Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taufik Abdullah,sejarahwan
TIGA tahun masa pendudukan Jepang di Indonesia menciptakan sejumlah situasi yang menyedihkan. Misalnya, keharusan bagi pribumi menjadi romusha, berbagai bentuk kekerasan militer Jepang, dan kondisi ekonomi yang berantakan. Tapi, di sisi lain, pendudukan Jepang juga memunculkan semangat anti-kolonialisme Barat.
Berkobarnya gairah anti-Barat tak lepas dari konsep Asia Timur Raya yang terus dipompakan Jepang. Melalui konsep ini, Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda di institusi pendidikan dan percakapan sehari-hari. Hanya bahasa Indonesia dan Jepang yang diizinkan. Komisi Istilah dibentuk kala itu. Komisi ini diketuai Sutan Takdir Alisjahbana dan diisi sejumlah sastrawan, pujangga, serta penyair pribumi. Istilah-istilah Belanda diindonesiakan di sana. Boleh dibilang, Jepang memberi kesempatan kepada bahasa Indonesia untuk berkembang, baik di bidang akademis maupun sastra.
Belakangan, masa pendudukan Jepang justru menghangatkan semangat kemerdekaan Indonesia. Penyebabnya tak lain janji Jepang memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Untuk menindaklanjuti janji ini, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada Maret 1945, yang kemudian berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pada Agustus 1945, Jepang menyerah kepada tentara Sekutu. Tokoh perjuangan memanfaatkan situasi itu dengan memerdekakan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Babak berikutnya ternyata tak mudah. Mendaratnya tentara Sekutu pada September 1945 serta Agresi Militer Belanda I dan II pada 1947-1948 membawa Indonesia memasuki masa revolusi. Pada periode tersebut, pertempuran mempertahankan kemerdekaan meletup di sejumlah kota, antara lain Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Yang paling heroik terjadi di Surabaya pada 10 November 1945.
Di tengah situasi seperti itulah Chairil Anwar banyak berkarya. Karena itu, tak mengherankan jika sajak-sajak yang ditulis Chairil kerap menunjukkan semangat perjuangan atau menyiratkan hasrat kebebasan. ”Aku”, misalnya, menggambarkan harapan tentang kehidupan masa depan yang merdeka. Simak saja kalimat ”aku mau hidup seribu tahun lagi”. ”Krawang-Bekasi” bisa menjadi contoh lain bagaimana Chairil menyelipkan semangat perjuangan dalam sajaknya. Chairil adalah penyair yang dimakan semangat zaman. Dia dimakan semangat kemerdekaan yang menggeliat kala itu.
Tentu kita juga tak bisa mengesampingkan orang-orang di sekitar Chairil. Sebab, sajak-sajak perjuangan yang ditulis ”si Binatang Jalang” sedikit-banyak juga terpengaruh dari dunia pertemanannya. Chairil mengenal Mohammad Hatta, salah satu tokoh yang aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dia juga mengenal Sukarno. Tapi Chairil paling akrab dengan Sutan Sjahrir.
Berbeda dengan Sukarno dan Hatta yang berjuang di garda depan untuk Indonesia merdeka, Sjahrir adalah tokoh yang bergerak di bawah tanah. Sjahrir berkawan dengan sejumlah pemuda sebagai bagian dari tugasnya kasak-kusuk menyiapkan kemerdekaan Indonesia. Lewat pergaulan itulah Sjahrir mengenal Chairil.
Sjahrir memang tak pernah bercerita tentang Chairil. Tapi Chairil sering membanggakan Sjahrir. Chairil bahkan memasukkan nama Sjahrir dalam ”Krawang-Bekasi”. Lewat sajak itu, Chairil menunjukkan posisi penting Sjahrir pada masa perjuangan kemerdekaan. l
kolom ini disarikan dari wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo