Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buah Jatuh Tak Jauh dari Babah
Soe Hok-gie tumbuh saat keluarganya susah. Bakat menulis dari ayah.
PERTENGKARAN bisu malam itu menjadi pertemuan terakhir Jeanne Sumual dengan kakaknya, Soe Hok-gie. Jeanne, kini 68 tahun, ingat betul hari itu, 11 Desember 1969, karena Hok-gie marah akan kebiasaannya yang suka dansa-dansi dan pulang selewat malam.
Hobi anak gadis ini tak direstui ayah-ibu mereka, Soe Lie-piet dan Nio Hoei-an. Juga Hok-gie, yang menghabiskan waktu di rumah dengan membaca dan menulis. "Mungkin Papa dan Mama meminta Hok-gie menegur saya," kata Jeanne, akhir September lalu.
Cara menegur Hok-gie bukan dengan marah-marah. Ia membawa hampir semua pakaian Jeanne dari lemari ke kampus Universitas Indonesia di Rawamangun, Jakarta Timur, dan kembali ke rumah bersama teman-temannya. Ketika Jeanne pulang, mereka sedang membicarakan rencana perjalanan ke Gunung Semeru. Hok-gie tak menegur Jeanne sama sekali.
Esoknya, rombongan mahasiswa Universitas Indonesia ini pergi pagi sekali. Sepekan kemudian, Jeanne mendengar kakak keempatnya itu tewas di Mahameru, puncak Semeru, di ketinggian 12.060 kaki dari permukaan laut. "Saya tak pernah lupa saat dia marah malam itu," kata Jeanne.
Selama 20 tahun hidup bersama Hok-gie, Jeanne mengenal kakaknya itu sebagai laki-laki yang penuh perhatian. Hok-gie selalu pasang badan jika ibu atau kakaknya yang lain memarahinya. Maka sikap Hok-gie malam itu yang tak ramah kepadanya terus membayang dalam kenangan Jeanne.
Usia keduanya terpaut enam tahun. Hok-gie lahir pada 17 Desember 1942. Hok-gie kakaknya langsung, sehingga Jeanne merasa paling dekat dengannya dibanding tiga kakaknya yang lain. Apalagi keduanya berbagi kamar. "Dia sering bercerita tentang kisah cintanya," katanya.
Soe Lie-piet menyewa sebuah rumah tiga kamar di Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta Barat, untuk tinggal keluarganya. Satu kamar di bagian depan, satu di tengah, dan satu di belakang. Ruang tengah merupakan ruang kerja dengan meja mesin tik dan sebuah mesin jahit. Luki Sutrisno Bekti, kawan Hok-gie, mengatakan ibu Hok-gie, Nio Hoei-an, dan kakak keduanya, Mona, memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan membuka jasa menjahit pakaian.
John Maxwell dalam Soe Hok-gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani menulis, meski rumah itu tidak besar, bangunannya paling kokoh di jalan itu. Halaman dan jalan dibatasi pagar besi. Fondasinya lebih tinggi sekitar satu meter untuk menghindari banjir. Kepada Maxwell pada 1982, Soe Lie-piet mengatakan harga sewa rumah pada 1970-an itu Rp 12 per bulan, lalu menjadi Rp 1.000 atas ketetapan pemerintah.
Jalan di depan rumah Soe Lie-piet terlalu sempit untuk menampung becak dan pedagang kaki lima. Gubuk-gubuk bambu pedagang perabot dapur berderet di tepi jalan seberang rumah Hok-gie. Nio Hoei-an melarang anak-anaknya bergaul dengan mereka. Tapi Hok-gie menentangnya.
Bersama kakaknya, Soe Hok-djin alias Arief Budiman, mereka punya kawan akrab anak-anak pedagang di gubuk-gubuk itu. Sayangnya, tak ada bekas perkampungan tempat main Hok-gie itu kini. Aristides Katoppo, sahabat Hok-gie, hanya memberi ancar-ancar ini: "Pertigaan pertama setelah Masjid Jami Kebon Jeruk belok kiri." Tapi di sana kini hanya ada tembok tinggi mengelilingi sebuah tanah lapang.
Herman, satu-satunya keturunan Tionghoa yang masih tinggal di sana, membenarkan lokasi itu bekas rumah Hok-gie. Lelaki 68 tahun itu membuka toko yang persis di seberangnya. Ia hanya mengingat keluarga Soe Lie-piet dengan data ini: "Keluarga wartawan yang anak lelakinya suka main bola dan mati muda."
Keluarga Soe Lie-piet memang tak terlalu menonjol. "Mereka bukan Cina miskin, tapi juga bukan Cina 'wah'. Pas-pasan," kata Herman Onesimus Lantang, kawan Hok-gie yang acap bermain ke rumahnya di Kebon Jeruk. Herman menyebut keluarga Soe Lie-piet selalu mengikuti perkembangan berita.
Setiap ia main ke sana, ia melihat Soe sedang membaca koran. Nio An juga suka mengajak diskusi tentang isu-isu nasional yang sedang hangat dengan anak-anaknya. "Kalau sedang membaca, Babah hanya pakai kaus kutang dan jika disapa hanya menjawab 'hmmm'," Luki Bekti menambahkan.
Dalam buku Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Soe Lie-piet digambarkan sebagai seorang peranakan yang gemar menulis ketimbang berdagang. Ia pernah mencoba berjualan batik dan bekerja di pabrik roti keluarga, tapi tak bertahan lama.
Soe Lie-piet terjun ke dunia jurnalistik pada awal 1920. Ia menyingkir dari Jakarta dan menjadi jurnalis di sebuah koran di Medan, Tjin Po. Menjelang akhir 1926, Soe pindah ke Palembang dan ditunjuk sebagai wakil editor di koran peranakan yang terbit dua mingguan, Han Po.
Dari Palembang, pada 1030 Soe Lie-piet hijrah ke Surabaya untuk bergabung dengan redaksi Hoe-kio, majalah dwibulanan yang populer di kalangan keturunan Cina. Pada saat yang sama, ia juga menulis cerita-cerita pendek dan novel pada 1935-1950. Ia lalu pensiun dari dunia jurnalistik dan kembali ke Jakarta pada 1942. Sejak itulah keuangan keluarganya pas-pasan.
Jeanne mengatakan kedua orang tuanya sering bertengkar karena masalah uang. Apalagi kebutuhan sehari-hari bukan hanya menyangkut urusan makan keluarga inti, tapi juga hewan peliharaan ayahnya, kucing dan anjing, yang masing-masing lebih dari dua ekor. Ada juga ikan dan monyet peliharaan Hok-gie. "Mama marah-marah karena dia enggak suka binatang," ujarnya.
Hok-gie menamai monyetnya Kisut. Menurut Jeanne, Kisut adalah hewan paling disayang Hok-gie. Saking perhatiannya, karena Kisut sudah tua dan kesulitan duduk, Hok-gie membuatkan kursi kecil dengan sandaran dan gantungan kaki untuknya. "Biar enggak jatuh," katanya.
Kisut konon menjadi bahan seteru Hok-gie dengan Arief Budiman. Dalam memoarnya di Tempo terbitan 29 Juli 2012, Arief bercerita ketika itu usianya 10 tahun, adiknya yang terpaut dua tahun itu ingin memiliki hewan peliharaan, tapi lalai merawat. "Saya marah dan menyebut Hok-gie kurang bertanggung jawab," kata Arief.
Tak hanya hobi merawat binatang, Hok-gie mewarisi bakat menulis dari Soe Lie-piet. Dalam buku Pergulatan, John Maxwell mencatat pekerjaan Soe sebagai penulis dan jurnalis membekas pada anak-anaknya, termasuk Hok-gie. "Anak-anak menganggap pekerjaan itu karier yang layak," tulis Maxwell.
Kegemaran menulis ini menyelamatkan Hok-gie semasa kuliah. Aristides Katoppo mengatakan, karena Hok-gie rajin menulis di Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya, honornya menjadi penopang sekolahnya. Hok-gie memiliki hobi menulis sejak usia 12 tahun.
Catatan harian pertamanya ditemukan bertanggal 4 Maret 1957. Seperti disusun oleh Daniel Dhakidae dalam Catatan Seorang Demonstran, tanggal itu ketika Hok-gie duduk di SMP Strada Gambir, Jakarta Pusat. Hari itu ia mencatat kekecewaannya kepada guru kelas II.
Guru itu rupanya memangkas nilai ujian ilmu bumi dari delapan menjadi lima. Hok-gie, yang merasa sebagai siswa nomor tiga paling pandai di kelas, kesal: "Hari ini adalah ketika dendam mulai membatu. Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo