Gubernur Bangkok Chamlong Srimuang suka turun ke jalan, mengontrol tukang sapu. Seluruh gajinya untuk panti asuhan. Tiap hari hanya makan sepuluh sendok nasih putih dan sayur. Rumahnya hanya sebuah gudang. Dijuluki Gandhi dan Khomeini, Chamlong yang sangat populer di kalangan rakyat menginginkan tiap orang hidup sederhana dan mengabdi masyarakat. Yuli Ismartono, koresponden TEMPO di Bangkok, sempat mengintip gubernur yang terkenal "nyentrik" ini melakukan "ibadah" paginya. RUMAHNYA serupa dan memang: gudang. Semula ia bahkan tak punya rumah sama sekali di kota itu. Milik satu-satunya hanya sebuah gubuk di luar kota. Tiga tahun lalu, ia terpilih jadi gubernur. Tapi pemerintah kota memang tak pernah menyediakan rumah dinas. Lagi pula, ia tak mau seperti para gubernur lain: mengharapkan rumah dari cukong. Untuk tempat tinggalnya, ia memilih menyewa gedung bekas pabrik tekstil yang "murah sekali". Hanya Bht 3.500 setiap bulan. Itulah Chamlong Srimuang, Gubernur Kota Bangkok yang dianggap nyentrik karena kesederhanaannya. Sebenarnya ia tak berniat aneh-aneh. Ia hanya ingin menjalani apa yang diyakininya sebagai kebenaran: bekerja keras dan mengabdikan kehidupannya untuk masyarakat. Tak terlintas pula keinginannya untuk membangun kekuasaan. Apalagi buat menumpuk harta, baik dari uang haram maupun setengah haram -- hal yang lazim dilakukan para pejabat pada banyak negara, termasuk di Indonesia. Chamlong bersih. Ia bahkan tak memakan sepeser pun gajinya sebagai gubernur. Banyak orang tahu, gaji bulanannya itu adalah jatah panti-panti asuhan dan wat -- kuil. Sehari-hari ia hanya makan dari uang pensiunnya sebagai brigjen. Itu saja. Sampai-sampai Chamlong dijuluki sebagai Gandhi dari Muangthai. Sebutan yang dengan merendah ditampiknya. "Saya tak akan dapat seperti Gandhi. Ia seorang istimewa," katanya. Ada juga yang menyebut Chamlong "Khomeini", sebab ia dianggap pengikut fanatik Budha. Bagaimana ketatnya Chamlong menjaga diri agar menjadi pemeluk Budha yang baik terlihat pada sikapnya sehari-hari. Ya, dalam pemilihan rumah itu, contohnya. Salah satu alasan "Gandhi Muangthai" ini menyewa "gudang" itu adalah karena murah. Sebab, gedung itu milik seorang bekas perdana menteri yang disita pemerintah, sewaktu ia digulingkan. Yang lebih penting, "agar anak buah saya bisa sekalian tinggal di sini," tuturnya. "Kediaman resmi" itu dibagi dua. Satu ruangan dipakai untuk ruang tidur. Tikar-tikar digelar teratur di lantai -- pada satu sudut untuk pria, sudut yang lain bagi wanita. Di sanalah Chamlong dan anak buahnya tidur bersama. Kamar mandi terletak di luar. Lalu di bagian belakang, disekat dengan dinding kayu lapis ada ruangan besar yang dipakai untuk dapur. Di situ 10 orang, yang disebut Chamlong "anak buah'. bekerja. Mereka bertugas memasak untuk keperluan restoran. Lho, kok restoran? Ya, Chamlong memang punya dua restoran yang ditangani istrinya, Sirilak. Dua restoran itu menyediakan makanan vegetarian tanpa daging apa pun. Harga jualnya sangat murah cuma Bht 5 seporsi. Tak aneh bila kedua restoran di pasar Chatuchak itu -- pasar terbesar di Bangkok selalu dijubeli pembeli. Baik penduduk setempat maupun turis asing. Entah karena memang murah dan enak atau karena milik Chamlong yang kesohor, atau karena keduanya. Bagi Chamlong, lagi-lagi, restoran itu bukan untuk kepentingan bisnis. "Kami ingin memulai suatu gerakan untuk makan sehat," ujarnya. Dua restoran itulah modalnya. Dan Chamlong juga tak sesen pun mengambil keuntungan bagi dirinya sendiri. "Saya tiba di rumahnya pukul 4.30 pagi," kata Yuli Ismartono, koresponden TEMPO di Bangkok. Tapi Chamlong ternyata sudah menunggu. Ia memang biasa bangun pukul 04.00. Lalu bermeditasi, yang sering sampai satu setengah jam. Tiga kali sepekan ia pergi ke wat Santi Asoke, yang tak jauh dari rumahnya, untuk sembahyang. Setelah itu, ia baru berangkat ke kantor. Pagi itu Chamlong melakukan inspeksi kebersihan kota. Memang itulah kebiasaannya. Tempat yang dikunjunginya tak pernah direncanakan. Tiba-tiba saja ke satu tempat, lalu tempat yang lain. Record-230-nya yang kecil menyuruk ke sana kemari, dikemudikan oleh seorang pegawai. Mestinya ia berhak memakai pengawal bersenjata. Apalagi ia juga sering mendapat ancaman. Tapi Chamlong menolak berpengawal. "Ah, buat apa. Saya orang damai." Mobil yang sederhana itu tidak hanya dimuati Chamlong. Nampak di dalamnya setumpuk hadiah. Antara lain kantung-kantung plastik berisi beras 5 kg, tapal gigi, juga sabun. Hadiah untuk para penyapu jalanan yang menurut Chamlong rajin dan sudah bekerja pada jamnya. Pukul lima pagi. Sopir membawa Gubernur Bangkok itu ke arah pasar Pratunam. Baru tiga kilo berjalan, Chamlong menyuruh sopirnya berhenti. Ia pun turun dari mobil mendekati tukang sampah yang mengenakan jaket pengaman yang berkilauan bila diterpa sinar, "agar jangan ditabrak mobil." Chamlong memperhatikan bagaimana penyapu jalanan itu membereskan sampah. "Baik," ujar Chamlong memuji. Si Tukang sampah kaget dan bengong. Lalu Chamlong menanyakan bagaimana keadaan keluarga orang itu, berapa anaknya, plus sejumlah pertanyaan lain. Baru kemudian ia menyodorkan sekantung plastik hadiah yang nilainya tak seberapa itu. "Saya menghargai kerajinan mereka," kata Chamlong. Para tukang sapu itu bergaji Bht 1.500-2.000. Sedikit hadiah tentu saja sudah cukup menghibur mereka. Apalagi hadiah itu langsung dari tangan gubemrnr. Menjelang pukul 6, Chamlong mengeluarkan sebuah radio walkman, lantas ditempelkannya ke kuping. "Saya mau dengar warta berita," katanya menjelaskan. Sementara itu, Taman Chatuchak sudah mulai diramaikan oleh mereka yang berolahraga. Namun, tak seorang penyapu pun muncul. "Wah, begini ya, cara mereka bekerja," kata Chamlong. "Ayo, kita cari pakai sepeda." Dengan sepeda yang diambil dari sebuah kantor, Chamlong keliling. Ternyata, para penyapu jalanan di kawasan itu belum pada siap. Beberapa orang masih nampak dibalut sarung, hendak pergi mandi. Chamlong mengguman pada dirinya sendiri, "mereka perlu ditindak." Tapi tak ada nada marah dalam suaranya. Ia terus mengayuh sepedanya. Ketika menjumpai seorang penyapu yang tengah bekerja, ia bertanya, "Kamu sendirian?" Lalu mengulurkan hadiah. Setelah merasa cukup, Chamlong kembali ke mobil. Di mobil itu, dalam perjalanannya menuju kantor, ia membuka bekalnya. Sepuluh sendok nasi putih, tanpa lauk apa pun, kecuali sayur. Itulah menunya sehari-hari. Dan yang mengherankan "Saya makan cukup sekali sehari, selanjutnya cukup air putih," kata gubernur itu. Ia juga tidak merokok atau menenggak alkohol -- sikap yang sangat berlainan dengan kebanyakan orang Muangthai. Kantor Gubernur Chamlong terletak di gedung Sarawakhan Khrung Thep Pramaha Nakhon -- atau Bangkok Metropolitan Administration. Sebuah gedung di kawasan pusat bisnis. Seperti biasa, ia pergi ke kantor lewat jalan belakang. Tak banyak pegawai memperhatikan kedatangannya. Di ruangannya, lantai dua, ia langsung disodori berkas rencana kerja hari itu, yang padat. Chamlong harus menghadiri sejumlah rapat dan menerima banyak tamu. Di antaranya wakil masyarakat Kampung Klong Toey yang ingin mengadukan: para hansip di kampung mereka yang suka memeras penduduk. Ruang kerja Gubernur Chamlong sesak dengan perabot. Meja kerja pun penuh dengan tumpukan arsip, surat-surat, dan 3 pesawat telepon. Di sudut ruangan nampak tempat pemujaan, lengkap dengan patung Budha di atas altar berlapis emas. Yang paling menonjol adalah gambar Raja Bhumibol Adulayadej dan Ratu Sirikit, yang terpajang besar pada dinding. Bertugas langsung di bawah Chamlong, empat wakil gubernur. Yang paling sering dimintai pendapat oleh Chamlong adalah pembantu khususnya: Khun Vinai Sompong. Menurut Sompong, Gubernur Chamlong menetapkan: tiga bulan bulan sekali, setiap pegawai harus mengikuti penataran yang berlangsung tiga hari. Dalam penataran itu ditegaskan agar setiap pegawai hidup sederhana, hemat, dan mengabdi pada masyarakat. "Untuk mencegah korupsi," kata Sompong. Apakah itu tidak membuat pegawai membenci Chamlong? "Tidak," jawab Sompong. Lagi pula, Chamlong tak menuntut bawahannya untuk mengikuti cara hidupnya. Esoknya, Chamlong mengajak TEMPO mengunjungi beberapa SD dan kiinik umum. SD memang tanggung jawab pemerintah Bangkok. Sedangkan SLA urusan Kementerian Pendidikan. Ditemani sekretarisnya, Chamlong berkeliling menumpang bis mini. Pada setiap sekolah, murid-murid pun ramai menyambutnya. "Saya sendiri lulusan SD umum macam begini" kata gubernur itu. Dulu, ia tentu harus berjalan kaki ke sekolah. Yang pertama sekali diperhatikan Chamlong tentu saja kebersihan. Setelah itu ia berbincang dengan para guru. Juga dengan murid-murid. Sebagaimana biasanya, kemudian ia melangkah ke kuil yang hampir selalu ada di dekat setiap sekolah. Menurut Chamlong, sekolah-sekolah di Muangthai secara historis memang dimulai oleh para biksu. "Jadi, kami harus bekerja sama dengan para biksu." Setelah membuka sepatunya, Chamlong pun masuk ke wat. Ia duduk menghadap arah kepala biksu yang duduk di lantai beralaskan bantal. Dengan posisi merangkak, Chamlong menyembah tiga kali. Baru kemudian mereka berdialog. Pagi itu Chamlong menanyakan apakah ada masalah, apa pun, yang perlu dibantu. Kepala biksu menjawab, "Tidak." Toh Chamlong terus juga mengunjungi wat demi wat yang ada dekat setiap sekolah. "Mungkin secara pribadi mereka tak setuju pada saya," kata Chamlong. "Sebab saya Chao Aso, ke." Kelompok Chao Asom ke adalah pengikut Budha yang paling puritan, yang mengkritik cara hidup biksu-biksu lain yang umumnya berkecukupan. Anehnya, Chamlong selalu mau mengunjungi mereka. Chamlong juga datang ke klinik umum. Hari itu giliran klinik di Bangkok Yai -- daerah miskin di Kota Bangkok. Klinik telah sesak dengan pasien kebanyakan anak-anak. Dengan luwes Chamlong berkeliling, melihat fasilitas, menanyakan ini-itu pada dokter yang bertugas. Setelah merasa cukup, ia pamit. "ChokDi," ucapnya pada para perawat. Semoga Berhasil. Di Bangkok, pemerintah harus menangani 72 klinik dan 4 rumah sakit umum. "Sebenarnya, jumlah itu kurang memadai bagi kebutuhan rakyat," ucap Chamlong. Kini penduduk Bangkok merangkak mendekati angka 10 juta jiwa. Sebagaimana lazimnya kota di negara berkembang, arus urbanisasi tak pernah mau berhenti. "Ini yang bikin pusing kami," kata gubernur itu terus-terang. Bagaimanapun, jasa dan sarana yang harus disediakan untuk penduduk harus terus meningkat. Padahal, di Muangthai, kekuasaan gubernur sangat terbatas. Untuk mengelola taman, lalu lintas, dan banyak perkara sepele lain, pemerintah kota itu sering bertentangan dengan departemen-departemen pemerintah pusat. Mungkin benar apa yang dikatakan Chamlong: wewenang pemerintah lokal dan pusat sering tumpang tindih. Tapi lebih dari itu, tidakkah karena Chamlong juga banyak musuh, karena sikapnya yang mau sungguh-sungguh itu. Chamlong sendiri mengaku tak tahu. Meskipun ia membenarkan "Tindakan dan usul saya memang sering dihalangi oleh sejumlah orang di pemerintah pusat." Sebagai ketua partai politik Palang Dharma, Chamlong sangat populer. Terutama di kalangan rakyat, yang menghendaki sebuah pemerintahan yang berbeda dari yang dipegang partai-partai kelompok kaya. Partai Palang Dharma baru berusia 3 tahun. Pengikutnya memang masih terbatas pada penduduk Bangkok. Namun, partai ini semakin punya daya tarik dan dikenal sebagai partai yang bersih dari korupsi. Pada setiap kampanye, Palang Dharma menonjolkan kejujuran anggotanya. Namun, partai ini belum juga sepopuler nama Chamlong sendiri. Dalam pemiluhan umum tahun lalu, partainya kalah. Sirilak, istri Chamlong, yang dicalonkan juga kalah. Sekarang partai itu cuma mendapat 9 kursi di dewan pemerintahan Bangkok, dari 54 kursi yang disediakan. Agaknya, Chamlong tak sepenuhnya punya ambisi politik. Kecuali sampai batas sekadar menunjang keyakinannya: bahwa tiap orang semestinya hidup sederhana dan sungguh-sungguh mengabdi pada masyarakat. Akankah Anda mencalonkan diri lagi untuk masa mendatang? "Belum waktunya," kata Chamlong, misterius. Tapi pasti sudah, popularitas Chamlong di kalangan rakyat, diketahui Raja Bhumibol. Jika diadakan upacara resmi, sang raja selalu senang berbincang dengan gubernur yang "nyentrik" itu. Menurut para pengamat, ini pertanda raja merestui perbuatan Chamlong. Zaim Uchrowi, Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini