Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengeras di Negeri Abang Sam

Atas undangan pemerintah Amerika Serikat, Hok-gie melawat ke sejumlah universitas di sana. Memperkuat keberpihakan pada kaum tertindas.

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOE Hok-gie menerima panggilan telepon dari Kedutaan Besar Amerika Serikat itu pada pertengahan September 1968. Pembicara di ujung telepon menawarkan perjalanan studi banding ke Negeri Abang Sam. Waktu itu Hok-gie berusia 25 tahun.

Hok-gie menerima undangan tersebut. Namun ia tak mau kepergiannya dipersulit dengan segudang syarat. Kepada si penelepon, Hok-gie menjelaskan sikapnya terhadap politik Amerika Serikat. "Saya anti-Perang Vietnam," begitu Hok-gie menuliskan cerita dalam risalah "Saya Bukan Wakil KAMI". "(Saya) antikomunis, tapi saya juga memprotes keadaan tak adil untuk mereka."

Ternyata Hok-gie menemui hambatan bahkan sebelum dia berangkat. Di kantor imigrasi, ketika hendak membuat paspor, dia harus melewati pemeriksaan berlapis. Petugas mengecek keaslian surat pernyataan Hok-gie memilih jadi warga negara Indonesia serta menelusuri namanya di daftar orang asing. Petugas bahkan menginterogasi apakah Hok-gie "bersih diri" alias tak terlibat Gerakan 30 September 1965.

Karena proses yang berbelit itu, Hok-gie sempat uring-uringan. Hampir saja ia membatalkan rencana studi banding ke Amerika. Namun, berkat bantuan seorang wartawan Sinar Harapan, urusan paspor akhirnya selesai dalam waktu lima jam.

"Jika ia menyebut seseorang di Sinar Harapan, rasanya cuma saya yang dekat dengan Hok-gie," kata Aristides Katoppo, mantan Pemimpin Redaksi Sinar Harapan, akhir September lalu. Meski begitu, Aristides mengaku tak memberi bantuan istimewa selain membuatkan Hok-gie surat referensi. "Itu pun sifatnya informal."

Aristides justru pernah mendengar bahwa Benedict Anderson—Indonesianis dari Cornell University—turut berperan memuluskan jalan Hok-gie ke Amerika. Menurut Aristides, relasi Ben dengan Hok-gie memang dekat. Namun Aristides tak tahu apakah Ben membuatkan semacam surat referensi atau tidak. "Ben mungkin ikut membuka jalan," ujar Aristides.

Hok-gie berkeliling Amerika Serikat selama 75 hari. Ia bersafari ke sejumlah kampus, dari University of Hawaii di Honolulu, Willamette University di Oregon, South Texas University di Houston, sampai Cornell University di New York.

Di kampus-kampus prestisius itu, Hok-gie mengikuti berbagai diskusi. Temanya membentang dari perjuangan kelas sampai urusan ekonomi-politik global. Hok-gie menilai topik-topik diskusi itu berkaitan erat dengan problem bangsa Indonesia.

Hok-gie, misalnya, bercerita tentang perjumpaannya dengan seorang tokoh gerakan persamaan hak warga negara, English Bradshaw, di University of Hawaii. Dari Bradshaw, Hok-gie mendapat gambaran bagaimana pemisahan dan perbedaan perlakuan berdasarkan warna kulit masih menonjol di Amerika Serikat.

Diskusi dengan Bradshaw menguatkan rasa ingin tahu Hok-gie akan seluk-beluk perjuangan ras. Ia kemudian berdiskusi dengan banyak aktivis mahasiswa. Salah satunya berasal dari Trinidad. Sang mahasiswa bercerita bahwa warga keturunan Afro-Amerika di negeri Abang Sam hidup terkucil.

Hok-gie pun melihat orang Afro-Amerika seperti kehilangan identitas. Mereka bukan lagi orang Afrika tapi sulit mendapat tempat dalam struktur masyarakat Amerika. "Di Indonesia, kami dididik untuk tidak membenci ras lain," ujar Hok-gie.

Topik perjuangan ras ini pernah menyeret Hok-gie dalam perdebatan sengit dengan kelompok yang menamakan diri Black Student Union. Menurut Hok-gie, mereka menuding pemerintah Orde Baru memperlakukan Sukarno dengan tak pantas, seperti halnya orang Amerika memperlakukan orang kulit berwarna. Hok-gie pun dongkol. "Sukarno itu kepala negara yang berfoya-foya ketika rakyatnya menderita setengah mati," kata Hok-gie.

Dalam kesempatan berbeda, Hok-gie menyimak ceramah mahasiswa keturunan Cina-Amerika. Si mahasiswa menggugat gaya hidup kaum borjuis Amerika yang dia anggap merusak identitas penduduk migran. "Saya punya ide yang berbeda dengan kalian," ujar Hok-gie menyela diskusi. "Di negeri saya, persoalan pokok adalah bagaimana mereka mengasimilasi dirinya ke dalam masyarakat mayoritas."

Hok-gie tak cuma mengikuti ceramah dari satu aula ke aula lain. Ia menyaksikan aksi mahasiswa berderap di kampus-kampus, seperti ketika mahasiswa memboikot anggur California di Willamette University. Gerakan ini terkenal dengan julukan The Delano Grape Strike.

Pada mulanya, Hok-gie bercerita, sekelompok kecil mahasiswa, terdiri atas lima-enam orang, memprotes pengelola sebuah kebun anggur. Mereka memprotes pemangkasan upah buruh di kebun itu. Belakangan, gerakan itu meluas. Mahasiswa tak hanya berunjuk rasa dengan memajang poster. Tak sedikit yang berjaga di toko-toko untuk mencegah pelanggan membeli anggur. "Jika masyarakat lebih terdidik, pola semacam ini dapat diterapkan di Indonesia," kata Hok-gie.

Menurut Abdullah Dahana, rekan Hok-gie saat bergiat di Senat Mahasiswa Fakultas Sastra, keberpihakan Gie pada kaum tertindas tumbuh jauh sebelum perjalanan ke Amerika. Perjumpaan dengan kaum gerakan di Amerika mengasah ide dan menegaskan keberpihakan Hok-gie.

Keberpihakan pada kaum terpinggirkan, menurut Dahana, tergambar pada artikel-artikel yang ditulis Hok-gie di surat kabar. Hok-gie pun sering memprotes ketidakadilan dan diskriminasi di lingkungan kampus. Bila ada mahasiswa yang diperlakukan tak adil oleh dosen, kata Dahana, "Ia sering potong kompas ke dekan."

Di mata Dahana, skripsi Hok-gie yang diterbitkan dengan judul Orang-orang di Simpang Kiri Jalan merupakan bukti sahih lain keberpihakan itu. Meski tak suka Partai Komunis Indonesia, Hok-gie mengupas dengan jernih pemberontakan Madiun 1948. Ben Anderson, dalam obituari In Memoriam: Soe Hok-gie, menyebut skripsi itu termasuk publikasi pertama yang membahas diskriminasi terhadap pengikut komunis.

Hok-gie pun vokal menentang perlakuan pemerintah Orde Baru terhadap simpatisan PKI setelah Gerakan 30 September meletus. "Dia selalu melihat peristiwa politik dari sisi orang yang kalah," ujar Dahana, 75 tahun.

Hok-gie mengakhiri perjalanan di Amerika tepat dua hari sebelum Natal 1968. Ketika pulang, terbang melintasi Samudra Pasifik, pikiran Gie dihantui pembantaian kaum komunis di Tanah Air. "Semula saya berpikir akan jadi turis dengan melihat Amerika yang kaya. Ternyata saya tetap tak bisa lepas dari persoalan Indonesia," kata Hok-gie dalam catatan berjudul Awal dan Akhir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus