun kota yang hancur akibat hujan Perang Dunia II.

Berdasarkan sensus 1946, tercatat 20 ribu muslim Aljazair menjadi warga negara Prancis. Delapan tahun kemudian, di Metropole saja jumlahnya berlipat sepuluh kali—200 ribu orang! Metropole adalah negara induk yang terpisah dari daerah jajahan.

Orang tuaku selalu waswas bila berbelanja ke Place Dupont. Mereka sering bilang begini: ”Di tengah kerumunan orang-orang Arab, pasti ada beberapa yang berjuang secara diam-diam untuk kemerdekaan negerinya.” Aku tak tahu pasti apakah memang seperti itu. Tapi suatu malam terdengar bunyi tembakan. Esok harinya, kami menemukan sesosok mayat pria Aljazair di tengah jalan. Orang-orang berkerumun dan bergumam: ”Dia dibunuh milisi Prancis.” Aku, yang kala itu masih bocah, juga tak tahu pasti sejauh mana kebenarannya.

Lalu, Perang Aljazair meletus pada 1954. Pada 1962 negeri itu merdeka. Setelah perang usai, datang ribuan Harkis—sebutan bagi laki-laki Aljazair yang berperang untuk Prancis, dengan iming-iming kewarganegaraan. Mereka disebut orang Prancis muslim. Pada awal tahun 70-an, orang-orang Harkis dimasukkan ke kamp kerja Kehutanan Prancis. Mereka tak punya pilihan lain kecuali tunduk karena takut kehilangan kewarganegaraan. Sejak itu, hampir semua migran Aljazair pindah ke pinggir kota. Mereka tinggal di Habitation a’ Loyer Moderé (HLM), apartemen baru yang murah dan disubsidi pemerintah. Sejak awal 70-an kampung kelahiranku tak lagi seperti ”Kampung Arab”. Mereka sudah pindah.

| | |

Suatu hari pada musim panas 1983, Les Minguettes, kawasan pinggiran Kota Lyon, dilanda rusuh. Para pemuda generasi kedua migran—mereka lahir di Prancis—dilanda frustrasi. Salah satu kebiasaan mereka adalah bermain ”rodeo”, menunggangi mobil-mobil curian. Hari itu, setelah puas main ”rodeo”, mereka membakar habis mobil-mobil tersebut.

Pemerintah sosialis Prancis mengatasi kejadian itu dengan membongkar apartemen di Minguettes, menggantinya dengan permukiman yang lebih manusiawi. Dua minggu itu, Toumi Djaidja—tokoh pemuda Les Minguettes—ditembak saat mencoba menarik anjing polisi yang sedang menggigit kaki temannya. Sepulang dari rumah sakit, Toumi menonton film Gandhi (Richard Attenborough, 1982). Film itu membuat dia bersemangat menuntut persamaan hak dan melawan rasisme.

Pada waktu itu aku baru pulang dari Afrika Selatan. Pikiranku masih dikuasai Undang-Undang Apartheid. Dua minggu di negara itu, aku tinggal secara ilegal di Soweto, kawasan khusus untuk orang kulit hitam. Padahal, di negaraku sendiri, aku belum pernah masuk ghetto Arab.

Aku bertemu Toumi, lalu kuputuskan untuk mengikuti perjalanannya. Bersama 15 pemuda-pemudi dari Les Minguettes, kami berjalan kaki selama satu setengah bulan dari Marseille di selatan sampai Paris. Kami tidur di mana saja. Di gedung olahraga, gereja, atau rumah penduduk. Satu hal yang tak aku lupakan adalah teman seperjalananku, Farid, yang sering salah mengerti. Dia dibesarkan satu kawasan denganku, di rue Montesquieu.

Umurku dan umur Farid sama. Kami masuk sekolah negeri yang sama juga. Setiap pagi kami juga melihat kuda-kuda pengantar drum susu yang sama, untuk Madame Lestivan, penjual mentega dan keju. Kami berdua lancar berbicara Prancis, tetapi ”bahasa” kami berbeda. Tak jarang kata-kata lembut dariku ia terima sebagai ejekan yang keji. Bagiku, ini jurang pemisah.

Dalam perjalanan damai itu, mereka banyak bercerita. Tentang apa saja. Mereka bahkan bisa bertutur dengan bangga tentang pencurian yang pernah dilakukan. Beberapa pemuda punya pergelangan tangan tergores luka—tapi tak sepatah pun mereka membuka penyebabnya. Dan aku tak sanggup menanyakannya, jurang pemisah membuatkan amat berhati-hati. Djamel, salah satu kawan seperjalanan, menangkap pikiranku.

Menurut Djamel, polisi pernah menahan pemuda-pemuda itu selama 48 jam tanpa saksi, tanpa pengacara. Mereka dihina dan disiksa. ”Kami disuruh membuka celana, lalu duduk di atas botol Coca-cola. Untuk melarikan diri dari siksaan itu, kami memotong pembuluh darah pergelangan tangan dengan setiap benda tajam yang bisa terpegang. Kami dilarikan ke rumah sakit. Mereka kemudian dibebaskan, ”Karena polisi tak punya bukti,” tutur Djamel.

Di kelompok itu aku punya teman perempuan, namanya Alima Boumediene. Dia aktivis lembaga swadaya masyarakat yang tinggal di Argenteuil, sebuah daerah di pinggiran jalan besar, di utara Kota Paris. Dia seumurku. Aku masih ingat benar pada rambutnya yang panjang dan keriting. Juga selendang bermotif kotak-kotak hitam-putih khas Palestina, yang selalu ia kenakan.

Sabtu, 3 Desember 1983. Perjalanan damai memasuki Kota Paris. Di sepanjang jalan, banyak orang bergabung. Sekitar 200 ribu orang ikut turun ke jalan dan mendukung gerakan itu. Presiden François Mitterand menyambut kami di Istana Negara dengan bermacam-macam janji.

| | |

Lama aku meninggalkan Prancis dan tinggal di Indonesia. Awal November lalu, kebetulan aku berada di Paris. Aku menyaksikan geger besar yang melanda Prancis selama tiga pekan lebih sejak 27 Oktober hingga pertengahan November 2005. Pemuda-pemuda dari kelompok imigran mengamuk di jalanan. Sekitar 9.000 lebih mobil hangus dibakar. Restoran, toko swalayan, dan sekolah berubah menjadi bunga api raksasa. Kerugian ditaksir mencapai Rp 85 miliar. Luka dari masa silam belum kunjung sembuh, bahkan kian lebar.

Perlawanan para pemuda imigran muslim itu bermula dari tewasnya Zyed Benna, 17 tahun, dan Bouna Traore, 15 tahun, yang tersengat aliran listrik di gardu kecil di kawasan Clichy-sous-Bois, sebelah utara Paris. Kabar yang beredar di kalangan imigran menyatakan Zyed dan Bouna tewas akibat dikejar-kejar aparat. Ihwal kematian itu menjalar di Internet dan menuai simpati di berbagai blog. ”Perang saudara sudah meletus. Tak diragukan lagi akan banyak kematian setelah ini,” demikian tertulis pada sebuah surat elektronik yang dikirim oleh ”Rania”. Pesan elektronik lain yang ditulis oleh ”Saint Denis” berbunyi begini: ”Kami akan hancurkan semuanya. Beristirahatlah dengan tenang, kawan.”

Kerusuhan ini kembali memicu debat sengit tentang keberhasilan Prancis sebagai negara Eropa yang dianggap paling adaptif terhadap para imigran, terutama muslim. ”Ini paradoks sebuah integrasi, terutama menyangkut janji-janji yang gagal direalisasi negara,” tutur kriminolog Alain Bauer dalam sebuah debat televisi.

Menurut Bauer, yang mengutip Le Monde Diplomatic, selama ini para imigran mengalami perlakuan diskriminatif di bidang sosial. Tingkat melek huruf mereka rendah, pengangguran tinggi, dan terjadi pengebirian atas hak-hak politik domestik mereka yang dikuasai kaum kulit putih Prancis. ”Akibatnya, mereka berkelompok membangun ’kota-kota baru yang buruk’ yang sering dipandang sebagai ghetto oleh masyarakat kulit putih. Di situ beredar obat bius, dan tumbuh geng-geng berandalan,” Bauer menuturkan.

Ia melihat kesalahan terbesar terletak pada keangkuhan para politisi Prancis yang berkukuh mendendangkan lagu lama jika sudah menyangkut para imigran: ”Itu tidak benar, itu bukan hal serius, dan itu bukan salahku.” Padahal, dari sisi demografis, penganut Islam kini menjadi populasi kedua terbesar di Prancis setelah pengikut Katolik Roma. Karena itu, aspirasi politik dan kepentingan sosial mereka sewajarnya lebih diperhatikan (lihat Les Miserables, Tempo 9 November 2005).

| | |

Peristiwa di atas mengingatkan aku pada kerusuhan serupa di tahun 1983. Dulu gerakan itu dilakukan pemuda seangkatan Toumi. Kini dilakukan remaja-remaja putus asa, seusia anak-anak Toumi, Farid, Djamel, dan Alima.

Suatu malam di Paris, pasca-kerusuhan Oktober lalu, aku hadir dalam sebuah pertemuan ”Seruan Ibu” di gedung Radio Nasional Prancis persis di depan Menara Eiffel. Yamina Benguigui, seorang sutradara, membacakan seruan, ”Anak-anak tercinta, Prancis itu negara kita. Kalian pasti yakin itu karena kalian akan merasa sebagai orang asing bila pulang ke Aljazair dan Maroko.”

Kalimat-kalimat Yamina selanjutnya mengalir tenang penuh daya pukau. ”Kalian menyukai musik dan menonton film yang sama dengan kawan-kawan kalian. Kami pernah bermimpi, kalian menjadi seorang menteri, anggota parlemen, anggota kota madya, guru SD, atau doktor. Kini, beberapa di antara kalian melihat kakak-kakak dan ayah kalian menganggur dan mengamuk. Tetapi jangan menghancurkan dan membakar apa yang pernah kalian puja,” ujarnya.

Sesaat kemudian, dia melanjutkan: ”Jangan membiarkan kata-kata penuh kebencian merasuki kalian untuk memusuhi negara yang kita bangun bersama. Itu akan membenarkan teori (Jean-Marie) Le Pen, teori yang diyakini Ketua Partai Front Nasional (partai kanan garis keras—Red).” Seorang ibu tampak tersentuh. Di depan ibu-ibu, sebuah nama tertulis: Alima Boumediene, anggota Sénat.

Alima adalah teman seperjalananku 25 tahun lalu. Kini dia duduk di kursi Sénat, sebagai pembela undang-undang dasar. Padahal selama ini institusi politik Prancis sangat konservatif dan selalu dikuasai laki-laki tua.

| | |

PERJUANGAN Alima menembus benteng Republik tidak mudah. Demi kenangan masa silam, esok paginya aku bersepeda ke kantornya dari tempatku menginap di Saint-Germain-des Près, Paris. Dulu daerah itu terkenal sebagai pusat musik jazz dan tempat kongko para penulis eksistensialis. Pada 1968, wilayah itu menjadi pusat kerusuhan. Kini semuanya berubah. Saint-Germain beralih menjadi lokasi termewah dan mahal di ibu kota.

Untuk mencapai gedung Senat tempat Alima berkantor, aku harus menyeberangi Sungai Seine, melintasi halaman Museum Louvre, lalu menuju arah utara melewati Avenue de l’Opéra. Semakin ke utara, wajah Kota Paris kian pudar. Penduduknya semakin miskin, semakin hitam.

Aku sampai di Château Rouge (Istana Merah). Lima tahun aku tinggal di daerah ini. Sepanjang jalan banyak pertokoan berderet. Ada toko-toko sayur Afrika milik keluarga imigran Vietnam keturunan Cina, ada sinagoga, rumah makan Maroko, toko musik milik orang Pakistan.

Pada 1985, beberapa apartemen tua yang ditempati kaum migran miskin di Château Rouge kebakaran. Entahlah, terbakar atau dibakar. Aku menyaksikan kebakaran itu. Menyaksikan seorang wanita Afrika melompat dari lantai tujuh untuk menghindari api. Kematian wanita itu mendorongku menulis satu dongeng anak, tentang Menara Babel masa kini. Buku itu kuberi judul Château Rouge.

Kantor Alima masih ke utara lagi, di Porte de Clignancourt, di perbatasan Paris. Daerah itu ditempati pengungsi politik yang datang ke Prancis sekitar tahun 30-an. Terdiri dari bekas pejuang Republikan asal Spanyol, bekas kaum buruh Polandia. Kaum akar rumput Paris—umumnya para jompo kesepian, pemabuk, dan penganggur—turut memadati wilayah ini.

Aku ditunggu Alima di Kafe Le Palais de Montmartre, bersebelahan dengan kantor Partai Hijau. Pemilik kafe itu seorang bekas pejuang kemerdekaan Aljazair. Foto besar mantan Presiden Aljazair, Abdulaziz Bouteflika, terpajang di dinding kafe. Alima tidak berubah, tetap lucu, cerdas, sederhana. Kedudukannya di Sénat tak membuatnya sombong. Aku rasa sifat itu menurun dari ayahnya, seorang pejuang kemerdekaan Aljazair. Dan Alima bercerita tentang ayahnya.

| | |

Pada 1938, ayah Alima melarikan diri ke Prancis karena dicari polisi. Bagi lelaki itu, negeri di belahan barat Eropa itu merupakan tempat teraman. Di Prancis, dia bekerja di sebuah penambangan batu bara. Ketika pasukan Jerman menyerbu Prancis dua tahun kemudian, ayah Alima ditangkap. Dia dideportasi ke Jerman dan dimasukkan ke kamp kerja paksa. Dia disiksa agar mengaku sebagai orang Yahudi. Alasannya, tentara SS melihat dia disunat dan kulitnya agak putih.

Suatu malam, bersama beberapa kawannya, dia berhasil melarikan diri. Mereka pergi ke Vendée, daerah Prancis barat. Mereka bergabung dengan La Résistance, sebuah kelompok perlawanan Prancis yang melawan pendudukan Jerman. Seusai perang, dia menikah dan tinggal di Argenteuil, di gubuk-gubuk reot. Di salah satu gubuk itu, Alima dilahirkan. Dindingnya terbuat dari papan, atapnya seng. Semasa kecil, Alima senang bermain lumpur. ”Tak ada air. Untuk mendapat air, harus mencari di sumur umum. Setiap malam saya di rumah, membuat PR di bawah cahaya lilin,” tuturnya.

Kawasan itu miskin, namun tak disebut sebagai ghetto oleh penduduk. Mereka menyebutnya kampung. Alima mengaku senang hidup di tempat itu. Sejak 1954 sampai 1962, ayahnya berjuang untuk kemerdekaan Aljazair sebagai pasukan rahasia—bernama Wilaya—di Prancis.

Rumah Alima menyimpan banyak pamflet, juga senjata. Seusai perang, dia masuk sekolah dasar negeri. Di situ dia mulai mengenal perlakuan diskriminasi dan rasisme. Ibu gurunya pernah berkata: ”Bapakmu, Boumedien, telah membunuh kakakku,” katanya. Ternyata, kakak ibu guru itu mati tertembak saat menjadi tentara kolonial di Aljazair. Itu membuat si ibu guru menganggap semua laki-laki Aljazair sebagai pembunuh saudaranya.

Sejak kecil, Alima amat mengagumi ayahnya. Kekaguman itu membuatnya giat belajar dan berjuang. Itu berbeda dengan anak-anak imigran masa kini, yang ayah mereka umumnya tidak bekerja, tidak dihargai, hidup di apartemen rusak dan kumuh, direndahkan oleh negara. ”Ayahku memang miskin, tapi dia seorang pejuang,” tutur ibu satu anak ini dengan bangga.

| | |

Gaji Alima sebagai anggota Senat tentu tidak kecil. Tapi gaya hidupnya tak berubah. Dia tinggal di apartemen pinggiran Argenteuil bersama suaminya yang asli Prancis, serta anaknya. Setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Alima mengantar anaknya ke sekolah. Bukan hal aneh bila bertemu Alima di subway atau metro (kereta bawah tanah—Red). Suaminya bekerja di Departemen Pendidikan. Wanita berdarah Aljazair itu berjuang untuk lingkungan hidup lewat Partai Hijau.

Dulu anggota Partai Hijau adalah orang-orang borjuis Prancis. Kalau sekarang Alima bisa menjadi anggota Sénat, tentu istimewa. Dia orang yang tegas dan berani. Beberapa hari setelah aku bertemu dia di kafe itu, Alima berpidato di Sénat. Dia menuntut pemerintah mencabut Undang-Undang Keadaan Darurat yang baru diterapkan untuk menundukkan kerusuhan. Ternyata pemerintah malah memperpanjang keadaan itu sampai tiga bulan ke depan.

Ada kisah ironis dalam kehidupan Alima sekarang. Ia mempunyai sekretaris perempuan pribumi Prancis, kulit putih. Banyak orang terkecoh dan mengira sebaliknya. ”Orang yang baru pertama datang selalu mengira saya sekretarisnya sekretaris saya,” tutur anggota Senat itu sembari tertawa. Ini contoh kecil betapa kaum imigran selalu dipandang sebelah mata, ditempatkan sebagai warga negara kelas dua. Luka lama dari masa lalu itu rupanya masih terus mengaga….


BARA DI DALAM SEKAM

Empat dasawarsa lalu, kerusuhan besar pernah melanda Prancis. Pemicunya adalah ketimpangan sosial antara warga pendatang dan kaum pribumi. Bara itu rupanya terus menyala dalam sekam. Pada akhir Oktober hingga pertengahan November, api kembali menjilat Prancis saat amuk masa mengguncang 30-an kota dengan alasan yang sama.

  • Pelaku: Pelajar, mahasiswa, dan buruh.
  • Pemicu: Kebijakan pemerintah yang memotong anggaran jaminan sosial.
  • Kerugian: Tidak ada catatan terperinci.
  • Korban: luka-luka akibat bentrok dengan polisi dan aparat keamanan.

13 Desember 1967 Aksi mogok oleh pelajar delapan sekolah lanjutan, Serikat Mahasiswa Nasional (UNEF) dan Serikat Buruh Prancis. Mereka menentang kebijakan pemerintah memotong anggaran jaminan sosial. Hampir separuh penduduk Paris mendukung aksi ini.

Januari 1968 Roman Goupil, 16 tahun, pelajar yang mengorganisir aksi di Lycee Condorcet dikeluarkan dari sekolah. Para pelajar menggelar aksi solidaritas.

22 Maret 1968 Polisi menangkap lima aktivis anti-perang setelah pengeboman Bank Amerika di Paris. Mahasiswa menduduki gedung administrasi di Nanterre, memprotes penahanan itu. Demo kian marak.

3 Mei 1968 Ratusan mahasiswa Sorbonne dan CALs (Serikat Pelajar Radikal) menggalang aksi solidaritas untuk kawan-kawan mereka di Nanterre. Demo berakhir dengan bentrok melawan polisi.

7 Mei 1968 Tiga puluh ribu orang menduduki jalan-jalan Kota Paris selama lima jam. Mereka menuntut agar kampus dibuka kembali dan aktivis yang ditahan dibebaskan.

9 Mei 1968 Night of barricades. Sekitar 35.000 demonstran merusak barikade sehingga terjadi perang batu dengan polisi anti huru-hara Prancis.

10 Mei 1968 Aksi mogok serentak seharian penuh di Paris diikuti sekitar 9 ribu orang.

11 Mei 1968 Para pemimpin buruh di tiga konfederasi serikat buruh merespons opini publik atas tindakan represif polisi.

13 Mei 1968 Sejuta buruh, pelajar, dan mahasiswa berjalan ke Paris. Mereka menuntut Presiden Charles de Gaulle mundur.

14 Mei 1968 Para pekerja kembali ke pabrik.

24-30 Mei 1968 Pemerintahan de Gaulle guncang. Sepuluh juta pekerja menggelar aksi mogok nasional.

Juni 1968 Kerusuhan diakhiri dengan pemilu parlemen.

  • Pelaku: Remaja keturunan imigran Afrika Utara dan sub-Sahara Afrika.
  • Penyebab: Diskriminasi pemerintah terhadap kaum imigran dan keturunannya.
  • Pemicu: Ziad Benna dan Banou Traoré tewas Tersetrum setelah dikejar polisi.
  • Kerugian: Hampir 9.000 mobil hangus, sejumlah toko dan sekolah dilempari bom molotov. Total diperkirakan US$ 8,44 juta atau Rp 85 miliar.
  • Korban: Seorang tewas, 126 aparat luka-luka, 2.888 orang ditangkap.

27 Oktober 2005 Bentrok ratusan remaja imigran dengan polisi di pinggiran Paris, yang menyebar ke kota lain. Pembakaran mobil mulai terjadi.

2 November 2005 Menteri Dalam Negeri Prancis Nikolas Sarkozy menyatakan akan ”membersihkan” kawasan sub-urban. Kerusuhan menyebar di empat kawasan. Malam itu 300 mobil dibakar.

3 November 2005 Sekitar 500 mobil dibakar di Aulnay-sous-Bois, Neuilly-sur-Marne, Le Blanc Mesnil, dan Yvelines.

8 November 2005 Presiden Jacques Chirac mengumumkan keadaan darurat di lebih 30 kota di Prancis.

12 November 2005 Aksi jalan damai di kota Stains.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus