Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
ISI Surakarta dan Kemendikbud merayakan Hari Tari Sedunia.
Perayaan Hari Tari Sedunia dipindah online ke YouTube.
Penari diminta kritis memanfaatkan ruang digital.
MENARI adalah obat bagi Kadek Puspasari, koreografer dan penari yang tinggal di Nanterre, Prancis. Saat berlangsung karantina wilayah akibat pandemi Covid-19, ia sempat sakit. Namun Kadek tak berhenti mengeksplorasi tubuhnya. Ia tetap menari sebagai terapi dan membagikan video singkat tariannya berdurasi paling tidak semenit ke warga Instagram. Tarian-tarian itu, kata Kadek, adalah responsnya terhadap perasaan yang ia sesapi di dalam ataupun di luar diri. Ia menari di ruang-ruang rumahnya, dengan baju sehari-hari. “Semacam diary-jurnal tari selama lockdown hingga nantinya berakhir,” ujarnya melalui WhatsApp, Kamis, 30 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koreografer Rianto mementaskan tari secara online bertajuk, Njoged bareng The Master @Rianto ddc, menyambut Hari Tari Dunia./Youtube.com
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Total 47 video sudah Kadek unggah ke akun media sosialnya selama pandemi. Unggahannya yang ke-48 istimewa karena sekaligus merayakan Hari Tari Sedunia pada 29 April 2020. Dalam video itu pun Kadek tak menari sendiri ataupun berduet dengan putrinya seperti biasanya. Kali ini dia menari bareng tujuh orang dari belahan lain bumi: Eko Supriyanto, Melati Suryodarmo, Rianto, Elly D. Luthan, Dwi Wahyudiarto, Alfiyanto, dan Iwan Darmawan. Dari delapan penari ini, hanya Eko dan Melati yang berada di satu lokasi, yakni di Eko Dance Company, Surakarta, Jawa Tengah.
Mereka menari bersama via aplikasi Zoom dan ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Hari Tari Dunia ISI Surakarta. Tak ada persiapan, apalagi koreografi khusus untuk acara menari bersama ini. Mereka secara spontan merespons musik yang diputar maestro tari Elly D. Luthan selama sekitar 10 menit. “Semua gerakan murni improvisasi karena konsepnya ini doa atau ritual tari masing-masing dari kami,” ucap Kadek.
Menari daring (online) via Zoom hanya secuplik rangkaian acara Hari Tari Sedunia yang digagas ISI Surakarta beserta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara ini semula akan digelar dengan bentuk tak jauh berbeda dari tahun lalu, saat Hari Tari dirayakan selama seharian penuh di Surakarta. Namun kondisi pandemi membuat wacana dipindah ke ranah daring dengan sejumlah penyesuaian, seperti menggantinya dengan diskusi dan pemutaran film. Acara bertajuk “Dialektika 24 Jam Menari: Biosphere vs Cybersphere” yang dimotori Eko Supriyanto berlangsung 7 jam 30 menit sejak pukul 10 pagi di YouTube.
Eko menjelaskan, lewat perhelatan ini ia sekaligus ingin membuka diskusi soal tubuh, tari, dan dunia siber. Juga bagaimana tari di tengah pandemi sudah digerakkan dari ruang-ruang sempit. Menurut dia, platform digital tetap harus disikapi secara kritis, terlebih bila dibenturkan dengan substansi tari yang mengarah pada ekspresi tubuh. “Yang juga tak kalah penting adalah bagaimana proses tubuh dibentuk menjadi karya dalam situasi ini?” ujarnya.
Seniman tari Kontemporer, Gatot Gunawan menunjukkan koreografi secara daring pada peringatan Hari Tari Sedunia Choreo-Instant Stay At Home di Bandung, Jawa Barat, 29 April lalu./ANTARA/Novrian Arbi
Pengajar koreografi ISI Surakarta ini melihat belakangan makin banyak orang memproduksi video tari singkat dan instan di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Ia sendiri pernah menjajalnya dengan anaknya, dan merasa hasilnya berbeda. “Di anak saya bagus, di saya wagu (aneh). Saya terlihat tidak jujur dengan kondisinya,” tuturnya. Video pendek itu membuat seniman yang akrab disapa Eko Pece ini justru merasa kehilangan substansi tubuh si penari. Substansi tari, seperti tubuh, ekspresi, intensitas, juga imajinasi, dinilai Eko seperti melesap. Tari sebagai hasil dari proses yang panjang pun susah didapati dalam situasi ini.
Menurut Eko, saat ini kebanyakan orang dan pekerja seni masih larut di tengah euforia mencipta dalam ruang pertunjukan virtual. Walau di satu sisi hal ini positif karena menggali kreativitas seniman, ia berharap produksi dibuat dengan serius sehingga hasilnya ciamik, dalam arti menggunakan kamera profesional dan bisa menangkap kedalaman ekspresi tubuh sang penari. Selain itu, durasi tari tidak singkat dan melewati riset panjang.
Jikapun tidak berproses produksi, Eko melihat pandemi sebagai ruang dan waktu bagi seniman, termasuk penari, untuk kembali ke titik nol. Memperbanyak latihan sendiri, tanpa penonton, dan menata kembali koleksi memori tubuh. Pada saat yang sama, penari juga bisa mulai mempelajari hal baru seperti mengedit video agar makin akrab dengan media baru. “Biar hasil produksinya enggak ecek-ecek,” katanya.
ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo