Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dituduh fanatik dan ekstrem

Sosok chamlong srimuang, gubernur bangkok, yang dikenal lembut, bersahaja, tak suka membentak, kecuali pada para pelacur, koruptor atau mereka yang melalaikan kerja. chamlong penganut budha yang taat.

20 Mei 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK menduduki kantor gubernur pada 1985, Chamlong dengan yakin mempercayakan keselamatannya pada Sang Budha. Mula-mula yang harus dicatat dari orang ini adalah tampang dan gayanya. Rambutnya terpangkas pendek, mirip cukuran tentara -- memang purnawirawan angkatan bersenjata Muangthai. Tapi ia tidak garang. Lebih mirip seorang biksu daripada seorang prajurit. Lembut, bersahaja, dan tak suka membentak, kecuali pada para pelacur, koruptor, atau mereka yang melalaikan kerja. Lewat Partai Palang Dharma yang ia dirikan tiga tahun silam, Chamlong melontarkan isu kejujuran. Tetapi jagat selalu ganjil. Partainya kalah. "Duit. Suara rakyat dibeli dengan uang. Hanya Palang Dharma yang tidak mengeluarkan uang untuk mendapat suara," dalih Chamlong gemas. Kalau betul Chamlong menentang segala kebrengsekan dunia dan mengarahkan hidupnya semata-mata di jalan Budha, maka dia adalah keajaiban modern. Paling tidak di Muangthai. Rakyat Thai dikenal moderat, mudah memaafkan, dan gampang diajak kompromi. "Tetapi saya tak percaya pada kompromi. Apalagi untuk membangun negara," tutur Chamlong tangkas. Itulah sebabnya ia dituduh fanatik dan ekstrem, terutama di mata pegawai-pegawai Departemen Dalam Negeri Muangthai. Departemen strategis tak luput dari wabah korupsi, yang dalam penilaian rakyat sudah mengakar di seluruh segi kehidupan masyarakat. Apakah Chamlong akan berhasil mewujudkan Karma -- inti ajaran Budha -- sebagai pegangan hidup rakyat Bangkok? Sebuah ajaran yang menentang pelacuran, korupsi, keteledoran, dan segala perbuatan terkutuk lainnya. Ini benar-benar tantangan bagi Chamlong. Bangkok yang dialiri Chao Phraya -- Sungai Raja -- adalah kota yang sarat dengan bar, panti pijat, dan lokasi-lokasi pelacuran. Ratusan panti pijat, tulis Time Oktober 1988 lalu. Lantas masih ada sekitar 1.500 kompleks pelacuran. Diperkirakan perempuan "kurang sopan" itu berjumlah 250 ribu. Dua ratus lima puluh ribu! Terdiri dari penari telanjang, tukang "pijat asyik", hostes di hotel-hotel, plus pelacur-pelacur kelas kambing. Seperti dalih pelacur di mana-mana, mereka mengaku datang dari keluarga miskin. Kerja jual diri adalah jalan pintas untuk membantu ekonomi keluarga. Dan Chamlong berkelit ketika ditanya apa yang akan dilakukannya untuk memberantas mereka. "Soal bar, panti pijat, dan pelacuran adalah tanggung jawab kepolisian negara dan kementerian dalam negeri, bukan pemerintah Bangkok," katanya. Begitu juga perihal korupsi. Ada perasaan pesimistis dalam memberangusnya. "Terus terang, saya tidak yakin betul. Kami tidak memiliki strategi khusus untuk melaksanakannya. Tetapi kami akan berusaha. Paling tidak, saya sendiri harus memberikan contoh," ujar gubernur 'sepuluh sendok nasi putih' itu. Seperti di kebanyakan negara berkembang, kemiskinanlah yang dituduh sebagai biang keladi kemaksiatan. Chamlong menyadari ini. Itulah sebabnya, Chamlong mati-matian memacu kegiatan perekonomian Kota Bangkok. Dengan dukungan kaum industrialis, biro-biro jasa -- dan ironisnya termasuk rumah-rumah maksiat itu -- ia berhasil meningkatkan pendapatan pemerintah kota. Sebelum ia menjabat gubernur, Bangkok mengumpulkan 4.900 bath. Setelah ia naik, pendapatan itu melambung jadi 310 juta bath atau sekitar 25,8 milyar tiap tahun. Itu semua, menurut dia, berkat penghematan. Tak jelas, bagaimana caranya menghemat. Yang jelas, "Selama saya menjabat, harga-harga jauh lebih murah," katanya. Chamlong juga harus menghadapi kegilaan arus urbanisasi. Rata-rata 9% per tahun. Sekarang penduduk Bangkok hampir mencapai 10 Juta jiwa atau 20% dari seluruh penduduk Muangthai. Tiap hari arus manusia yang mendatangi Bangkok -- umumnya untuk berdagang -- ditaksir 70.000 orang. Sebagian tinggal hanya sehari, dua hari, seminggu, bahkan banyak yang emoh mudik. Maka, Bangkok pun riuh-rendah. Daerah kumuh di sepanjang Sungai Raja dihuni sekitar 1 juta manusia. Lebih memuakkan daripada pemandangan di tepian Kali Ciliwung. Belum lagi perkara kemacetan. Sebrengsek jalanan Jakarta, padatnya penduduk dan banyaknya kendaraan adalah setan penyebab kemacetan. Pada tahun 1988 Bangkok diperkirakan bunting oleh 700 ribu mobil pribadi, 527 ribu sepeda motor, 132 ribu truk, 4.500 bis umum, dan 7:400 tuk -- sejenis bajaj. Pertambahan kendaraan pun begitu dahsyat: 35 ribu buah setiap tahun. Di belantara kota hingar-bingar itulah Chamlong berangan-angan menciptakan Bangkok yang sehat, bersih, bebas korupsi, bebas maksiat, dan makmur. Perihal kemacetan tersebut memang bukan semata-mata wewenang pemerintah lokal. Pemerintah pusat pun ikut di dalamnya, bahkan menjadi pengambil keputusan yang paling efektif. Sementara itu, dalam soal kemaksiatan, kepolisian negara dan kementerian dalam negerilah bos yang menanganinya. Chamlong tinggal menggerutu. Usul boleh-boleh saja, tetapi jangan buru-buru minta diterima. Buktinya, Bangkok tetap jadi daerah lampu merah yang sibuk. Perempuan-perempuan desa -- gadis, janda, atau yang tak jelas statusnya -- berbondong-bondong menjerat lelaki. Nampaknya, Chamlong masih harus mengurut dada sambil menatap pilu 400 kuil Budha di seantero Bangkok. Meski begitu, dia tak kehabisan inisiatif. Dengan sisa jabatan yang tinggal setahun, Chamlong menggalakkan penertiban penduduk. Ada tiga pilihan yang melintas di kepalanya. Pertama, memperbaiki kondisi daerah-daerah gurem di perkotaan. Kedua, memindahkan mereka ke luar Bangkok. Pilihan kedua kedengarannya lebih realistis, tetapi kurang manusiawi. Ketiga, membujuk mereka untuk kembali ke kampung halaman. Hasilnya memang belum terlihat. Tetapi Chamlong telah bertekad melaksanakan ajaran Budha: berkorban demi masyarakat. Religius. Ya, julukan ini yang sering dilekatkan di dada Chamlong. Dengan dasar Dharma dan tuntunan Budha pula ia membentuk partai, bercita-cita membangun masyarakat, dan memimpin. Partainya yang dibentuk satu setengah bulan sebelum pemilu 1985 mendadak memperoleh sambutan hangat di Bangkok dan beberapa daerah lain, padahal partai itu baru sama sekali -- kendati kemudian kalah bertempur. "Dalam sejarah Muangthai, tidak ada partai yang baru didirikan lantas berani mencalonkan anggotaanggota," ujar Chamlong bangga. Mungkin maksudnya untuk anggota Dewan Pemerintahan Muangthai. Palang Dharma hanya mampu menggaet kursi Dewan Pemerintahan Bangkok. Namun, untuk menghadapi pemilu mendatang, Chamlong tetap menghindari kebiasaan "menyuap" dan "mengibuli" rakyat. Lalu apa strateginya? "Kami mengharapkan masyarakat lama -- tradisional akan menerima prinsip-prinsip Palang Dharma. Terus terang kami tidak yakin bakal berhasil. Tetapi apa boleh buat. Itulah satu-satunya jalan bagi kami. Kalau tidak, kami akan terjerumus melakukan perbuatan culas seperti partai-partai lain. Ini yang tidak kami inginkan," ujarnya tegar. Agak kecewa terhadap kondisi di sekitarnya, Chamlong masih berpikir-pikir dulu, apakah ia akan mencalonkan diri sebagai gubernur kedua kalinya. Dia menggeleng pasti. "Jabatan ini bikin pusing, bikin resah. Terlalu banyak problem!" Chamlong sempat mengutuk pemerintahan Perdana Menteri Chatichai Choonhavan dari partai yang sedang berkuasa. "Sejalan dengan pendapat rakyat, saya kira pemerintah ini tidak akan bertahan lama. Tinggal masalah waktu saja. Mungkin lebih lama dari dugaan rakyat. Misalnya rakyat menduga enam bulan, barangkali mereka akan bertahan 9 bulan. Tapi kalau lebih dari 9 bulan atau lebih, maka partai-partai yang berkoalisi punya banyak uang. Sementara kami tak seper pun akan mengeluarkan uang hanya demi kampanye!" Barangkali ia ingin meraih kursi perdana menteri jabatan yang paling strategis -- untuk menggantikan Chatichai Choonhavan? "Terus terang, sama sekali tidak. Tetapi tidak ada yang percaya," jawab Chamlong seraya tertawa lebar. Ia mengakui partainya terlalu kecil. "Kami pun harus bergerak secara kecil-kecilan pula" Arah hidup Chamlong telah dipatok: buat Sang Budha dan kebaikan masyarakat. Sejak berusia 29 tahun -- ketika masih bertugas di angkatan bersenjata Muangthai -- ia keluar masuk kuil untuk mencari ketenangan. Bahkan sempat menjadi biksu selama tiga bulan. Namun, menjadi seorang biksu yang tulus tidaklah mudah. Sekadar masuk kuil, berdoa, dan menebus dosa, gampang. Persiapan mental Chamlong belum memungkinkan. "Tetapi kalau suatu saat persiapan spiritual itu cukup, maka saya akan hidup sebagai biksu." Napas religius Chamlong adalah ciri khasnya. Karena faktor ini pula, ia memperoleh dukungan besar dari penduduk Bangkok. Namanya sangat populer. Pelancong-pelancong Barat pun dengan cepat dapat mengenalinya dan berbondong-bondong turis mendatangi kedua restoran yang dikelola istrinya itu. Orang pun lebih mengenal Chamlong daripada partainya. Masyarakat nampaknya merindukan kehadiran tokoh seperti dia. Meski pemeluk teguh Budha, Chamlong tak pernah menganaktirikan agama lain. Di Bangkok, 95% penduduknya adalah Budha. Namun, di situ juga nongkrong 100 masjid dan 125 buah gereja Khatolik Protestan. "Sebagai pejabat, saya harus berdin di tengah. Harus bersikap netral. Saya tidak ada masalah dengan masyarakat Islam maupun Nasrani. Saya sering menghadiri undangan ceramah masyarakat agama-agama lain." Pandangannya terhadap agama terkesan sedemikian demokratis. Padahal, ia -- seperti diajarkan Kuil Santi Asoke yang terletak tak jauh dari Bangkok terkenal berpandangan hitam-putih. Hanya ada baik dan buruk di kepalanya. Tetapi mengenai agama, Chamlong menilai "semua agama bermanfaat bagi rakyat". Tidak begitu jelas apakah ia hanya berbasa-basi atau bersungguh-sungguh. Sebagaimana diungkapkannya pada Yuli Ismartono dari TEMPO, Chamlong belakangan ini begitu dekat pada Budha. Ia melaksanakan Dharma. Jauh lebih religius dari masa-masa sebelum ia menjadi "bapak" Kota Bangkok. "Dulu Anda cukup materialistis, punya rumah mewah, mobil besar, dan berambisi," kata Yuli Ismartono menyelidik. Ia bermaksud mengungkit masa muda Chamlong yang pernah menginginkan jabatan penting di militer, kemudian ambisinya untuk menyelesaikan kuliah di bidang administrasi bisnis dari Universitas California, Monterey, Amerika Serikat. "Sekembali dari Amerika, lima belas tahun lalu, bersama istri saya mengikuti khotbah Biksu Phra Pothirak, pemimpin kelompok Santi Asoke. Tak lama kemudian saya menjadi Chao Asoke, orang Asoke sepenuhnya," jawabnya tenang. Dia mengaku betah jadi Chao Asoke. Mengapa? Santi Asoke yang didirikan tahun 1975 oleh Phra Pothirak. Sekte ini menentang biksu-biksu yang tergabung dalam Sangha -- dewan agama Budha Muangthai. Karena orang-orang Sangha tak segan-segan makan daging, minum alkohol, punya mobil dan rumah mewah -- perilaku yang didamprat Phra Pothirak. Sebetulnya Phra sendiri menjadi anggota Sangha, tetapi melihat kondisi haram jadah itu, ia mengundurkan diri dan mendirikan Santi Asoke, yang kemudian diserang habis-habisan oleh anggota Sangha. Rupanya, Chamlong tertarik. Meski demikian, ia mengaku belum semua tindakannya diwarnai ajaran Budha. "Saya bukan biksu, saya orang biasa. Kalau toh tindakan saya baik, itu kan baik?" Yuli tak puas dengan jawaban itu. "Tapi Anda kan mendukung Santi Asoke yang menentang Shanga, Gubernur?" "Jangan salah, saya tidak mendukung Santi Asoke dalam arti memberi kekuasaan pada pemimpin mereka. Saya cuma mempunyai 'hubungan' religius," tutur Chamlong gesit. "Mengapa Anda memilih aliran yang kontroversial?" "Mengapa tidak? Ajaran Santi Asoke sama dengan apa yang dikatakan Budha. Dan saya penganut Budha . . . !" Tekad Chamlong untuk lebur dalam Santi Asoke nampaknya telah bulat. "Setelah pensiun nanti," katanya lirih, "saya ingin menjadi orang normal. Hidup di gubuk setengah kuil di Nahkon Pathom, sekitar 90 kilometer dari Bangkok. Tempat yang asri, damai, dan dilindungi pohon-pohon rindang. Sekarang umur saya 54 tahun. Kalau boleh memilih, itulah hasrat yang ingin saya wujudkan." Priyono B. Sumbop, Yuli Ismartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus