Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Chernobyl : momok

Ribuan warga memperingati lima tahun bencana reaktor chernobyl di ibu kota ukraina. sampai kini korban masih berjatuhan di ukraina & byelorussia. moskow menanggapinya dengan dingin.

11 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malapetaka Chernobyl, Uni Soviet, bulan lalu berusia lima tahun. Felicity Barringer, wartawati The New Yorks Times, melaporkan bahwa sampai kini korban masih terus berjatuhan di daerah Ukraina dan Byelorussia. Daerah yang tercemar itu amat berbahaya buat kehidupan. Anehnya, banyak penduduk terpanggil untuk mudik. Moskow digugat karena ayem. Tahun lalu ada kampanye gencar menentang pembangunan proyek PLTN di Crimea. Sementara itu, di Jepara, Jawa Tengah, akan dibangun PLTN Gunung Muria yang akan beroperasi pada tahun 2003. JUMAT dua pekan lalu, muram merebak di Kiev. Ribuan warga bergabung dalam misa yang berlangsung di gereja-gereja seantero ibu kota Ukraina, Uni Soviet. Penduduk mengirim doa bagi korban bencana nuklir Chernobyl. Hari itu, tepat lima tahun musibah di reaktor yang terletak 130 km di utara Kiev. Upacara berakhir dengan pertemuan akbar di muka Katedral St. Sophia. "Tujuh ribu rakyat tewas terkena radiasi sejak 1986, dan jumlah ini mungkin akan terus bertambah," ujar Vladimir Shovkoshitny, Wakil Ketua Komisi Chernobyl di parlemen Ukraina. Perhitungan seram ini didapatkan Shovkoshitny atas terlibatnya 700 ribu orang dalam operasi pembersihan sampah nuklir di sejumlah daerah tercemar. "Satu dalam seratus mati dalam lima tahun belakangan ini," sambungnya. Setengah mengejek, penduduk Ukraina mempopulerkan suatu jenis penyakit baru: "AIDS nuklir". "Virus" baru ini lahir setelah Chernobyl meledak. Tapi, di balik itu, ada rasa ketidakberdayaan menghadapi bermacam gangguan kesehatan yang timbul setelah sinar radioaktif muntah ke berbagai penjuru wilayah di Rusia Barat. Tragedi yang membawa akibat berkepanjangan itu terjadi pada 26 April 1986. Ketika kebanyakan penduduk di sekitar wilayah Chernobyl terlelap, Aleksandr Akimov justru dicekam panik. Penjaga di ruang kontrol reaktor nuklir nomor 4 itu menangkap sinyal bahaya menyala pada Sabtu pukul 01.24 pagi. Ia memerintahkan dua pengawas teknik muda bergegas ke aula reaktor yang terletak beberapa ratus meter dari kamar pengawas. Tugas mereka menurunkan tangkai pengontrol gangguan. Tapi, ketika mereka tiba di sana, tak ada lagi batang kendali yang tersisa. Bahkan mereka tak bisa mendekati "tungku" reaktor, karena pintu pengaman, yang beratnya berton-ton, runtuh akibat serangkaian ledakan. Bongkah-bongkah besi menjadi merah dan biru dipanggang panas radioaktif. Mereka menyaksikan kejadian itu dalam satu dua menit -- tapi cukup untuk membuat kulit mereka berubah cokelat karena dosis radioaktif yang mematikan -- - lalu kembali untuk melaporkan bahwa reaktor telah hancur. Entah mengapa, atasan mereka di ruang pengawas tak percaya. Dua anak muda itu, seperti 29 orang lainnya, termasuk Akimov, pada akhirnya tewas 10 minggu kemudian, akibat radiasi. Dua petugas lapangan juga mati seketika dimangsa ledakan. Direktur PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) Chernobyl, Viktor Bryukhanov dan pimpinan teknik Nikolai Fomin segera dihubungi di rumahnya. Kepada kedua pimpinan ini dikabarkan "ada kecelakaan, tapi bangunan reaktor utuh". Laporan ini diteruskan ke Moskow. Paginya, Fomin pergi ke tempat kejadian dan memerintahkan petugas teknik yang lain, Anatoly Sitnikov, agar memeriksa reaktor. Sitnikov, seperti kedua rekan sebelumnya, melaporkan hal yang sama. Namun, lagi-lagi, laporan itu dianggap angin. Sitnikov, seperti yang lain, terkena dosis besar radiasi dan meninggal. Sikap acuh tak acuh para bos ini, menurut Grigory Medvedev, yang merekonstruksi peristiwa 26 April lima tahun lalu itu dalam buku The Truth about Chenobyl, menimbulkan dua akibat. Pertama, terlambat menemukan cara tepat untuk menangani kawah radioaktif. Kedua, 36 jam waktu terbuang untuk memindahkan penduduk terdekat di kota kecil Pripyat, sekitar enam kilo meter dari tempat bencana itu. Para penanggung jawab Chernobyl tak mau percaya bahwa ledakan telah menghancurkan reaktor. Paginya, ketika komisi penyelidikan yang diketuai Wakil Perdana Menteri Boris Scherbina datang ke tempat kejadian, ia malah disodori laporan yang enak. "Kondisi radiasi dalam batas normal," ujar Kepala PLTN Bryukhanov. Namun, siangnya Bryukhanov sempat meminta izin pada wakil PM itu untuk mengevakuasi penduduk Pripyat. Jawab Scherbina pendek, "Jangan bikin geger!" Sesungguhnya, sejak lepas tengah malam, reaktor nomor 4 itu telah memuntahkan dupa kematian. Tak kurang dari 50 ton partikel radioaktif -- 10 kali lipat dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima -- bergerak di sepanjang barat Rusia, kawasan Republik Byelorussia dan Ukraina. Pancaran sinar radioaktif, musuh yang tak kelihatan itu, telah melayangkan bencana sampai ke Skandinavia dan beberapa negara Eropa Barat. Yang mengherankan, pemerintah Soviet menyebutkan korban hanya 31 orang yang mati seketika. Sikap Moskow memang dingin menanggapi malapetaka itu. Penjelasan pertama tentang "teka-teki" itu baru muncul dua hari kemudian, datangnya dari kantor berita TASS, dengan enam baris kalimat. "Terjadi kebocoran di reaktor nuklir di Chernobyl, utara Kiev, ibu kota Ukraina, pada 26 April". Titik. Itu pun setelah pihak kedutaan Swedia di Moskow ribut. Pasalnya, pagi 28 April staf kedutaan mendapat kabar dari negaranya bahwa ada awan radioaktif datang dari arah Uni Soviet. Tak ayal, berita singkat TASS makin menimbulkan pertanyaan dan menyulut kecemasan yang makin luas. Sejumlah negara Skandinavia, ketika itu, mendesak adanya penjelasan yang lebih rinci untuk mengambil tindakan. Begitu juga negara-negara di Eropa Barat dan Eropa Timur yang langsung berbatasan dengan Uni Soviet. Para ahli melontarkan spekulasi dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan kemungkinan penyebaran awan nuklir ke seluruh dunia. Penduduk di sejumlah negara tetangga lari ke apotek, memborong tablet yodium. Mereka berusaha mencegah terisapnya unsur-unsur radioaktif ke kelenjar tiroid di tengah leher, sarang unsur radioaktif. Anak-anak di bawah 16 tahun diperintahkan menjalani tes dan pengobatan pencegahan akibat radiasi. Gorbachev baru muncul di televisi 16 hari setelah musibah 26 April itu. Namun, ucapan pemimpin tertinggi Soviet itu sudah dipandang sebagai terobosan -- terhadap sikap benteng beton Soviet -- ketika itu. Media massa resmi memberitakan dihukumnya tiga orang pejabat Chernobyl yang bertugas mengungsikan penduduk. Salah seorang di antaranya dipecat dari keanggotaan partai komunis. Memang tragis. Ketika kebocoran reaktor tengah terjadi pada hari Sabtu itu, penduduk di Pripyat tengah menikmati akhir pekannya. Di hari yang cerah itu, ada pertandingan sepak bola dan perayaan pesta kawin. Ibu-ibu rumah tangga berkebun. Anak-anak bermain pasir. Esoknya, prahara itu baru pecah. Bumi Pripyat gonjang-ganjing. Hampir 50 ribu penduduk, terdiri dari para pekerja PLTN, insinyur nuklir, buruh bangunan dan keluarganya, diminta mengosongkan permukimannya. Mereka diangkut dengan 1.100 bis dan dilarikan ke luar daerah maut. Penduduk lainnya yang berdiam dalam radius 28 km dari Chernobyl diminta pindah. Jumlah manusia yang diangkut dari wilayah tercemar itu seluruhnya mencapai 200 ribu. Kebanyakan pengungsi berpikir, mereka akan kembali ke kampungnya secepatnya. Sayang, upaya menceraikan penduduk dari sinar radiasi terlambat. Banyak dari mereka sudah keburu terkena 20 sampai 100 rads -- -satuan energi pancaran radioaktif. Dosis yang tidak mematikan, tapi meningkatkan risiko tumbuhnya kanker. Tambahan lagi, 2.000 orang tetap berdiam di wilayah yang ukuran kontaminasinya rata-rata 40 curies -- unit pengukur radioaktif per kilometer persegi atau lebih dari 300 kali tingkat radioaktif alamiah di Byelorussia. Wilayah yang tercemar itu dinyatakan sebagai daerah berbahaya. Pemerintah Soviet mengerahkan 600 ribu pekerja -- kebanyakan mereka yang kena wajib militer -- dikomandani para ilmuwan untuk membersihkan sampah nuklir. Sejumlah helikopter diterbangkan untuk menjatuhkan pasir ke sisa reaktor yang masih membara. Namun, di saat-saat yang genting seperti itu, masih ada saja yang membuat "kesempitan menjadi kesempatan". Maling-maling itu nekat menggali lagi kuburan barang-barang yang sudah tercemar pancaran elektro magnetik gamma. "Seminggu setelah musibah, orang bisa menukar sebotol vodka dengan televisi yang tercemar di pasar Gomel," ujar Vladimir Tsarenko, penyiar televisi dari Gomel, 120 km timur laut Chernobyl. Menurut prajurir Yevgeny Zhuk, hal yang sama terjadi pada mobil-mobil dan ambulans. Mereka seenak perutnya mencomot onderdil kendaraan dari kuburnya. Lima tahun setelah bencana itu, Felicity Barringer, wartawati The New York Times, kembali ke kantung-kantung bahaya itu. Ia menjumpai Sasha Danilkina, bocah lelaki berumur delapa tahun. Anak itu baru kembali dari klinik pengobatan radiasi di Minks. Dokter telah mengambil kanker di kelenjar tiroidnya. Gairah anak itu terbit lagi. Ia bermain-main kembali di rumahnya, sebuah pondok kayu di pinggir jalan berlumpur di wilayah Tarasovka, daerah pertanian di tenggara Byelorussia. Sasha adalah salah satu anak yang terkena radioaktif dalam jumlah besar pada hari-hari setelah bencana Chernobyl. Tapi ibunya mengatakan kecelakaan itu tak mempengaruhi hidupnya. "Kami tahu segalanya. Kami dilindungi dan diperhatikan," ujar Nadezhda Danilkina dengan penuh keyakinan. Tapi beberapa saat kemudian nada suaranya turun. "Mengapa mereka tak berbuat lebih jauh untuk anak-anak. Paling tidak melindungi anak-anak?" katanya. Danilkina cemas pada masa depan anaknya. Dalam keterangan yang didapat dari dokter anaknya, Sasha sudah kemasukan 200 rads radiasi -- setara dengan ribuan kali ronsen. Empat tahun kemudian, muncul tumor ganas dan menjalar ke kelenjar getah bening. Ahli-ahli dari Amerika dan Soviet mencoba melacak tingkat kontaminasi terakhir. Yaitu sisa-sisa bahan aktif dari sejumlah besar partikel radioaktif dengan "masa pijar" pendek yang menghujani jutaan orang pada hari bersejarah itu. Namun, selain itu, ada wilayah dengan kontaminasi menetap karena jatuhan cesium 137, salah satu elemen radioaktif yang "masa pijar"-nya lama. Bahan ganas ini dibawa oleh angin ke ketinggian dan jatuh ke bumi bersama hujan, di tanah yang mahalebar dari tengah Ukraina utara ke sepanjang timur Byelorussia. Sekitar 70% jatuhan partikel di wilayah Uni Soviet mendarat di Byelorussia. Unsur lain strontium 90 dan plutonium, yang juga berpijar lama, tak menyebar sejauh itu. Maka, diperkirakan daerah seperti Tarasovka, di tenggara Byelorussia atau 152 km timur laut reaktor Chernobyl, akan mengalami bencana berlarut-larut. Unsur radioaktif di tempat itu akan bertahan sampai satu generasi. Hanya ada satu cara mengurangi risiko: pindah. Artinya, itu jugalah pilihan keluarga Danilkina dan tetangga di sekitarnya. Tapi mereka tak tahu harus pergi ke mana. Mereka tetap tinggal di situ dalam kecemasan. Diduga, masih 75 ribu orang yang berdiam di wilayah yang pencemarannya rendah -- tapi toh tetap beberapa kali lebih banyak dari tingkat radiasi alamiah. Selain mereka, ada prajurit muda seperti Yevgeney Zhuk, 24 tahun, yang disebut sebagi likvidatoy, orang-orang yang ditugasi membersihkan daerah berbahaya itu. Ia berulang kali keluar-masuk lapangan dan mengisap bermacam elemen radioaktif. Lututnya kini sering terasa ngilu. "Dokter setempat menyuruh kami pergi. Mereka tidak perlu apa-apa dari kami. Saya merasa menjadi orang yang tidak berguna bagi siapa pun," kata Zhuk sambil bertumpu pada tongkatnya. Banyak rakyat yang masih bermukim di tanah bencana merasa diperlakukan sebagai kelinci percobaan. "Dokter memberi kami dosimeter. Kami pergunakan itu selama sebulan," kata Vera Zborovskaya, 30 tahun. Dosimeter berfungsi untuk mengukur dosis tepat obat penawar kanker tiroid. "Tapi kemudian dokter-dokter itu pergi dan tak seorang pun memberi tahu berapa dosis yang sudah kami terima," kata Zborovskaya, yang tinggal di Distrik Bragin, Gomel, Byelorussia. Vera Zborovskaya terus menumpahkan keluhannya. Ia punya dua anak, salah satunya Oksana, 10 tahun, yang menderita kelainan pada kelenjar tiroidnya. Oksana, seperti anak-anak lain di daerah yang diawasi secara berkala, dibawa ke daerah "bersih" selama sebulan. Di sana mereka diberi makanan yang sehat dan menghirup udara bebas polusi. Menurut teori, di lingkungan yang bersih, efek sinar radiasi akan berkurang. Tapi setelah itu mereka dikembalikan ke kampungnya. Yang menggelisahkan Zborovskaya, setiap dibawa ke kota bersih, ia diberi tahu anaknya sakit. "Tapi di sini tak seorang pun memeriksa kesehatannya. Tak ada lagi dokter di sini," katanya. Di Bragin, Zborovskaya hanya menerima kertas berstempel yang menyatakan anaknya telah diperiksa. "Padahal, tak ada anak-anak yang diperiksa," katanya. Memang menyedihkan. Dengan bertambahnya penyakit, para dokter justru kabur. Di daerah pinggir hutan, dulu, penduduk masih dilayani oleh 60% sampai 70% dokter yang diperlukan. Kini angkanya turun menjadi hanya 30%. Mereka cuma menerima kunjungan dokter spesialis sekali-sekali, sebagaimana diatur pusat pengobatan di Minsk dan Kiev. Selain perawatan kesehatan yang terabaikan, tak ada yang baru di desa-desa bersampah nuklir itu. Jalan-jalan sempit dan penuh lubang. Penduduk mendapatkan penghangat ruangan dengan oven yang katanya lebih panas daripada perapian. Lemari besar berfungsi juga sebagai tempat tidur. Telepon dan kamar mandi menjadi barang mewah. Termasuk juga mobil. Truk dan motor dengan gandengan di sampingnya lebih sering ditemui. Di beberapa desa, gerobak yang ditarik kuda dengan ban mobil dan traktor dipakai sebagai angkutan para wanita yang akan mengambil air ke sumur. "Anak-anak kami sekolahkan, tapi tak ada matahari," ujar Zborovskaya. Maka, mereka lebih suka pulang lagi dan bermain di jalan. Jelas itu berbahaya. Pemerintah menginginkan mereka pindah. "Kalau itu dianggap penting, seharusnya mereka lakukan secepatnya," sambungnya. Pembicaraan tentang pemukiman kembali sudah dilakukan lebih dari setahun. Tapi kementerian konstruksi di Minsk tak datang-datang dengan bata dan semen yang dibutuhkan. Tanah harapan itu masih kosong. Ada yang tak sabaran dan pindah sukarela. Tapi Vera Zborovskaya dan 90 orang lainnya bertahan. Zborovskaya, ibu berusia 30 tahun itu, seakan menyerah. Ia mencari nafkah sebagai operator di Desa Dubrovnoye, Byelorussia, sekitar 56 km di utara reaktor. Kawasan kosong yang ditinggalkan warga ke tempat permukiman baru. "Kalau saya menolak pergi ke sana, saya akan dihukum," katanya. Ia tak mengerti mengapa disuruh bekerja di tempat yang sudah tak berpenghuni. Kendati pemerintah berjuang untuk meyakinkan apa yang "aman" dan bagaimana agar rakyat selamat, tetap ada yang tak peduli. Banyak penduduk yang lebih suka tinggal di tempat semula. "Saya lahir di sini," kata Nenek Tatyana Leonenka, yang kembali ke rumahnya di Krasnaya Gora sejak dua tahun lalu. "Saya sudah tinggal di sini sejak perang sampai mereka memindahkan saya. Saya tak kerasan di sana," katanya. Tetangganya, Vasily Osipenko, 74 tahun, juga pulang kampung sejak dua tahun lalu. "Saya merasa lebih sehat di sini daripada di tempat baru. Di sini tak ada bahaya. Saya minum, saya makan di sini. Saya memelihara sapi dan meminum susunya," ujar Osipenko. Dia termasuk rakyat yang tak peduli. Barangkali karena ancaman itu memang tak kasatmata. Padahal, diam-diam tubuhnya diuruk petaka yang amat ganas. BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus