NYANYIAN bersemangat dan sedikit sumbang itu terus saja berkumandang. Padahal, hujan tak hentinya mengguyur. Tak ada yang bisa menahan mereka pulang sekarang. Tidak hujan. Tak juga peluru, walaupun peluru telah merenggut tiga kawan Kopral Satu Dahlan. Ini hari terakhir prajurit asal Purwokerto itu bertugas di Timor Timur, dan ia pulang dengan tanda kenaikan pangkat luar biasa di dadanya. Tapi, tak semua prajurit bisa seperti Kopral Satu Dahlan dari Batalyon 303. Tak semua berhasil menyergap, atau bahkan pernah melihat, komandan kompi Fretilin Maukalo. Tak semua bersedia membiarkan musuh ini hidup. Dan ketika lagu mars sudah sayup-sayup, mungkin tak semua yang bertanya. Karena mungkin bertanya bukan yang diutamakan. Bukankah seorang penyair pernah menulis, "Dewa-dewa dan prajurit, keduanya kita puja . . .." Tapi, dewa dan prajurit memang tak bisa tidak mengubah dunianya, walau akhirnya mereka sendiri dituding. Kerajaan yang gemah ripah loh jinawi atau gunung meletus: ini pekerjaan mereka. Dengarlah derap sepatu lars di pagi hari, di jalan-jalan kota Dili. Dengar suara pacul yang menggali -- satu untuk padi di sawah, satu untuk serdadu yang gugur di hutan. Baca nomor "007" di pintu sebuah gubuk di seberang jalan yang dibangun ABRI. Lalu, dengarkan suara mereka yang berbulan-bulan bertempur: "Tidak ada yang lebih menggembirakan daripada pulang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini