Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOE Hok-gie mengambil kesempatan itu. Ketika mengantar Nurmala Kartini Panjaitan ke Toko Roti Tegal, Jakarta Timur, pada 11 Desember 1969 sore yang gerimis, ia mengungkapkan perasaannya. "Ia bilang betapa dia menyayangi saya," kata Kartini—belakangan menjadi istri Sjahrir, pendiri Partai Indonesia Baru—pada akhir September lalu.
Kartini menuturkan, ungkapan perasaan Hok-gie sore itu sangat menyentuh perasaannya. Dalam buku Soe Hok-gie... Sekali Lagi, Kartini menggambarkan suasana hatinya setelah "ditembak" lelaki itu: "Meski hujan turun rintik-rintik, badan dan rambut saya setengah basah, perasaan saya senang dan hangat sekali."
Menurut mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Argentina-Uruguay-Paraguay ini, Hok-gie yang mengajaknya kencan sore itu. Meski tidak terlalu suka, kata dia, waktu itu Hok-gie bahkan mau makan roti dengan rasa nanas. Kencan tersebut sekaligus pamitan, karena esok harinya Hok-gie akan mendaki Gunung Semeru di Jawa Timur bersama Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Indonesia.
Perempuan 66 tahun ini mengatakan sama sekali tidak punya firasat bahwa saat itu adalah momen terakhir mereka jalan bersama. Sepekan kemudian Kartini mendapat kabar bahwa kawan dekatnya tersebut meninggal di puncak Mahameru.
Hubungan Kartini dengan Hok-gie sangat dekat. Dalam Catatan Seorang Demonstran, Hok-gie menyebut Kartini sebagai "pacar kecil-kecilan". Momen ini terekam dalam tulisan Hok-gie pada Jumat, 20 Juni 1969, "....Saya dengan Sunarti (Daniel Dhakidae—penyusun buku itu—menyamarkan Kartini sebagai Sunarti) memerlukan persahabatan yang mesra dan jujur untuk membicarakan kesulitan bersama."
Saking jujurnya, kata Kartini, jarak usia—Hok-gie waktu itu 26 tahun, sedangkan Kartini 18 tahun—tak menghalangi keakraban keduanya. Kartini menuturkan, Hok-gie yang saat itu sudah menjadi asisten dosen mata kuliah sejarah tersebut sering bercanda yang menjurus "urusan perut ke bawah".
Yosep Adi Prasetyo, kawan Arief Budiman, kakak Hok-gie, mengatakan Kartini cukup sering berkirim surat dengan Hok-gie. Arief pernah menitipkan beberapa surat Hok-gie dengan kawan-kawannya kepada Stanley. Menurut Stanley, bahasa kedua muda-mudi itu cukup genit.
Kartini mengatakan, meski hubungan keduanya dekat, sebenarnya ada satu perempuan yang menjadi pujaan Hok-gie. Perempuan ini, menurut dia, selalu "mengusik" hidup Hok-gie. Semua orang dekat "Sang Demonstran" sepakat pada satu nama, yaitu Maria. Kartini, dalam buku Rumah Janda, yang ia tulis pada 2014, mengatakan, "Menurut aku, Maria sangat pas untuk Hok-gie. Orangnya sangat manis dan baik."
Hok-gie cinta mati kepada Maria, adik kelasnya dari Jurusan Sastra Prancis. Maria pun kesengsem pada Hok-gie. Entah sejak kapan mereka "jadian". Dalam Catatan Seorang Demonstran, ia hanya menyebut, "Hubungan yang sudah berjalan setahun ini." Mereka berpacaran diam-diam, bersembunyi dari orang tua Maria.
Rudy Badil, salah satu kawan Hok-gie di Universitas Indonesia, mengatakan orang tua Maria adalah pedagang yang sukses pada masa itu. Badil bertetangga dengan Maria di Jalan Tanah Abang II, Jakarta Pusat. Saat ini kawasan perumahan tersebut sudah berubah menjadi Markas Pasukan Pengamanan Presiden.
Menurut Badil, Hok-gie kerap apel ke rumah Maria. "Saya sering nganter," kata Badil, awal September lalu. "Soalnya, Hok-gie segan kepada orang tua Maria karena alasan status sosial." Badil menuturkan, ia juga beberapa kali menemani keduanya kencan. Dari nonton layar tancap di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, sampai sekadar makan di emperan.
Kepada beberapa orang dekatnya, Hok-gie juga kerap curhat tentang perbedaan status sosial ini. Jeanne Mambu, kawan Hok-gie, mengatakan sahabatnya itu merasa "kecil" di hadapan keluarga Maria. "Kami pernah ngeledek dia, 'Kapan berani ngelamar Maria?'" ujar Jeanne. "Tapi Hok-gie malah jawab, 'Mana mau sama Cina kere kayak saya?'"
Dalam Catatan Seorang Demonstran, Hok-gie bercerita tentang keluarga Maria yang menolak kehadirannya. Dalam tulisan bertanggal Jumat, 4 April 1969, Hok-gie mengatakan Maria ingin keduanya hanya sebatas sahabat. Hok-gie memprotes. Ia berpendapat hubungan keduanya tidak bisa lagi sebatas teman. "Saya mengatakan kepada dia bahwa soal ini sangat berat, karena ia harus bertempur sendirian di rumah," begitu Hok-gie menulis.
Sayang, Maria tidak bersedia diwawancarai. Beberapa teman dekat Hok-gie dan Maria menjelaskan alasannya, tapi meminta tidak dipublikasikan. Maria menikah dengan seorang dokter dan sekarang menetap di Belgia.
Hubungan Hok-gie dengan Maria kian rumit. Maria cemburu kepada Luki Sutrisno Bekti, kawan seangkatannya di Sastra Prancis yang juga dekat dengan Hok-gie. Sang Demonstran pernah menulis, "Maria meminta saya untuk kembali kepada Luki karena Luki amat sayang kepada saya."
Hok-gie juga menceritakan kawan-kawannya kerap memintanya tegas memilih Maria atau Luki. Ia selalu menjawab bahwa Luki adalah teman. Luki tersenyum saat Tempo meminta dia menceritakan ulang kisah ini. "Saya pernah dengar dari beberapa teman soal itu," kata Luki ketika ditemui di sebuah kedai kopi, akhir September lalu. "Bahkan ada yang berkata bahwa Maria merasa dia merebut Hok-gie dari saya."
Luki menuturkan, pada saat mereka berdua, Hok-gie malah selalu menceritakan Maria. "Hok-gie cinta mati ke dia," ujarnya. "Sedangkan dengan saya hanya teman akrab."
Luki, wartawan senior di Media Indonesia, mengatakan Hok-gie merupakan tempat curhat yang asyik dalam berbagai hal. Yang terpenting, kata dia, Hok-gie sangat pandai memecahkan masalah. Pernah satu kali Luki bercerita tentang keinginannya berhenti kuliah karena dia bertengkar dengan orang tuanya. Orang tua Luki mengancam menghentikan biaya kuliah.
Hok-gie kemudian mencarikan pekerjaan sampingan untuk Luki dan beberapa teman mahasiswa lainnya. Dua di antaranya, menurut Luki, menjadi penyambut penumpang di Terminal Bus Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, dan membantu penertiban taksi liar di Bandar Udara Kemayoran.
Orang tua Luki, Maria, dan Kartini menjadi tembok bagi cinta Hok-gie. Dalam Catatan Seorang Demonstran, ia berkata, "Orang-orang ini senang kepada saya karena saya berani, jujur, dan berkepribadian." Kemudian dia melanjutkan, "Tetapi ketika saya ingin masuk, mereka menolak, 'Soe baik tapi tidak untuk keluarga kita'."
Kartini dalam bukunya, Rumah Janda, mengatakan kawan-kawan Hok-gie punya julukan untuk ketiga perempuan ini. "Mereka memanggil kami 'tiga janda gunung'," tulis Kartini. "Kami terima saja. Namanya juga cinta lokasi."
Luki mendapat kabar meninggalnya Hok-gie dari Rudy Hutapea, penyiar Radio UI. Pagi itu Rudy datang ke rumahnya membawa selembar surat. Layang itu sebenarnya disampaikan kepada Rudy pada 12 Desember 1969, sebelum rombongan Mapala UI berangkat ke Semeru. Luki mengatakan orang tuanya melarang dia bertemu dengan Hok-gie. "Rudy baru ingat setelah mendapat kabar Hok-gie meninggal," kata Luki.
Ia menuturkan, isi surat Hok-gie sebenarnya singkat. "Saya sudah berangkat," ujar Luki, mengingat isi surat yang tak lagi disimpannya itu. "Setelah saya pulang, kita bicarakan hubungan kita." Hubungan itu tak lagi bisa mereka bicarakan. Hok-gie tak pernah pulang dari pendakian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo