Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Hanafi Muhammad.
Terinspirasi kenangan masa kecil, isu lingkungan, dan pandemi.
Dipamerkan di JNM, Yogyakarta.
GAMBARAN Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, di tangan Hanafi tampak muram. Semuram kondisi desa di Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, yang tengah terancam dikeruk batuan andesitnya untuk bahan membuat bendungan. Warna hitam dan putih mendominasi. Beberapa tampak tegas dengan blok hitam. Tapi tak sedikit yang hitam samar ataupun putih keabu-abuan. Seperti pada lukisan yang membentuk garis dengan ujung menekuk ke bawah. Satu lagi membuat lengkungan horizontal, sepintas seperti kepala backhoe yang menekuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat diamati saksama, lukisan berjudul Developmentalism #2 itu justru tampak seperti dua sosok yang saling memeluk. Ini mengingatkan kita akan cover majalah Tempo yang melukiskan seorang ibu memeluk erat anak lelakinya yang barus saja dilepas setelah diangkut polisi dalam tragedi 8 Februari 2022. Saat itu Wadas dikepung ratusan polisi serta 64 warga dikejar dan ditangkap dengan cara tak manusiawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun tak ada lukisan yang menggambarkan suasana chaos saat itu. Hanafi memilih ceritanya sendiri. Bentuk-bentuk kegundahannya atas developmentalism di Wadas ditegaskan dengan membubuhkan huruf atau tulisan dalam lukisannya, sekaligus untuk memperjelas pesannya atas Wadas. Ada huruf kapital “W” ataupun tulisan “Wadas”, “Wadas+”, “Bener”, “Andesit”, juga “Developmentalism”. Hal itu dilakukan berulang pada lukisan yang berbeda.
Lukisan Hanafi berjudul "Sarung Basah Ayah" di JNM Yogyakarta, 12 Maret 2023/Tempo/Pito Agustin Rudiana
Seperti pada citraan kotak keabu-abuan pada latar hitam. Dengan kuasnya, Hanafi menulis “Andesit” di dalamnya. Sementara itu, sosok hitam berdiri mematung di sampingnya. Ia juga menceritakan Sarung Ayah di Wadas dengan citraan kain bergaris hitam-putih yang sudah pudar dan kain sarung yang tak lagi utuh. Atau lukisan berlatar keabu-abuan dengan huruf “W” besar warna-putih di tengah. Ia memberinya judul W Rumahku.
“Meskipun saya tidak lahir di Wadas, tapi pernah dekat dengan Wadas,” ujar pemilik nama lengkap Hanafi Muhammad itu saat ditemui selepas acara pembukaan pameran tunggal lukisannya yang berjudul “Af+ermasks” di Jogja National Museum (JNM), Yogyakarta, Ahad sore, 12 Maret lalu.
Dia lahir di Purworejo, 53 tahun lalu. Kedekatan yang pernah dijalin dengan Wadas terjadi ketika ia berusia sekitar 10 tahun. Hanafi sering diajak ayahnya yang guru mengaji untuk mengajar di sana. Namun itu cerita lalu, sebelum akhirnya Hanafi merantau ke Ibu Kota selepas belajar di Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogyakarta pada 1976-1979. Kini ia menetap di Depok, Jawa Barat.
Rupanya kenangan tentang Wadas tak hanya memunculkan empati akan nasib warga di sana yang dianggap sebagai para sedulurnya itu dalam lukisan. Ia memberinya tema “Developmentalism/Wadas”. Ada satu kenangan di sana yang mempengaruhi, bahkan menjadi cikal bakal pilihannya kelak sebagai pelukis abstrak.
Suatu saat ia diboncengkan ayahnya dengan sepeda kayuh ke Wadas. Seperti biasa, ayahnya mengenakan baju koko dan sarung. Di tengah jalan, sebuah mobil yang dikendarai murid mengajinya lewat. Ban mobilnya menjejak genangan lumpur. Cipratan lumpur basah berpindah menjadi motif baru di baju dan sarung ayahnya. Sementara itu, si murid terus melenggang pergi. Mungkin ia tak tahu di antara rombongan pesepeda yang dilewati ada guru mengajinya.
Jejak lumpur itu pun menjadi tanda tanya bagi ibunya setiba mereka di rumah. “Ah, tadi cuma jatuh. Tapi tak apa,” ucap ayahnya singkat saat itu. Jawaban singkat itu membuat pikiran Afi—panggilan kecilnya—terus bergulat. Mengapa ayahnya tak menjelaskan kepada ibunya tentang kejadian sebenarnya? Mengapa ada yang mesti disembunyikan? Pikirannya yang berkecamuk membuahkan sebuah kesimpulan bagi Hanafi.
“Ternyata memang tak perlu harus menyampaikan seterangnya atas suatu kenyataan obyektif, apabila memunculkan kekhawatiran,” kata Hanafi, yang juga berkecimpung di dunia teater, sastra, arsitektur, dan tari. Cara pandang itu pula yang dipegang Hanafi hingga kini dalam berkesenian, khususnya sebagai perupa. Ia memilih aliran abstrak untuk menampilkan pengalaman suara hati dan kepalanya.
Tak mengherankan, membaca karya-karya lukis Hanafi seperti mengeja garis yang lurus, miring, melengkung, berbentuk blok, kusut, dan tak beraturan. Setiap orang yang melihat pun punya cara pandang sendiri atas lukisannya. Adapun ihwal pesan-pesan yang ingin disampaikan, Hanafi punya cara sendiri pula.
Lukisan Hanafi berjudul "W Rumahku" di JNM Yogyakarta, 12 Maret 2023/Tempo/Pito Agustin Rudiana
“Ya, beginilah karya saya. Itulah mungguh (eksistensi) saya sebagai pelukis (abstrak),” tutur laki-laki yang akrab tampil dengan kemeja putih dengan bagian lengan digulung dan rambut gondrong yang diikatnya itu. Ia juga menerima penghargaan kebudayaan sebagai seniman pelopor dan pembaru dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2021.
Kurator pamerannya, Agung Hujatnikajennong, mengakui konsistensi perupa yang tetap abstrak itu. Bahkan, dalam melahirkan karya-karya abstrak, Hanafi punya cara berbeda. Ia cenderung fenomenologis, yaitu hasil karya abstraknya bergantung pada pengalaman subyektif. “Dan karya abstrak Hanafi lahir dari caranya menyembunyikan kenyataan obyektifnya,” ujar Agung.
Dalam pameran yang berlangsung hingga 12 April 2023 itu, Hanafi memajang 119 karya yang digarapnya selama masa pandemi Covid-19. Tiga di antaranya berupa instalasi. Ratusan karya itu dibagi menjadi tiga tema besar. Pertama adalah tema "Sarung Basah Ayah" yang dipamerkan di lantai dasar JNM. Tema ini mengangkat alusi Hanafi akan ayahnya yang seorang veteran tentara dan menjadi guru mengaji. Sarung menjadi kain harian yang dipakai ayahnya dalam beraktivitas. Bahkan ibunya yang menjahit kain-kain sarung itu dan sebagian besar dijualnya ke pasar pekan. Keabstrakan Hanafi tampak jelas pada lukisan sarung ini. Ia tak hanya melukis sarung dengan garis-garis hitam horizontal dan vertikal yang saling bertumpuk, yang sekilas seperti kain sarung bermotif kotak-kotak dan sekilas kemudian seperti jala ikan.
Hanafi pun acap kali membuat "gemas" karena membuat blok hitam penuh pada kanvas, atau membiarkan latar tetap putih. Lalu ia memunculkan citraan batang kayu cokelat kecil di kedua ujung atas kertas, seolah-olah si kain basah putih tengah dijemur.
Kenangan tentang ibunya dan kain pun dibentangkan dalam lukisan kain warna cokelat yang mengurai dari gulungannya. Hanafi memberinya judul Kain Ibu. Pada tema ini, Hanafi memajang instalasi berupa jaring-jaring kain sarung yang tak utuh dan terbelah menjadi empat potong. Potongan kain sarung dari material plat besi berukuran 220 x 480 sentimeter itu seolah-olah tengah dijemur. Ia memberinya judul Stimulanism.
Di lantai 2 ada tema "Developmentalism/Wadas". Karya-karya lukisan pada tema ini berukuran lebih kecil. Panjang dan lebarnya tak sampai 1 meter. Pada dua tema lain, ia memajang karya lebih jumbo dengan rata-rata ukuran 2 x 3 meter yang memenuhi sebidang dinding. Di sini Hanafi menempatkan satu karya instalasi berjudul 4 Buah Buku. Ada empat buku gambar di atas meja putih yang sendirian di ruangan gelap. Keempat buku itu saling berkelindan.
Sementara itu, tema ketiga di lantai 3 adalah “af+er masks”. Lukisan aneka masker dengan aneka warna menjadi obyek yang mudah dipahami pengunjung pameran. Ini mengingatkan bahwa masker menjadi kewajiban untuk dipakai saat pandemi membabi buta. Namun pemakaian masker juga menjadi kebiasaan ketika pandemi berangsur menuju endemi.
Hanafi Muhammad berdiri di depan lukisan "Kain Ibu" yang dipamerkan di JNM, Yogyakarta, 12 Maret 2023/Tempo/Pito Agustin Rudiana
Hanafi juga membuat citraan lingkaran dengan cat hitam tebal. Tiap tepi kiri kanan lingkaran saling melekat dengan tepi kiri kanan lingkaran lain. Sekilas, ini mengingatkan kita akan gulungan kawat demarkasi yang dipasang polisi untuk menghalau demonstran. Ia memberi judul Batas Terbuka, mengingatkan situasi ketika orang-orang harus saling menjaga jarak. Kesenduan akibat pandemi juga diangkat dalam judul Code. Ia melukis citraan serupa batu-batu nisan dengan berbagai ukuran ketinggian. Tiap batu diberi angka atau sekadar tanda “X”.
Sementara itu, di ruang paling besar dan luas di lantai 3 Hanafi memajang enam buah kursi roda di tengah ruangan. Lukisan-lukisan besar lain mengepungnya di tembok-tembok ruangan pamer. Ini gambaran kesenduan ihwal pandemi yang tak hanya membuat sakit, tapi juga hilang nyawa. Ada yang sakit berkepanjangan, ada juga yang khawatir berkepanjangan. “Pandemi adalah ruang dan waktu yang dialami banyak orang. Tapi, bagi Hanafi, melukiskannya tetap harus menjadi pengalaman yang subyektif,” kata Agung.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo