Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Cinta tiga babak untuk sebuah ...

Jiang qing dikenal ambisius dan egoistis. kekuasaan yang diraih bukan melalui penilaian melainkan lewat gerakan dan kasak-kusuk. hampir semua pernyataan politiknya adalah buah pikiran mao zedong.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH Anda sekalian makan?" pekik wanita itu dalam sebuah pidato di Festival Opera Beijing, 1964. "Makanan itu datang dari para petani! Maka, mengabdilah kalian pada para petani melalui sandiwara dan opera!" Inilah pidato berpengaruh pertama Jiang Qing di depan para pemimpin Kementerian Kebudayaan dan para dramawan terkemuka. Dalam festival yang berlangsung satu bulan ini pula, sebagian besar karya reformasi Jiang Qing dipentaskan. Bagian penting dari pidatonya itu adalah gema pikiran Jiang Qing, yang dituangkan dalam tulisannya berjudul "Kehidupan Kita". Dengan menempatkan diri sebagai sutradara dan pencipta drama, ia menulis bahwa setiap sutradara harus dicurigai. Bahwa pandangan aktor serta penonton seharusnya mendapat kesempatan untuk mengurangi kekuasaan sang sutradara. Ia kemudian menuliskan rekomendasi bagi teater yang baik, kombinasi tiga unsur: kepemimpinan, penulisan teater, dan massa. Nada tulisannya garang, provokatif, dan perkasa. Mao adalah sandaran keperkasaan Jiang Qing. Ia dengan intensif dan berulang-ulang menekankan cercaan dan kritik Mao pada kebudayaan. Misalnya kecaman Mao kepada para pejabat Kementerian Kebudayaan yang dipimpin oleh Zhou Yang, Xia Yan. Mao bilang, "Kementerian Kebudayaan seperti kementerian para raja, pangeran, jenderal, dan orang-orang rupawan." Kritik Mao itu yang menjadi legitimasi bagi munculnya karya-karya teater Jiang Qing yang revolusioner. Tentu, dalam keadaan paspasan karena ia sesungguhnya bukan seorang dramawan, apalagi pencipta. Ketika karyanya disebut-sebut pers sebagai "model karya revolusioner" Wali Kota Beijing, Peng Zhen protes. "Model macam apa itu, saya tidak bersedia memakai model itu," Deng Xiaoping melempar kritik dengan sinis, "sepertinya hanya orang berlari-larian di atas panggung. Sama sekali tak ada tanda-tanda seni dalam karya-karya itu." Jiang Qing berusaha merangkul Wali Kota Peng. Namun, usahanya tidak pernah berhasil. Peng malah menggerutu kepada rekannya, "Ia mau ini dan itu. Tidakkah ia tahu bahwa Beijing punya tanggung jawab lebih penting daripada membantu permainannya?" Namun, Jiang Qing tentunya tidak berhenti. Ia bukan penulis drama yang sedang melamar pekerjaan. Ia istri Mao. Ia kemudian bahkan bukan cuma menciptakan drama. Jiang Qing juga mencoba berkiprah di dunia tari. Salah satu karyanya, Detasemen Merah Wanita, sebuah cerita feminis yang digabungkan dengan militerisme, dan mengambil Pulau Hainan sebagai settingnya. Kisahnya tentang tuan tanah yang bersikap kejam kepada seorang buruh wanita. Revolusioner? Tidak, drama tari ini tidak lebih dari campuran tarian ritual Cina tradisional dan romantisme Barat. Padahal Jiang Qing menyatakan kebenciannya secara terbuka pada balet klasik Barat, seperti repertoir Swan Lake yang katanya penuh dengan burung dan binatang buas. Menurut Jiang Qing, balet harus bercerita tentang kemauan manusia. Ia menghidupkan karya balet ciptaannya dengan memasukkan unsur gerakan tentara agar tarian itu lebih mencerminkan perjuangan. Detasemen Merah Wanita berakhir dengan adegan yang nyaris religius: Kemenangan Mao dalam sebuah kebangkitan. Tentu Detasemen Merah Wanita kembali mendapat kecaman. "Refleksi kehidupan yang dipaksakan," kata Liu Shaoqi. "Setelah bekerja keras sehari-hari, orang datang ke teater untuk menghibur diri. Dengan teater, Jiang Qing seperti masuk ke mendan perang." Di tengah masa latihan "Detasemen Merah Wanita", Menteri Kebudayaan Zhou Yang memerintahkan para penari yang terlibat pergi ke Hong Kong. Di koloni Inggris ini, Swan Lake sedang dipentaskan. Di tengah berbagai kecaman seperti itu, Mao tampil membela Jiang Qing, istri tercinta. "Orientasinya sudah benar," kata Mao, "karya itu sukses untuk revolusi. Secara artistik pun, kita bisa lihat keindahannya." Para pengkritik diam. Jiang Qing dapat angin dan kesempatan untuk lebih merajalela. Dunia musik pun tak luput dari garapan Jiang Qing. "Simfoni kapitalis telah mati," katanya pada suatu hari di tahun 1965, ketika ia singgah di Pusat Masyarakat Simfoni, Beijing. Kepada para pemusik dan pencipta, ia bilang bahwa ia tengah mencari cara bagaimana membawa semangat revolusi yang akan mengharumkan nama musik. "Anda menyerang saya dengan palu," kata pimpinan Orkes Simfoni Beijing kepada Jiang Qing. Namun, usaha dirigen ini -- dengan menggunakan kata-kata kiasan -- ternyata salah teknik. Tak ada yang lebih menggembirakan Jiang Qing daripada dipandang sebagai penyerang yang mengerikan. Mengantisipasi kalimat sang dirigen, Jiang Qing berkata, "Dengan palu di tangan, aku serang seluruh aturan lama." Protes para pemusik membanjir melihat sepak terjang Jiang Qing. Namun, Jiang Qing tak mau mundur setapak pun. Sebaliknya, ia mengirim seorang pemain piano ke Selatan untuk melakukan napak tilas perjalanan militer Mao, agar si pemain piano dapat menjiwai Konserto Sungai Kuning. "Musik harus menjadi pelayan revolusi," katanya. Jiang Qing cuma percaya pada kemauan sendiri. Celakanya, semua pandangannya naif dan serba hitam putih: terang dan gelap, kesetiaan dan pembangkangan, kesedihan dan kegembiraan. Jiang Qing tidak merasa harus peduli pada daya pikir, selera, dan kepekaan penonton. Baginya, yang penting, Mao menyenanginya. Namun, harus diakui, Jiang Qing bukannya sama sekali diabaikan para seniman. Sebagian penulis dan wartawan yang dekat dengannya mendukung semua tindakannya. Tentang opera, balet, dan simfoni karya Jiang Qing, mereka menilai, "Karya-karya itu mutiara karya proletar yang bersinar. Secara pribadi, dipelihara oleh Kamerad Jiang Qing. Karya itu bersinar dengan pikiran-pikiran Mao Zedong." Sampai pertengahan tahun 1960, Jiang Qing mendapat dukungan Mao. Publik Mao memuji karya-karyanya. Jiang Qing kemudian mulai dilibatkan dalam rapat-rapat penting, bahkan rapat Komite Sentral, atas undangan Mao. Dalam rapat-rapat ini, Jiang Qing duduk di pojok, sibuk mencatat semua ucapan Mao. Ia tahu persis, semakin peka ia menangkap gesture Mao, semakin mudah ia menggunakan kekuasaan pemimpin besar itu. Jiang Qing akhirnya bisa menjadi anggota parlemen Cina, mewakili provinsi asalnya, Shandong. Kursi ini tidak diraihnya melalui proses penilain, namun melalui gerakan dan kasak-kusuk. Setelah berhasil masuk ke jajaran tokoh partai, Jiang Qing sering mendampingi Mao muncul di muka umum, termasuk pada perayaan Hari Nasional di Pintu Kedamaian Surgawi, sebuah acara yang sangat istimewa. Setelah citra sangat dekat dengan Ketua Mao didapatnya, Jiang Qing mulai menampilkan pernyataan-pernyataan politik. Bukan pikirannya sendiri, tapi mengutip semua kata-kata Mao. Jiang Qing sangat pandai menautkan pemikiran Mao dengan menambah-nambah ungkapan Mao dengan kata-katanya sendiri. "Dalam mencari kebesaran manusia, lihatlah ke masa kini," demikian bunyi sebuah kalimat dalam puisi Mao. "Kita jangan melihat kepahlawanan seseorang hanya setelah ia mati. Sebenarnyalah, lebih banyak pahlawan yang hidup daripada yang telah mati," ujar Jiang Qing. Sebetulnya, cukup mengharukan melihat Jiang Qing yang ambisius dan egoistis bertekuk lutut pada intelektualitas Mao. Begitu merasuknya kepribadian Mao, waktu ia menulis cerita tentang kehidupan masa lalunya, ia sampai-sampai mengadaptasi kejadian-kejadian yang dialami Mao. Tak hanya ini. Bahkan tulisan tangan Jiang Qing pun berubah menjadi seperti goresan tulisan tangan Mao. Perubahan ini sangat drastis: dari goresan kewanitaan berusia 30-an menjadi goresan tegas maskulin berumur 60-an. Ketika Mao meninggal dunia, Jiang Qing menggambarkan dirinya lebih sebagai murid Mao daripada istrinya atau mitra kerjanya. Hubungan Mao-Jiang Qing memang unik. Tahun 40-an, hubungan mereka lebih pada hubungan seksual yang hangat. Tahun 50-an, keduanya sering hidup terpisah karena kondisi emosional Jiang Qing yang tidak stabil. Tahun 60-an, mereka mulai tampak serasi kembali. Keduanya muncul sebagai pasangan hidup yang dewasa. Jiang Qing memenuhi kebutuhan Mao, menciptakan situasi pembangkangan, dan Mao memberi arahan pada usaha Jiang Qing untuk menyerang keadaan status quo dalam kebudayaan. Kepindahan mereka dari Beijing ke Shanghai dan Hangzhou, 1965, Disebut-sebut sebagai pertanda menguatnya pengaruh Jiang Qing pada Mao. Sebelumnya, hanya Jiang Qing yang sering melakukan perjalanan ke kedua tempat tersebut. Dari sana, dalam kerangka revolusi kebudayaan, rencana Jiang Qing menggalang kekuatan -- untuk mengguncangkan birokrat dan menghancurkan semua sistem lama -- semakin jelas. Ia menciptakan sejenis pramuka baru yang militan di bawah kendalinya. Jiang Qing, akhirnya, bukan lagi Jiang Qing si artis cantik di tahun 30-an. Kalau dulu di Shanghai, ia sibuk terseok-seok mempertahankan keyakinannya bahwa wanita tidak seharusnya terkurung oleh kekuasaan lain yang lebih besar, di tahun 60-an, Jiang Qing melangkah dengan sadar tunduk pada sebuah kekuasaan besar, untuk meraih kekuasaan yang lebih besar. Ia tak lagi khawatir dipermainkan seperti dulu. Sandra Hamid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus