Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ruang pamer Rubanah Underground Hub, Jakarta, Maret lalu, nama perupa perempuan dari periode awal kemerdekaan, Emiria Sunassa, bergaung kembali. Lima perupa dan seorang antropolog dari berbagai negara memamerkan karya dalam pameran “Gemes”, sebuah kata yang diambil dari salah satu judul lukisan Emiria yang dibuat lebih dari setengah abad silam. Lukisan Gemes Emiria menampakkan sesosok ibu yang sedang mendekap dan menciumi pipi anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oleh kurator pameran Riksa Afiaty, kata gemes dipakai untuk menjelaskan keresahan ketika mempertanyakan nilai-nilai kapitalis, patriarki, dan hegemoni Barat pada negara-negara jajahan. “Gemes adalah oplosan emosi yang menggerakkan saya ketika melihat ketimpangan sehari-hari,” ucap kurator asal Yogyakarta itu dalam catatan kuratorialnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya para seniman dalam pameran ini mendiskusikan beragam isu, dari gender, sejarah, kedaulatan, keterwakilan, hingga etnografi, yang bermuara pada keinginan menantang narasi relasi kuasa yang ditinggalkan kolonialisme. Karya-karya mereka kemudian ditempatkan dalam kerangka hidup dan kesenian Emiria Sunassa, sosok perupa yang tak banyak dibicarakan meski pernah memberikan warna unik dalam kesenian saat Indonesia sedang tertatih membesarkan diri seusai penjajahan.
Emiria Sunassa bersama anak angkatnya, dimuat di majalah Indonesia Affairs, 1952./Kliping Tesis Heidi Arbuckle
Emiria hidup antara 1891 dan 1964. Berasal dari Indonesia timur, Emiria hidup berpindah-pindah di Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera. Ia sempat pula menghabiskan waktu di Eropa. Pada usia 40-an tahun, dia menetap di Batavia dan mulai melukis.
Nama Emiria sering dimasukkan ke daftar 20 anggota pertama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Salah satunya dalam situs Arsip Indonesia Visual Art yang menyebut Persagi lahir pada 23 Oktober 1938 di Gang Kaji, Jakarta, dengan ketua Agus Djaya Suminta dan sekretaris S. Sudjojono. Adapun anggotanya antara lain Ramli, Abdulsalam, Otto Djaya, S. Tutur, Emira Sunassa, L. Setijoso, S. Sudiardjo, Saptarita Latif, H. Hutagalung, Sindusisworo, T.B. Ateng Rusyian, Syuaib Sastradiwilja, Sukirno, dan Suromo.
Emiria memang beberapa kali terlibat dalam pameran yang diselenggarakan Persagi. Saat Persagi berpameran pertama kali di toko buku Kolf pada 1940, Emiria diketahui turut urun lukisannya yang berjudul Telaga Warna. Majalah Poedjangga Baroe juga memberitakan bahwa Emiria ikut serta dalam “Pertunjukan Lukisan-lukisan Indonesia” di Kunstkring, Jakarta, sepanjang 7-30 Mei 1941 bersama 13 anggota Persagi. Ada 60 lukisan yang dipamerkan, setengahnya dibuat oleh Agus Djaya Suminta. Lukisan Emiria yang dipamerkan berjudul Pekuburan Dayak Pnihing, Orang-orang Papua, dan Kampung di Teluk Rumbolt.
Namun keanggotaan Emiria di Persagi belakangan tak diakui oleh Sudjojono. Dalam arsip wawancara tertulis peneliti seni Sanento Yuliman dengan Sudjojono, pelukis itu memberikan tanda silang kecil pada nama Emiria saat Sanento bertanya siapa saja pelukis yang merupakan anggota Persagi. Tanda itu berarti Emiria bukan salah satu anggota.
Hal ini dikuatkan oleh pelukis Basuki Resobowo, yang menulis kepada Sanento. Menurut Basuki, Agus dan Sudjojono secara sembrono memasukkan nama siapa pun yang bisa diajukan sebagai seniman dan anggota Persagi karena pada saat itu Jepang sedang berusaha menggunakan para seniman untuk mendirikan pusat kebudayaan. “Emiria ketika itu belum mau bergaul dengan kita (orang-orang Indonesia). Dia hidup bersama (atau sudah kawin?) dengan seorang Belanda yang menjabat dokter di organisasi Palang Merah,” tulis Basuki.
Emiria, menurut Basuki, baru tampil sebagai pelukis ketika zaman pendudukan Jepang, sesudah suaminya lari dari Indonesia. Meski keanggotaan Emiria tak jelas, sejumlah dokumen menunjukkan dia rutin berpameran bersama anggota Persagi. Bahkan setelah Persagi diubah menjadi Keimin Bunka Shidoso (pusat kebudayaan pada masa penjajahan Jepang), Emiria menjadi satu-satunya perempuan yang turut serta dalam pameran lukisan selama 60 hari mulai 29 Agustus 1942.
Meski sering berpameran bersama, Emiria menunjukkan gaya melukis yang berbeda dengan pelukis Persagi pada umumnya. Claire Holt, penulis buku Art in Indonesia: Continuities and Change terbitan 1967, menilai Emiria sebagai pelukis yang terasing pada zaman itu karena karyanya menunjukkan kuasa atas tubuh dan orisinalitas. Sementara banyak pelukis pada masa itu menampilkan lanskap Pulau Jawa atau kemolekan tubuh perempuan-perempuan Jawa, Emiria memilih melukis orang-orang dari Papua, Sulawesi, dan Kalimantan.
Salah satu karya Emiria yang paling sering disebut karena kini menjadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta adalah Pengantin Dayak, yang dilukis antara 1942 dan 1948. Lukisan cat minyak berukuran 68 x 54 sentimeter yang didominasi warna hitam dan ungu gelap itu menampilkan lima orang mengenakan ornamen khas suku Dayak duduk di sebuah meja panjang yang juga didekorasi khusus. Di kaki mereka terdapat sejumlah gong.
Pameran “Gemes” di Rubanah Underground Hub, Jakarta, Maret lalu./Dok. Rubanah
Pada kanvas lain, Emiria melukis seorang pria menggendong tiga ekor burung cenderawasih di depan sebuah latar gelap. Rahang burung itu mengatup dan matanya menatap tajam. Warna kulit dan bulunya yang menyala dalam pendar kekuningan dan hijau tampak kontras di atas latar belakang hitam. Lukisan minyak berjudul Orang Irian dengan Burung Cendrawasih itu dilukis Emiria pada 1948.
Hal lain yang unik dari Emiria adalah penggambarannya akan sosok perempuan. Berbeda dengan pelukis pria pada zaman itu yang biasanya menampilkan sosok perempuan cantik berekspresi malu-malu, Emiria melukis perempuan yang pandangannya lurus ke depan. Ketimbang menunjukkan lekuk tubuh, Emiria lebih berfokus pada ekspresi wajah para perempuan yang tegas. Hal ini terlihat dalam lukisan berjudul Wanita Sulawesi dan Kembang Kemboja di Bali.
Namun karakter melukis Emiria yang disebut orisinal oleh Holt lebih sering dilabeli sebagai karya primitif oleh seniman-seniman sezaman. Dalam kumpulan tulisan Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman, Sudjojono memberikan komentar. “Emiria, meskipun seorang perempuan, lebih jantan dari orang-orang yang lain. Coraknya primitif, ‘bares’ seperti anak kecil,” tulisnya. “Banyak orang yang tak mengerti akan keseniannya, sebab kebagusan Emiria aneh sekali.”
Menurut Sudjojono, gaya melukis Emiria tak terduga dan impulsif. “Ke luar hatinya sebagai ke luar bisul di bibir perawan... tahu-tahu muncul di tempat yang tak diperhatikan orang,” tulis Sudjojono.
Pameran “Gemes” di Rubanah Underground Hub, Jakarta, Maret lalu./Dok. Rubanah
Kritikus seni Kusnadi mengkritik Emiria lebih keras lewat artikel berjudul “Sejarah Seni Lukis di Jakarta 1945-1983”. Kusnadi menilai Emiria sebagai “prototipe pelukis primitif tanpa pendasaran kecakapan teknis formal”.
Sejumlah tulisan menyebutkan Emiria belajar melukis secara otodidaktik. Namun Heidi Arbuckle dalam tesisnya yang berjudul “Performing Emiria Sunassa: Reframing the Female Subject in Post/colonial Indonesia” menemukan sejumlah sumber yang menyatakan Emiria pernah belajar melukis kepada seorang profesor Belanda bernama Guillaume Frederic Pijper (1893-1988). Arsip digital Universiteit Leiden, Belanda, menerangkan bahwa Pijper adalah peneliti Islam yang lahir di Belanda utara pada 1893. Dia belajar bahasa Melayu, bahasa daerah Indonesia, dan bahasa Semit di Leiden. Pijper juga merupakan murid Snouck Hurgronje dan meneruskan penelitian mentornya itu di Indonesia pada 1940-an. Ketika bekerja di Batavia, Pijper kemudian menjadi guru luar biasa di sebuah fakultas seni. Pijper meninggal di Amsterdam pada 1988.
Emiria sesungguhnya terus mengembangkan kemampuan melukisnya. Dia sempat menggelar pameran solo saat berada di bawah bendera Pusat Tenaga Rakyat atau Putera bentukan Sukarno yang dipimpin Sudjojono. Karyanya yang berjudul Pasar (April 1943) mendapat penghargaan Saiko Sjiki Kah Sjo dari pemerintah Jepang. Adapun lukisannya yang bertajuk Angklung diganjar penghargaan Djawa Shunbun Sjo. Dia juga tercatat dalam buku Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa yang diterbitkan pada 1944 oleh Goenseikanbu dengan nama lengkap Emiria Sunassa Wama’na Poetri Al-Alam Mahkota Tidore.
Kendati demikian, nama Emiria tak pernah menjadi secerlang pelukis pada masa itu yang kini dikenal sebagai maestro lukis Indonesia. Karyanya juga tak pernah masuk radar Sukarno, yang pada saat itu diketahui gemar mengoleksi lukisan banyak seniman Indonesia, seperti Sudjojono, Affandi, dan Basuki Abdullah. Saat Emiria meninggalkan Jakarta pada akhir 1950-an, kisahnya makin terkubur hingga banyak orang menyebutnya menghilang secara misterius. Padahal tahun-tahun terakhir hidupnya ternyata ia isi dengan upaya mengklaim kepemilikan atas Irian Barat yang saat itu dipersengketakan Belanda dan Indonesia.
Emiria Sunassa (kiri, baris kedua dari bawah) dan pengurus organisasi Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso, di depan gedung Pusat Kebudayaan di Noordwijk 39, Jakarta, 1942./archive.ivaa-online.org
Nama Emiria baru mendapat tempat kembali dalam sejarah seni rupa Indonesia sedekade belakangan, setelah sejumlah penulis dan peneliti perempuan mengangkat kisahnya. Carla Bianpoen, Farah Wardani, dan Wulan Dirgantoro menulis tentang Emiria dalam buku Indonesian Women Artist: The Curtain Opens pada 2007. Tesis Heidi Arbuckle pada 2011 menjadi penelitian paling dalam mengenai Emiria, tentang karya dan hidupnya. Pada tahun yang sama juga diadakan pameran lukisan Emiria yang pernah disimpan Jane Waworuntu, tetangga pelukis itu saat tinggal di Jalan Cendana, Menteng.
Pameran terbaru di Rubanah Underground Hub turut mendekatkan nama Emiria dengan kelompok muda. “Emiria semestinya terkemuka karena keputusan-keputusan artistiknya yang menampakkan sikap sosial-politiknya terhadap kualitas feminin, kesukuan, dan figur-figur nonbiner di seluruh kepulauan kita,” kata Riksa Afiaty dalam catatan kuratorialnya.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo