Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cerita Musuh Cerita Kawan

28 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga puluh dua tahun berkuasa, Soeharto punya banyak pengikut. Tapi tak sedikit pula yang menjadi penentangnya. Tempo mewawancarai Fuad Bawazier, Menteri Keuangan kabinet terakhir Soeharto, sebagai ”wakil” kelompok pengikut. Budiman Sudjatmiko, mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik, dari kelompok penentang. Adapun Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono membandingkan situasi kabinet dulu dan kini.

Fuad Bawazier

  • Menteri Keuangan Kabinet Terakhir Soeharto

    Setelah Pak Harto lengser, saya lebih banyak datang ke Cendana. Tidak dalam momen-momen saat beliau berulang tahun atau pada hari Lebaran, tapi justru di waktu tidak ada acara. Dengan begitu, saya bisa lebih banyak bicara.

    Dalam beberapa kali kesempatan, Pak Harto mengatakan bahwa ekonomi Indonesia ini dihancurkan oleh tim ekonominya sendiri. Beliau menyebutkan nama-nama secara eksplisit (Fuad menyebutkan seorang mantan Menteri Keuangan dan seorang mantan Gubernur Bank Indonesia).

    Saat krisis keuangan menerpa Thailand pada 1997, Pak Harto diyakinkan para menteri ekonomi bahwa Indonesia tak mungkin terkena krisis yang sama. Dilaporkan bahwa fondasi ekonomi negara ini kuat. Pak Harto memang ahli politik, ahli perang, dan ahli strategi, tapi beliau tidak paham ekonomi. Pak Harto selalu menyerahkan persoalan ekonomi kepada timnya, dan beliau hanya menjaga masyarakat kecil: petani, tengkulak, juga nelayan. Mengapa? Karena beliau yakin, jika masyarakat makannya cukup, kenyang, situasi akan aman.

    Pada puncak krisis, Pak Harto sebenarnya tidak mau bergabung ke IMF (Dana Moneter Internasional). Beliau sudah yakin untuk menerapkan currency board system. Tapi para anggota tim ekonominya meyakinkan bahwa tidak ada jalan selain bergabung dengan IMF.

    Juwono Sudarsono

  • Menteri Pertahanan
  • Menteri Lingkungan Kabinet Terakhir Soeharto

    Saya 70 hari duduk dalam kabinet terakhir Pak Harto. Di masa yang pendek itu, Pak Harto selalu menggelar rapat kabinet tak lebih dari satu jam. Dalam satu jam itu, beliau memberikan arahan, juga meminta beberapa menteri bicara.

    Beliau selalu memberi penekanan prioritas tak lebih dari tiga poin, sehingga para menteri lebih mudah menerjemahkan. Fokus utamanya pada bidang ekonomi, karena saat itu memang dalam masa krisis keuangan: nilai tukar menembus Rp 12 ribu per dolar AS, dan APBN tak memadai.

    Saya merasakan keheningan yang padat saat Pak Harto bicara. Wibawanya sangat terasa. Mungkin juga karena 100 persen kabinetnya berasal dari Golkar, sehingga tidak ada masalah dengan koalisi dan sebagainya.

    Itu berbeda dengan sekarang. Walau sistem kita presidensial, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berusaha merangkul semuanya. Suasana sidang kabinet lebih demokratis, terbuka, dan banyak diskusi. Bahkan kadang menteri yang tidak perlu bicara justru paling banyak bicara.

    Menurut saya, tiga prestasi terbesar yang dicapai Pak Harto selama memimpin adalah keberhasilan menekan laju pertumbuhan penduduk, mengurangi angka kemiskinan, dan meningkatkan partisipasi masyarakat pada pendidikan.

    Kritik saya, pada 20 tahun pertama pemerintahan Pak Harto terlalu terpusat pada stabilitas. Memang, ini diperlukan untuk pembangunan ekonomi. Dengan stabilitas, efektivitas kabinet menjadi terasa. Obsesi pada stabilitas itu dulu diterima, berbeda dengan sekarang.

    Budiman Sudjatmiko

  • Mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik

    Semasa bersekolah di SMP, SMA, lalu kuliah, saya sudah melihat Soeharto banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Saya bisa melihat korbannya di sekeliling saya. Saya kemudian punya sikap anti-Orde Baru, tapi itu masih menjadi sikap intelektual saya. Lalu, pada 1996, saya dan organisasi yang saya pimpin, Partai Rakyat Demokratik, dituduh mendalangi peristiwa 27 Juli. Saya ditangkap, diinterogasi, diadili, dan dihukum 13 tahun.

    Sejak itu, saya terlibat langsung dalam konfrontasi. Sikap anti-Orde Baru saya tak lagi pada sikap intelektual. Itu karena saya sudah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia. Soeharto telah memenjarakan saya untuk alasan yang sebenarnya konstitusional, yaitu mengkritik Orde Baru.

    Persoalan saya dengan Soeharto bukan masalah pribadi. Karena itu, saya tidak pernah dendam kepadanya. Saya justru risau dengan orang-orang yang kini berteriak agar kita memaafkan Soeharto dengan alasan kemanusiaan. Mereka sebenarnya tidak berhak memberi maaf. Seharusnya mereka justru berterima kasih kepada Soeharto karena dulu diberi banyak fasilitas.

    Yang berhak memberi maaf adalah para korban pelanggaran hak asasi manusia: keluarga orang hilang yang hingga kini belum ditemukan atau anak yang ditinggal mati ayahnya akibat kekejaman Orde Baru.

    Budi Setyarso

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus