Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REMAJA kurus bercelana pendek itu masuk ruang sekretariat majalah Pemantjar di seberang kapel Sekolah Menengah Atas Kolese Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat. Tangannya menggenggam beberapa lembar kertas ketikan.
Ia menyerahkan kertas kepada Frans Tshai, satu-satunya pengurus majalah bulanan sekolah, tanpa banyak bicara. "Ini tulisan berikutnya, ya," kata Frans, menirukan Soe Hok-gie, remaja kurus itu, akhir September lalu.
Hok-gie melenggang ke luar ruangan setelah menyerahkan kertas, meninggalkan Frans yang kebingungan. Frans, ketika itu kelas III, geleng-geleng membaca tulisan yang diserahkan Hok-gie. "Bahasanya ketinggian, saya enggak paham," ujarnya, tergelak, mengenang peristiwa 55 tahun lalu itu.
Setamat Sekolah Menengah Pertama Strada di bilangan Gambir, Jakarta Pusat, pada 1958, Hok-gie melanjutkan ke SMA Kolese Kanisius, salah satu sekolah tua yang didirikan pada 1927. Di sekolah ini, Menteri Luar Negeri kala itu, Subandrio, juga menyekolahkan anaknya.
John Maxwell dalam bukunya, Soe Hok-Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, menceritakan, Hok-gie tak mendapat kesulitan saat mendaftar di sekolah favorit keluarga kaya Jakarta ini. Menurut kakak Hok-gie, Arief Budiman, yang juga bersekolah di sana, dan ibu mereka, Nio Hoei-an, nilai ujian negara beberapa mata pelajaran Hok-gie saat SMP sangat baik sehingga dia mendapat tempat di Kanisius, meski keluarganya miskin.
Kanisius menyediakan tempat bagi anak-anak keluarga kurang mampu, khususnya mereka yang memiliki nilai akademis baik, dengan biaya yang lebih murah. "Berkat ketentuan inilah Soe bersaudara dapat diterima masuk," kata Maxwell.
Hok-gie diterima di jurusan ilmu sastra. Menurut Frans, Hok-gie bukan murid populer waktu itu. Namun dia jadi kenal karena Hok-gie rajin menyetor tulisan untuk majalah bulanan sekolah. Selama setahun, sekitar 1961, saat Frans menjadi pengurus majalah Pemantjar, hampir saban bulan Hok-gie mengirimkan karyanya. Lantaran "bahasa yang ketinggian", tak banyak isi tulisannya yang nyantol di memori otak Frans. Yang dia ingat, Hok-gie pernah menulis pemikirannya tentang bangsa. "Tulisannya sangat visioner," ujar Frans, lulusan kedokteran pendiri Swiss German University di Serpong, Tangerang.
Meski tak bisa mencerna isinya, Frans dengan senang hati menerima dan memuatnya di majalah Pemantjar. Dia tak enak menolak lantaran Hok-gie sudah getol menulis. Terlebih tak banyak murid sekolahnya yang mengirimkan tulisan untuk diterbitkan. Jadilah selalu ada ruang di majalahnya untuk tulisan Hok-gie. "Saya juga enggak yakin teman-teman sekolah paham isi tulisannya," kata Frans, kembali tergelak.
Gara-gara tulisan yang "terlalu tinggi" ini pula Frans urung mengajak Hok-gie ngobrol. Dia sudah minder duluan dan merasa tak bisa menemukan topik yang pas untuk mereka diskusikan. Maka, ketika nama Hok-gie terkenal karena sering mengkritik pemerintah beberapa tahun setelah pertemuan-pertemuan di ruang redaksi tersebut, Frans tak heran. "Gie kritis dan idealis murni."
Sikap kritis Hok-gie memang tak terbentuk serta-merta di bangku kuliah. Dia sudah memiliki sikap perlawanan sejak SMP. Sikap ini terlihat jelas dalam catatan hariannya yang dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran, yang pertama kali diterbitkan pada 1983.
Dalam catatan itu, ia pernah mendebat guru bahasa Indonesia karena sang guru menyebut Chairil Anwar sebagai pengarang prosa "Pulanglah Dia si Anak Hilang" dalam bahasa Indonesia.Menurut Hok-gie, prosa tersebut adalah karya pengarang Prancis, Andre Gide, sedangkan Chairil menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Namun gurunya tak terima dengan penjelasan ini. "Kemudian kami berbantah. Dia bilang Andre Gide tak dikenal di Indonesia," tulisnya, 8 Februari 1958.
Di zaman SMA, Hok-gie juga beberapa kali membantah guru sejarah kebudayaannya. Mereka pernah berdebat sekitar 30 menit karena keduanya punya referensi berbeda. Sang guru, yang mengutip Nagarakretagama, menyebut masa pemerintahan Ken Arok berlangsung pada 1222-1227. Hok-gie, yang membaca buku Pararaton, yang menurut dia lebih logis, mengatakan Ken Arok memerintah lebih lama, pada 1222-1247. Karena gurunya keukeuh dengan referensinya itu, ia menyebut pikiran sang guru mati. "Rupanya setelah lulus ia tidak belajar sejarah lagi. Padahal sejarah terus berkembang," kata Hok-gie.
Menurut Frans, membantah guru kala itu sangat tabu. Aturan di sekolahnya sangat disiplin. Mayoritas gurunya juga galak. "Mau romo atau bukan, rata-rata killer," ujarnya.
Wimar Witoelar, adik kelas dua tahun Hok-gie di Kanisius, tak aneh jika seniornya itu mendebat guru. Menurut dia, Hok-gie tipe orang yang ingin menunjukkan pengetahuan. "Saya bisa bayangkan Hok-gie melakukan itu. Dia tidak ingin mundur dari pendapatnya dan ingin sedikit pamer pengetahuan, bahwa dia lebih pintar, lebih banyak membaca."
Di masa SMA, perlawanan Hok-gie meluas. Selain mengkritik guru, dia mengkritik lingkungan sekitarnya, seperti teman sekolah, dan pastor. Dia juga mulai mengecam Presiden Sukarno dan tokoh politik lain.
Maxwell dalam bukunya menuturkan bahwa Hok-gie dikenal sebagai murid yang serius dan pintar. Di Kanisius, pandangannya tentang kesenjangan ekonomi makin tajam. Dia mengejek teman-temannya yang banyak berasal dari keluarga kaya dan memiliki hak istimewa. Beberapa di antaranya tinggal di rumah-rumah mewah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Hok-gie, yang berasal dari keluarga Tionghoa kurang mampu, menyebut mereka "masyarakat borjuis". Di catatan hariannya, dia menulis puisi yang ditujukan untuk salah satu kawan sekolahnya yang masuk keluarga borjuis tersebut berjudul "Masyarakat Borjuis, untuk L.B.S.".
Ada suatu yang patut ditangisi
Aku kira kau pun tahu
Masyarakatmu, masyarakat borjuis
Tiada kebenaran di sana
Dan kalian selalu menghindarinya.
Di SMA itu, Hok-gie juga mengkritik pastor. Semula ia mengira pastor adalah kelas rakyat. Setelah masuk sekolah Kanisius, ia melihat pastor adalah "kelas yang berkuasa dalam agama yang memonopoli kebenaran". "Lihat saja cara hidupnya: mewah dan menjilat-jilat kepada golongan yang berkuasa," tulisnya pada 18 Juni 1960.
Hok-gie kemudian mengkritik sekolahnya yang punya syarat mutlak untuk menjadi siswa, yakni punya orang tua yang berkuasa. Ia bercerita tentang dua temannya, Harry dan Suparsih, yang gagal masuk Kanisius lantaran alasan sosial. Karena hal ini, kesan baiknya tentang sekolah dan pastor jadi lenyap. "Mereka (pendeta-pendeta) adalah penjilat-penjilat borjuis. Menjual kebenaran untuk kelas itu," katanya.
Sukarno dan tokoh politik lain pun tak lepas dari kecamannya. Dalam catatan hariannya tertanggal 10 Desember 1959, Hok-gie mengkritik ketimpangan ekonomi antara rakyat dan penguasa. Di dekat rumahnya di Jalan Kebon Jeruk, Hayam Wuruk, ia melihat orang makan kulit mangga saking kelaparannya. Hok-gie menduga, di Istana Negara, sekitar dua kilometer dari pemakan kulit mangga itu, Sukarno sedang tertawa-tawa dan makan-makan dengan para istrinya.
Pandangan politik Hok-gie ini, kata Maxwell, dipengaruhi keluarga. Nio Hoei-an senang mengobrol dengan Hok-gie tentang beberapa isu politik, meski pengetahuannya kalah dibanding pengetahuan anaknya. Hok-gie juga rajin membaca koran sejak SMP. Di rumahnya selalu ada Keng Po, surat kabar yang populer di kalangan Cina-Indonesia. Sikap politiknya makin liar setelah ia melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo