Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para peneliti perguruan tinggi berpacu membuat riset dan inovasi menghadapi pandemi Covid-19.
Data kasus Covid-19 masih menjadi ganjalan.
Anggaran penelitian kampus Kementerian Riset dan Teknologi tahun ini menurun.
DI sela kesibukan mengajar dan mengikuti rapat-rapat virtual, Basari menyempatkan diri memimpin tim peneliti teknik Universitas Indonesia di Depok, Jawa Barat. Tim itu mengembangkan ventilator untuk memenuhi kebutuhan rumah sakit dalam menangani pasien pandemi Covid-19 yang dipicu virus corona. Diberi nama Covent-20, “Ventilator ini untuk digunakan di ambulans, membantu pasien dalam perjalanan ke rumah sakit,” kata pengajar di Fakultas Teknik UI itu pada Selasa, 28 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Basari mengatakan ventilator transport yang dirancang timnya bertipe noninvasif alias tanpa komponen yang dimasukkan ke tubuh pengguna. Dengan dua mode ventilasi, alat itu dirancang untuk digunakan para pasien yang mengalami gangguan napas tingkat ringan hingga menengah. “Masih harus menjalani pengujian untuk memastikan keamanannya,” ujar Ketua Program Studi Teknik Biomedik tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Institut Teknologi Bandung juga mengembangkan ventilator portabel, yang dinamai Vent-I. Para perekayasa ITB menggandeng tim Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran dan dokter Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin. Mereka menargetkan produksi ventilator hingga 100 unit setelah mendapat izin. Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya juga mengembangkan ventilator mekanis yang diklaim sederhana dan berbiaya murah.
Beragam variasi ventilator tersebut adalah terobosan riset kampus yang tumbuh seiring dengan upaya mengatasi pandemi Covid-19. Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus Covid-19 pertama di Indonesia pada 2 Maret lalu, penyakit infeksius itu sudah menjangkiti lebih dari 10 ribu orang dan membunuh lebih dari 800 jiwa. Dalam tempo dua bulan, hasil riset lain bermunculan, dari beragam perangkat disinfeksi, alat pelindung diri untuk tenaga medis, hingga robot pembersih rumah sakit.
Tim Ahli dan Peneliti Universitas Indonesia (UI) menguji coba penggunaan alat pelindung wajah berteknologi Respirator Pemurni Udara Bertenaga Baterai (RPUBB) di Gedung PAUI, Depok, Jawa Barat, Senin (20/4/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha
Berpacu dengan kecepatan penularan virus SARS-CoV-2, para peneliti bidang kedokteran juga mengulik potensi obat dan pengembangan alat pengujian virus Covid-19. Sejumlah peneliti kampus pun terlibat dalam riset vaksin. “Potensi teman-teman di perguruan tinggi luar biasa, dalam waktu singkat menghasilkan berbagai prototype dan produk yang bisa digunakan dalam penanganan Covid-19,” ucap pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nizam.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Hammam Riza mengatakan kolaborasi universitas dan sejumlah lembaga riset akan mempercepat penelitian. BPPT membentuk satuan kerja riset khusus penanganan Covid-19 yang melibatkan 11 institusi riset negara, 14 perguruan tinggi, serta belasan asosiasi medis dan teknologi. Prioritas penelitian mereka antara lain pembuatan alat diagnostik, sarana penanganan pandemi, dan genom virus corona di Indonesia.
Menurut Hammam, BPPT telah mendapatkan 100 sampel material genetik virus corona dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Sebagian dari stok itu telah didistribusikan ke lembaga riset dan perguruan tinggi untuk bahan penelitian. “Membuat reagen, rapid test kit, juga memerlukan material genetik virus untuk pengujian,” tutur Hammam pada Kamis, 30 April lalu.
Para ilmuwan kampus juga membuat kajian yang memprediksi jumlah kasus positif Covid-19 di Tanah Air. Menggunakan data kasus yang diumumkan pemerintah, studi pemodelan matematika yang dibuat tim ITB memperkirakan ada 60 ribu kasus positif pada akhir Mei mendatang. Hasil riset UI malah menyebutkan kasus virus corona sudah ada sejak pertengahan Januari lalu. Kalkulasi tim yang dipimpin pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Pandu Riono itu menunjukkan bisa terjadi lebih dari 2 juta kasus positif Covid-19 dalam tiga bulan sejak kasus pertama muncul.
Penelitian lain di bidang perilaku sosial menunjukkan banyak orang Indonesia cuek menghadapi wabah. Ada yang tetap nekat pulang kampung meski pemerintah melarang mudik untuk memutus rantai penularan penyakit ke wilayah lain. Menurut dosen Fakultas Ilmu Budaya UI, Munawar Holil, perilaku abai serupa sebenarnya sudah terekam dalam naskah-naskah kuno Nusantara yang bercerita tentang wabah dan bencana. “Ada yang hilang dalam transfer pengetahuan dari kearifan lokal,” katanya.
Riset dan inovasi adalah bala bantuan saat menghadapi pagebluk seperti Covid-19. Untuk itu, para peneliti membutuhkan asupan data yang terbuka. Sejumlah peneliti menyebutkan adanya kesulitan mengakses data yang dipegang pemerintah. Kementerian Kesehatan menyatakan hasil pemeriksaan harus diolah dan diverifikasi ulang sebelum disajikan kepada masyarakat melalui pengumuman Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. “Tidak ada yang ditutupi,” ucap Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Didik Budijanto pada Selasa, 28 April lalu.
Bekas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Siswanto, mengatakan seluruh data sampel pengujian Covid-19 diserahkan ke Kementerian Kesehatan untuk dikompilasi. Setiap hari, Balitbangkes memeriksa sekitar 300 spesimen. Siswanto mengatakan Balitbangkes tak pernah memegang data karakteristik pasien Covid-19. “Balitbangkes hanya menerima sampel dari rumah sakit untuk diuji konfirmasi positif atau negatif,” ujar Siswanto, yang dilantik sebagai Analis Kebijakan Ahli Utama Kementerian Kesehatan pada 15 April lalu.
Terbatasnya data lokal yang bisa diakses membuat peneliti kampus memakai bahan dari riset kasus Covid-19 asal luar negeri. Peneliti Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Igi Ardyanto, dan timnya memanfaatkan data dan citra paru-paru pasien yang sudah dipublikasi di beberapa negara untuk membangun sistem pemindaian kasus Covid-19 berbasis kecerdasan buatan. “Data dari Indonesia masih belum seperti itu, perlu koordinasi dengan pemerintah. Apalagi kalau meminta ke rumah sakit, karena informasi pasien tak bisa sembarangan dipakai,” kata Igi.
Menurut Igi, penelitiannya membutuhkan data besar untuk mencapai hasil maksimal. Teknologi kecerdasan buatan membuat proses penilaian terhadap citra paru-paru berlangsung lebih cepat. Namun riset masih harus dikembangkan dan tak bisa menjadi patokan utama karena diagnosis tetap membutuhkan uji lapangan. “Riset seperti ini banyak dilakukan peneliti negara lain,” tuturnya. “Jika terjadi pandemi seperti ini lagi, sudah ada landasan dari pengalaman saat ini.”
BPPT juga mengembangkan sistem kecerdasan buatan dalam pemindaian citra paru-paru memanfaatkan data dari publikasi luar negeri. Pasalnya, belum ada data citra paru pasien Indonesia. Tim BPPT, Hammam menjelaskan, menggunakan sekitar 200 citra paru yang dirilis di luar negeri untuk melatih sistem kecerdasan buatan. “Ketika sistemnya sudah jalan dan citra paru pasien Indonesia bisa diakses, mesin tinggal dilatih dengan data baru,” ujarnya.
Para peneliti dari berbagai negara berlomba memasukkan hasil riset Covid-19 ke jurnal ilmiah. Nizam mengatakan produktivitas peneliti Indonesia meningkat, tapi kompilasi hasil riset terkait dengan pandemi Covid-19 saat ini belum inklusif. Biasanya perguruan tinggi melaporkan hasil riset ke Pangkalan Data Pendidikan Tinggi setiap akhir semester. Hanya segelintir yang melapor lebih awal. “Publikasi peneliti Indonesia di jurnal internasional terus meningkat meninggalkan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Padahal dulu kita jauh tertinggal,” ucap Nizam.
Selain keterbukaan data, dana berperan besar dalam kelangsungan penelitian. Ada penelitian yang didanai secara mandiri, seperti ventilator ITB. Ada pula pembiayaan dari perguruan tinggi atau bantuan dana Kementerian Riset dan Teknologi. Pada 2019, sekitar Rp 1,5 triliun dikucurkan untuk penelitian di kampus. Tapi tahun ini dana itu malah berkurang menjadi Rp 1,3 triliun. Adapun BPPT, kata Hammam, mendapat anggaran sekitar Rp 40 miliar untuk riset-riset seputar Covid-19. “(Dana) itu nanti sampai barangnya jadi diproduksi.”
Hammam mengatakan riset sejumlah aplikasi terkait dengan Covid-19 yang diangkat peneliti seharusnya dikembangkan lagi dan dilanjutkan hingga bisa diproduksi massal. Penyesuaian kebijakan pemerintah, antara lain birokrasi pengujian inovasi dan perizinan, bisa mendorong universitas dan lembaga riset lebih bersemangat. “Tidak berhenti hanya sampai purwarupa, padahal potensinya sangat bagus untuk diproduksi,” tuturnya.
Menurut Nizam, Kementerian akan membantu menghubungkan perguruan tinggi dengan mitra di pemerintah dan industri. Mereka juga bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk mempercepat pengujian dan sertifikasi peralatan kesehatan. “Purwarupa yang lolos sertifikasi bisa segera diproduksi massal dan dipakai,” ujarnya.
Pandemi juga membuat rutinitas belajar di kampus dan sekolah berubah. Universitas dan sekolah ditutup untuk sementara sehingga tidak ada lagi model belajar tatap muka, diganti dengan belajar dari rumah melalui Internet. Kuliah praktik dan pengerjaan tugas akhir yang membutuhkan fasilitas laboratorium di kampus pun harus ditunda. “Atau diubah dari praktik di laboratorium menjadi membuat simulasi di komputer,” tutur Igi Ardyanto.
Nizam mengatakan pemerintah menggelar survei daring (online) yang diikuti sekitar 237 ribu responden mahasiswa pada awal April lalu atau empat pekan setelah program belajar dari rumah diluncurkan. Hasil survei menunjukkan metode pembelajaran daring yang dipakai perguruan tinggi mencapai 95 persen. Meski demikian, menurut Nizam, para mahasiswa menilai model pembelajaran fisik masih lebih baik dibanding daring. “Kendala utama adalah jaringan Internet yang tidak merata dan koneksi belum stabil,” katanya.
Pemerintah juga menyiapkan sejumlah program lewat tayangan televisi, siaran radio, dan layanan situs bagi anak-anak untuk belajar dari rumah. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Hamid Muhammad, mengatakan materi pelajaran dikurasi oleh tim kurikulum dan dibuat bervariasi setiap hari. Para pegiat pendidikan dan bimbingan belajar juga berusaha menyesuaikan program mereka dengan materi pembelajaran daring.
Penanggung Jawab: Dody Hidayat | Pemimpin Proyek: Gabriel Wahyu Titiyoga | Penulis: Erwan Hermawan, Gabriel Wahyu Titiyoga, Isma Savitri, Mahardika Satria Hadi, Nur Alfiyah, Raymundus Rikang, Retno Sulistyowati, Wayan Agus Purnomo | Penyunting: Agoeng Wijaya, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Stefanus Pramono | Penyumbang bahan: Ahmad Rafiq (Sragen), Anwar Siswadi (Bandung), Ayu Cipta (Tangerang), Dinda Leo Listy (Klaten), Eko Widianto (Malang), Jamal Nasr (Semarang), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Shinta Maharani (Yogyakarta), Hussein Abri (Jakarta) | Fotografer: Gunawan Wicaksono, Prima Mulia | Periset foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama | Penyunting bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi | Desainer: Djunaedi
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo