Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Represi Rezim hingga Netizen

Kartunis politik Indonesia tak jarang harus berhadapan dengan tindakan represif karena karya yang mengkritik. Yayak Yatmaka pada masa Orde Baru harus berhadapan dengan rezim. Sementara itu, kartunis media sosial masa kini punya tantangan tersendiri.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA gambar ratusan manusia di selembar kertas itu. Aparat berseragam tertawa-tawa sambil membenamkan kepala warga di tengah kolam. Aparat lain menembak seorang perempuan hamil dari belakang. Babi-babi berpesta. Dan di mana-mana adalah rakyat kecil. Bertubuh ceking, berwajah merana, berjuang sebisanya melawan para aparat yang digambarkan jauh lebih besar dari mereka. Semua gambar itu termuat dalam sebuah poster berjudul Tanah untuk Rakyat. Pembuatnya adalah Yayak Yatmaka. Karena poster itu, Yayak diburu, dikehendaki hidup ataupun mati.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poster itu dibuat pada 1991, seusai konflik pembangunan waduk Kedungombo di Jawa Tengah yang menjadi puncak kemarahan para aktivis. Yayak menggarap sendiri poster itu karena rekan-rekan yang diajaknya tak ada yang berani. Pembuatan poster bermula dari keputusan koalisi aktivis pada saat itu untuk menyuarakan semua persoalan agraria yang dipicu oleh Presiden Soeharto dan kroni-kroninya dalam satu media visual.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komik dari akun @komikfaktap tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. @komikfaktap

Yayak merekam 14 kasus kesewenang-wenangan pemerintah Orde Baru atas nama pembangunan, dari proyek Kedungombo, pembangunan kandang kuda dan peternakan di Gunung Salak serta lapangan golf Cimacan di Jawa Barat, hingga kasus Talangsari di Lampung. Poster itu dilengkapi sebuah sajak dari Wiji Thukul berjudul “Tentang Sebuah Gerakan”. “Aku berpikir bagaimana caranya agar poster ini dapat dipajang dengan sukarela, lalu terpikir format kalender karena pasti dipajang setahun,” ujar pria yang juga akrab dikenal dengan nama Yayak Kencrit ini lewat sambungan telepon, Kamis, 6 Mei lalu.

Kalender ini kemudian dicetak sebanyak 25 ribu eksemplar dan disebar ke seluruh basis pergerakan. Rupa-rupa gambar dalam poster itu begitu berani. Salah satunya memperlihatkan pria tersenyum yang menyerupai Soeharto sedang memangku perempuan seksi sementara menduduki sosok-sosok kurus penuh derita. Gambar lain adalah seorang perempuan yang dapat dibayangkan sebagai Tien Soeharto, istri Presiden, sedang mengayunkan tongkat golf dalam kostum bikini. Maret 1991, Kejaksaan Agung menyatakan kalender Tanah untuk Rakyat dilarang. Yayak menjadi buron atas tuduhan subversif. Informasi pencariannya disiarkan di koran-koran nasional, lengkap dengan riwayat hidup dan fotonya.

Bukan sekali itu Yayak mengkritik rezim Orde Baru dengan karikaturnya. Dia pernah memasang sebuah iklan di koran Kedaulatan Rakyat. Iklan itu bergambar anak-anak dan tentara dengan judul “3.500 Anak-anak Kedung Ombo Ditenggelamkan”, dipasang tepat di atas cerita silat yang paling digemari pembaca. Yayak masih aman seusai pemasangan iklan ini karena di dalamnya juga terdapat tanda tangan Romo Mangun dan sejumlah perwakilan lembaga swadaya masyarakat.

Ilustrasi kalender "Tanah untuk Rakyat" karya Yayak Yatmaka pada 1991. Dok. Pribadi

Yayak pertama kali membuat kartun politik semasa menjadi mahasiswa baru di Institut Teknologi Bandung pada 1977. Pada masa itu, gerakan mahasiswa sedang bergairah untuk menurunkan Soeharto. Dalam salah satu aksi terbuka menolak Soeharto, Yayak menggambar karikatur kritik di selembar karton panjang. Akibat aksi itu, kampus ITB diduduki tentara, kartun Yayak disita.

Lulus kuliah, Yayak menjadi ilustrator lepas. Dia segera menyadari bahwa setiap karyanya akan selalu terbentur sensor. Menurut Yayak, para redaktur visual di media massa selalu mengingatkan bahwa dia boleh menggambar apa pun, kecuali terkait dengan Keluarga Cendana (julukan keluarga Presiden Soeharto), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, atau isu buruh dan tani, karena akan dikaitkan dengan komunisme.

Karya-karya Yayak agaknya membuat pemerintah betul-betul gerah. Setelah penangkapan atas sejumlah mahasiswa yang menyebarkan kalender Tanah untuk Rakyat, Yayak adalah giliran berikutnya. Beruntung dia mendapat perlindungan dari jejaring aktivis yang luas. Istri dan dua anaknya yang masih balita diungsikan ke Jerman. Yayak sendiri berpindah-pindah tempat persembunyian selama sembilan bulan.

Pada akhirnya Yayak dapat meninggalkan Indonesia melalui Batam. Dia kemudian berdiam di Eropa, tempat ia terus menggambar. Salah satunya, di Paris pada 1993, Yayak menggambar sebuah baliho berukuran 4 x 6 meter dalam sebuah demonstrasi anti-Orde Baru yang bertepatan dengan agenda pertemuan pertama Consultative Group on Indonesia (CGI), himpunan negara-negara pemberi utang bagi Indonesia. Di balihonya yang menggambarkan korban-korban yang jatuh selama Soeharto berkuasa, Yayak menulis besar-besar: “CGI, Your Aid is Our Aids!”. “Semasa di luar negeri, aku justru bisa mendapat informasi lebih banyak tentang apa yang terjadi di Indonesia. Dan kejadian apa pun yang berhubungan dengan Soeharto ataupun tentara langsung aku gambar,” kata Yayak, yang baru bisa pulang ke Indonesia setelah Soeharto jatuh.

Hingga kini Yayak tetap menusuk dengan karya-karyanya. Tahun lalu dia menggambar babi rakus dan sosok pria yang matanya ditutupi tulisan “Omnibus Law”, sementara mulutnya memamah uang dolar. “Ayo hancurkan NKRI dgn UUOL/2020,” tulis Yayak.

Kritik lewat kartun dan komik masih terus dilakukan oleh generasi setelah Yayak. Sementara Yayak dulu bersuara lewat medium koran, pamflet, atau poster cetak, para kartunis muda kini menemukan lahan bermain di media sosial. Dengan konten-konten kritis, mereka mampu menumbuhkan pengikut hingga puluhan ribu, seperti yang dilakukan akun Gump n Hell dan Komik Faktap.

Gump n Hell, yang kini memiliki 77 ribu pengikut di Instagram dan 10 ribu di Twitter, merupakan inisiatif Errik Irwan Wibowo, 35 tahun. Baru-baru ini akun itu mengunggah rangkaian komik tentang proyek tambang di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. Pelaksana proyek digambarkan berhidung babi melawan warga yang bertopi caping. Komik ini tanpa tedeng aling menerangkan bahwa proyek itu tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan dan cacat prosedur. “Ngeri ketika proyek gede tp kajiannya minim (bahkan hampir gak ada). Coba aja tagih,” begitu bunyi keterangan unggahan tersebut.

Errik membuat akun media sosial khusus Gump n Hell pada 1 Maret 2016. Mulanya hanya di Facebook dan Instagram. Namun Errik sudah menciptakan karakter dalam komik ini, Gump dan Hell, semasa kuliah lewat komik di majalah dinding kampus. Nama kedua karakter ini diambil dari nama panggilan sahabat Errik. Tujuan dia membuat komik ini adalah, “Sebagai sarana berekspresi dengan mengajak orang tertawa sekaligus berpikir,” ujar Errik dalam jawaban tertulis kepada Tempo, Sabtu, 8 Mei lalu.

Digambar sederhana dengan ciri khas kacamata dan kepala gundul, Gump dan Hell muncul kadang sebagai karakter utama, lain waktu sebagai narator, atau kadang sebagai pemberi komentar atas isu-isu yang diangkat dalam suatu episode komik. Hal yang menjadi perhatian Errik cukup luas. Dia mengkritik keengganan Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, gonjang-ganjing omnibus law, hingga keberagaman beragama dan penanganan pandemi Covid-19.

Sepenggal komik dari @gumpnhell tentang proyek tambang di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. @gumpnhell

Meski belum pernah menghadapi represi atas karyanya sebagaimana yang dulu dialami Yayak Yatmaka, Errik mengaku tetap mempelajari celah-celah hukum dan berbagai taktik untuk “ngeles” agar tak terjerat aturan seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. “Pendekatan komiknya secara tersirat dan penuh ‘semiotika’ untuk hal-hal yang sangat sensitif,” katanya.

Strategi serupa dilakukan Iskandar Salim, inisiator Komik Faktap. Iskandar menyadari ada potensi berurusan dengan hukum akibat karya yang bersifat satire. “Saya usahakan memakai pendekatan nonfrontal sekaligus melatih kreativitas dan mengajak pembaca berpikir,” ucapnya lewat wawancara tertulis.

Komik Faktap, yang diikuti 135 ribu pengguna Instagram, sering mengomentari isu sosial yang sedang hangat dibicarakan dan memunculkan berbagai simbol budaya populer, seperti karakter Marvel atau Star Wars. Dalam warna yang dominan putih, hitam, dan kuning, akun ini juga mengunggah kartun politik yang mengkritik aksi korupsi atau sikap pemerintah atas RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Awalnya adalah keisengan Iskandar untuk menyalurkan ekspresi pribadinya tentang beragam isu. Akun ini mulai viral setelah mengunggah komik parodi gambar biskuit Khong Guan, lalu komik Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Menjelang akhir 2015, tema komik mulai melebar ke arah sosial-politik dengan menyentil tingkah dan kinerja para pejabat. “Ini didasari rasa ‘geregetan’ saya terhadap hal-hal yang menurut saya tidak adil atau tidak benar,” ujar lulusan Desain Komunikasi Visual Universitas Trisakti itu.

Salah satu hal yang harus dihadapi kartunis media sosial tak lain adalah komentar netizen. “Ada yang menuduh saya ‘BuzzeRp’, ‘cebong’, sampai ‘kadrun’. Lengkap sudah,” kata Iskandar.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus