KEJUTAN pasar bebas bukan cuma menghasilkan toko-toko kosong, harga barang naik berlipatlipat, antrean makin panjang di toko yang malayani kupon pemerintah, nilai rubel makin merosot, dan berita ancaman kelaparan di seantero Rusia. Tapi juga munculnya wiraswasta baru Rusia yang bisa tertawa renyah mengeruk keuntungan. Salah satunya adalah Leonid Semenov. Pemilik toko yang sudah setahun berusaha itu -- tapi baru memperoleh izin usaha penjualan makanan tiga bulan lalu -- hari-hari ini adalah satu-satunya pengusaha bahan makanan di Jalan Arbat yang punya bertumpuk dagangan. Di balik etalase tokonya yang dipayungi kanopi berwarna merah dan putih itu, tersedia daging babi, salami, telur, mentega, susu, ikan salmon, dan buah-buahan segar. Memang, di pusat keramaian dan toko ini, yang trotoarnya diizinkan menjadi tempat pedagang kaki lima, sejak zaman sosialis, ada juga toko bahan makanan lain. Tapi itu bekas milik pemerintah, dan kini kosong karena tak ada yang dijual. Toko tanpa nama yang tampak lebih mewah dari bangunan di sekitarnya itu menempati sebuah bangunan bertingkat dua milik pemerintah daerah Moskow yang tak terurus, di Jalan Raya Arbat. Ketika pertama kali membuka usaha itu bersama temantemannya, Semenov sudah sadar benar artinya menjadi wiraswasta. Yakni, nasib toko mereka tak berada di tangan pemerintah, melainkan di tangan mereka sendiri. "Makanan yang hilang, pemborosan listrik dan air, serta mesin rusak, menjadi tanggungan kita sendiri," katanya. Maka, begitu diberlakukan pasar bebas, sementara toko makanan pemerintah kosong karena tak ada suplai dari pemerintah lagi, Semenov sudah tahu bagaimana mengadakan barang dan menjualnya. Misalnya, untuk menarik pembeli, lantai dan dinding tokonya senantiasa digosok agar mengkilap. Yang melakukan pekerjaan itu adalah seorang wanita tua yang digaji lebih tinggi ketimbang gaji seorang insinyur pabrik mana pun di Rusia. Menurut Semenov pada wartawan Washington Post, kini ia punya simpanan US$ 300 ribu, hasil dari tokonya selama ini. Semenov, juga para pedagang di Arbat kini, memang berhitung dengan dolar. Sejak diberlakukan pasar bebas, pedagang di Arbat tak lagi takut-takut menerima dolar. Bahkan mereka lebih suka menerima uang hijau itu daripada uang sendiri. Dulu, pembeli yang membayar dengan dolar diminta melipat uang itu hingga tak bisa dikenali dari jauh itu uang apa. Padahal, inilah kawasan resmi yang oleh Kremlin dulu disahkan sebagai tempat penjualan karya seni dan buku bekas, juga suvenir untuk turis. Bukan cuma di Arbat, yang boleh dibilang salah satu tempat cikal-bakal semangat wiraswasta diberi tempat, para Semenov yang lain lahir. Di sebuah tempat lain di Moskow, Vladislav Sedlenek, 28 tahun, memiliki Triza. Ini bukan toko piza, tapi agen penyaluran tenaga kerja. Kantornya di sebuah gedung tua, yang tak pernah sepi oleh dering telepon dari para pencari kerja dan para pencari pekerja. Sedlenek memang agak berbeda dengan Semenov. Ia dulu anggota Komsomol, organisasi pemudanya Partai Komunis Uni Soviet, yang punya banyak rencana bisnis. Anggota yang tak aktif di politik dan mau buka usaha (tentu saja waktu itu statusnya usaha pemerintah) dibantu dengan modal, dan otomatis punya relasi, yakni anggota Komsomol di seluruh Soviet. "Koneksi Komsomol memang menolong saya," tutur Sedlenek pada Asian Wall Street Journal. Maka, dengan modal pinjaman 20.000 rubel pada 1987, ia kini sudah memiliki sembilan cabang di Moskow. Salah satu sumber wiraswasta sukses Rusia kini adalah orang bekas Komsomol. Ada yang membuka bank, ada yang berdagang. Soalnya, itu tadi, koneksi. "Orang yang baru mulai berusaha sekarang ini tentu belum punya jaringan seperti kami," tutur Sedlenek pula. Yang justru dipermasalahkan di Rusia kini, mungkin juga di negara anggota Persemakmuran lain, pencetakan rubel yang dimonopoli Rusia terus berlangsung. Selain untuk membayar pegawai negeri dan membeli barang-barang keperluan pemerintah Rusia, juga untuk disebarkan ke anggota Persemakmuran. Akibatnya sudah jelas, inflasi meningkat. Oktober lalu, nilai tukar dolar untuk turis masih 30-an rubel, akhir Desember menjadi 90 rubel, dan kini sudah lebih dari 100 rubel. Apalagi nanti, bila satuan rubel ribuan jadi dicetak (selama ini satuan rubel terbesar adalah 200 rubel). Ukraina, yang sedang bersitegang mengenai masalah militer dengan Rusia, mencetak kupon-kupon sendiri sebagai alat pembayaran, karena sangsi pada nilai rubel. Sejauh ini belum ada pengamat Persemakmuran yang berani menduga hari depan bekas Uni Soviet ini. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini