Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko Pinurbo,penulis puisi, tinggal di Yogyakarta
CHAIRIL Anwar adalah penyair yang namanya paling dikenal, kisah hidupnya paling menarik perhatian, buku puisinya paling sering dicetak ulang, dan hari kematiannya dimuliakan. Ia pun penyair yang larik puisinya paling sering dikutip dan dijadikan semacam aforisma, misalnya ”Sekali berarti, sudah itu mati”, ”Nasib adalah kesunyian masing-masing”, ”Mampus kau dikoyak-koyak sepi”, ”Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”, dan ”Hidup hanya menunda kekalahan”.
Sudah begitu banyak pembicaraan mengenai penyair pelopor Angkatan 45 tersebut sehingga menulis lagi tentangnya mungkin akan merupakan pengulangan yang membosankan. Salah satu ulasan terbaik tentang Chairil dan karyanya adalah tulisan Sapardi Djoko Damono, ”Chairil Anwar Kita”, yang dimuat sebagai kata penutup untuk buku kumpulan puisi Chairil, Aku Ini Binatang Jalang (Gramedia, cetakan pertama 1986). Pada bagian akhir tulisannya, Sapardi mengatakan, ”Sebagian besar sajak Chairil Anwar mungkin sekali sudah merupakan masa lampau, yang tidak cukup pantas diteladani para sastrawan sesudahnya. Namun, beberapa sajaknya yang terbaik menunjukkan bahwa ia telah bergerak begitu cepat ke depan, sehingga bahkan bagi banyak penyair masa kini taraf sajak-sajaknya tersebut bukan merupakan masa lampau tetapi masa depan, yang mungkin hanya bisa dicapai dengan bakat, semangat, dan kecerdasan yang tinggi.”
Salah satu sajaknya yang bagi saya tetap menyala pesonanya adalah ”Tuti Artic” (1947). Sajak ini merupakan contoh karya Chairil yang menunjukkan kepiawaiannya menulis dalam bahasa Indonesia dengan cita rasa masa kini, seakan-akan sajak tersebut baru diciptakan kemarin sore. Di hadapan sajak ini saja entah berapa banyak sajak ciptaan hari ini jadi terasa ketinggalan zaman. Dan sajak tersebut bukanlah satu-satunya sajak bagus Chairil yang kurang dikenal oleh publik, lebih-lebih jika dibandingkan dengan sajaknya yang berjudul ”Aku”, ”Diponegoro”, dan ”Krawang-Bekasi”. Saya kutip lengkap sajak tersebut.
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
— ketika kita bersepeda kuantar kau pulang —
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi... hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
Sajak itu memberi pelajaran sederhana bahwa, untuk menghasilkan karya yang unggul, seorang pengarang tidak harus berbekal gagasan besar dengan tendensi yang besar pula. Pernik-pernik kecil dalam hubungan antarmanusia dapat digubah menjadi karya yang memikat jika dikerjakan dengan cara yang sedemikian rupa. Dengan kata lain, gagasan atau tema besar tidak dengan sendirinya membuahkan karya besar. Chairil telah membuktikan kebenaran dalil ini melalui sajak-sajaknya sendiri.
Mungkin saja Chairil akan merasa keki jika ia tahu bahwa sajak ”Diponegoro” (1943), di samping sajak ”Aku” (1943) yang sangat populer itu, sering dibacakan dalam pertunjukan puisi dan lomba baca puisi. Dalam kartu posnya kepada Hans Bague Jassin tertanggal 10 Maret 1944, Chairil menulis, ”Begini keadaan jiwaku sekarang, untuk menulis sajak keperwiraan seperti 'Diponegoro' tidak lagi. Menurut oom-ku, sajak itu pun tidak baik!” Yang dia maksud dengan ”oom-ku” tidak lain Sutan Sjahrir, tokoh pergerakan nasional yang ikut berpengaruh pada pembentukan karakter Chairil.
Bagaimanapun, sejumlah sajak ”keperwiraan” Chairil tetap penting karena memperlihatkan sisi sosialnya. Ia terlibat dan ikut bersaksi atas situasi sosial-politik yang melingkupinya. Bahwa tidak terutama dalam sajak-sajak seperti itu pencapaian taraf kualitasnya sebagai penyair terlihat adalah soal lain. Dalam kaitan dengan ini, tentu saja sajaknya yang berjudul ”Catetan Th. 1946” merupakan sajak yang memukau dan termasuk sajak terbaiknya. Satu hal yang patut dicatat, pencitraan atas Chairil yang lebih menonjolkan sosok ”keperwiraan”-nya barangkali telah membuat sajak-sajaknya yang lain, yang lebih menampakkan kecakapannya sebagai penulis puisi, terabaikan dan terlupakan. Mungkin tidak banyak yang memberi perhatian lebih pada—misalnya—sajaknya yang berjudul ”Malam di Pegunungan” (1947), sajak pendek yang terasa sangat unik di tengah sajak-sajak Chairil yang sebagian menggebu-gebu dan sebagian lagi kelam kelabu. Sajak itu menampilkan nuansa yang berbeda dan citraan-citraannya.
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
Cara berpuisi Chairil memang sering menggemaskan. Ia mampu menunjukkan keterampilannya mengolah bahasa bahkan ketika berurusan dengan perkara asmara yang diwarnai dengan jatuh cinta dan patah hati. Lebih dari itu, ia mampu membawanya ke dalam renungan yang intens dan memberinya visi sehingga menghasilkan sentuhan-sentuhan yang subtil. Saya teringat sebuah diskusi tentang Chairil dalam perhelatan Makassar International Writers Festival pada Mei lalu. Dalam perbincangan yang diselenggarakan untuk menyambut terbitnya buku biografi Chairil yang disusun oleh Hasan Aspahani dan rencana memfilmkan kisah hidup Chairil tersebut, Nirwan Ahmad Arsuka, dengan menggunakan bahasa gaul masa kini, menyebut karya-karya Chairil bikin baper tapi keren. Baper atau ”terbawa perasaan” adalah istilah yang kurang-lebih semakna dengan melankolis-sentimental. Mendengar itu, saya tiba-tiba tersadar bahwa tampaknya banyak penyair yang hanya mampu memetik ”baper”-nya Chairil dan tidak mampu menyerap ”keren”-nya.
Dari mana kekerenan sajak-sajak Chairil berasal? Dari bakatnya, kreativitasnya, dan tentu saja disiplin dirinya. Disiplin diri itu berupa ketekunan dan kecermatannya dalam mengolah kata. Semangat berjerih payah Chairil dalam menciptakan karya tergambar dalam dua kartu posnya untuk H.B. Jassin. Kartu pos 10 Maret 1944: ”Jassin! Aku mulai dengan 10-15 sajak-sajak yang penghabisan di antara ada juga yang tidak bisa diterima sebagai sajak!!” Kartu pos 10 April 1944: ”Yang kuserahkan padamu—yang kunamakan sajak-sajak!—itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa 'tingkat percobaan' musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya.” Apa yang ditulis Chairil dalam kedua suratnya itu menegaskan apa yang dinyatakannya dalam ”Pidato Chairil Anwar 1943”: ”Pikiran berpengaruh besar dalam hasil seni yang tingkatnya tinggi. Berpikir yang mengandung menimbang serta memutus dengan sehat-cermat.” Jadi menulis puisi adalah kerja pikiran, bukan kegiatan klenik yang tak terkontrol oleh nalar.
Di tengah zaman digital yang diramaikan oleh lalu lintas informasi dan komunikasi yang berlangsung begitu cepat dan sering semrawut, zaman ketika puisi berhamburan setiap hari, menempuh jalan sunyi dan melakoni proses berkarya seperti yang diteladankan oleh Chairil barangkali merupakan tantangan gila yang tidak mudah dijalani. Namun sejarah menunjukkan bahwa di setiap generasi selalu muncul orang-orang gila yang sanggup melakoni proses semacam itu.
Chairil adalah salah seorang kekasih dunia perpuisian Indonesia. Tanpa dia, mungkin dunia perpuisian kita belum semaju sekarang. Mungkin saja. Sebaliknya, alangkah monotonnya khazanah puisi kita jika hanya berwarnakan estetika Chairil. Syukurlah, sejak Chairil membuka lahan bagi penggalian potensi bahasa Indonesia, muncul pekerja-pekerja kreatif yang mampu menjadikan dunia perpuisian kita lebih menggairahkan dan lebih berwarna-warni dan dengan cara masing-masing mereka telah membuat bahasa Indonesia lebih fleksibel.
Sampai hari ini Chairil adalah sebuah inspirasi. Inspirasi tentang bagaimana para pengarang menciptakan karakter bahasa yang mampu menembus dominasi bahasa pejabat, bahasa politikus, bahasa pengacara, dan bahasa preman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo