Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pergi Meninggalkan Bundelan Sajak
Ia mati muda. Infeksi usus, tifus, dan penyakit paru menggerogoti tubuhnya.
CHAIRIL Anwar sakit parah. Darah mengalir dari mulut dan duburnya. Waktu itu Jumat, 22 April 1949, ia dibawa ke Rumah Sakit Centrale Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ), sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. ”Kami menggotongnya menggunakan selimut,” kata Daoed Joesoef di kediamannya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu akhir Juli lalu.
Seingat Daoed, selain dia ada beberapa orang lain turut menggotong Chairil. Mereka antara lain Abdul Thalib Effendi, Nasjah Djamin, Tino Sidin, Hardiman, dan Sam Soeharto. Mereka semua teman seniman Chairil yang berasal dari Sumatera.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru ini mengatakan mereka membawa Chairil dari rumah kos Sam Soeharto di Jalan Paseban 3G, Salemba, Jakarta Pusat, yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari CBZ. Meski hari sudah beranjak pagi, Jakarta masih gelap. ”Jalanan sunyi,” ujar Daoed. Sesampai di CBZ, Chairil langsung diopname di ruangan kelas tiga.
Itu kedua kalinya Chairil digotong ke CBZ. Sebelumnya, dalam buku Nasjah Djamin, Hari-hari Akhir Si Penyair, 1982, Sam mengatakan pada Kamis, 21 April 1949, pukul setengah sepuluh malam, ia membawa Chairil ke CBZ menggunakan becak. Karena sudah malam, dokter tak bersedia mengobati penyair muda itu dan meminta mereka kembali esok harinya.
”Terpaksa aku menggeret dan memapah Chairil kembali ke rumah,” kata Sam. Malam itu, di bawah guyuran hujan serta angin kencang, dia terpaksa membawa Chairil pulang ke kos-kosannya.
Nasjah dalam buku tersebut menulis, mereka mengetahui Chairil sakit pada akhir Maret 1949. Saat itu Nasjah dan rekan-rekannya di Balai Pustaka mentraktir Chairil di warung dekat Taman Siswa, Jalan Garuda 25, Jakarta Pusat. Chairil hanya memakan dua potong tempe goreng dan mengeluh sakit perut.
Setelah makan, mereka berjalan ke Taman Siswa, tempat Affandi biasa melukis. ”Sorenya, dia buang-buang air besar,” tulis Nasjah. Sejak itu, menurut dia, Chairil berkali-kali buang air besar disertai darah. Esok harinya, Sam, yang melihat Chairil terkulai lemah di Taman Siswa, mengajak sahabatnya itu menginap di rumah kosnya.
Sam dan Chairil berkawan sejak kecil ketika sama-sama di Medan. Keduanya terpisah tatkala Chairil pindah ke Jakarta. Mereka bersua lagi di Sanggar Seniman Indonesia Muda, Jakarta, pada 1947. Setahun berikutnya, Chairil sering menginap di kos-kosan Sam. Dia diusir dari rumah setelah bercerai dengan istrinya, Hapsah Wiraredja.
Sam tinggal di kos-kosan milik Miftah bin Haji Jassin, saudagar keturunan Arab, di Jalan Paseban 3G. Arif Budiman dalam bukunya, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, mengatakan Sam yang belum punya pekerjaan tetap menumpang di rumah ini sejak awal 1949.
Rumah Miftah bertingkat dua dan Sam menempati kamar 4 x 3 meter di lantai atas. Sekarang di sana sudah berdiri bangunan baru, tapi tetap dengan dua lantai, ditempati keturunan Miftah.
Selama tinggal di rumah itu, Sam mendapat jatah makan gratis dua piring nasi sehari. Ketika Chairil ikut menumpang, jatah makan Sam mereka bagi berdua. ”Sam membagi nasinya yang sepiring itu, separuh sekali makan,” tulis Arif.
Sehari berada di rumah sakit, Chairil meminta Hans Bague Jassin mengabarkan keadaannya kepada ibunya, Saleha, di Medan. Jassin menyurati Saleha pada Minggu, 24 April 1949. Sebagaimana diceritakan dalam buku H.B. Jassin: Surat-Surat 1943-1983, dalam surat itu Jassin mengabarkan bahwa Chairil dirawat di CBZ karena penyakit dada. Chairil juga meminta ibunya mengirimkan biaya transportasi karena dia hendak pulang ke Medan untuk berobat. ”Di Jakarta sini, perawatan di CBZ tidak begitu sempurna,” tulis Jassin dalam surat itu.
Penulis buku biografi Chairil Anwar, Hasan Aspahani, mengatakan, jauh sebelum Chairil dirawat di CBZ, ia sudah digerogoti beragam penyakit, seperti sakit paru-paru, tifus, dan infeksi usus. Tapi Chairil tak bisa berobat secara teratur lantaran tidak memiliki uang. ”Ia berkali-kali minta uang untuk biaya suntik,” kata Hasan, Juli lalu.
Cerita Chairil meminta uang untuk berobat juga dikisahkan Nasjah dalam bukunya. Chairil, menurut Nasjah, pernah datang ke Balai Pustaka untuk meminta uang kepada Baharudin Marasutan, rekan Chairil yang menjadi redaktur desain Balai Pustaka. Chairil mengatakan butuh uang untuk biaya berobat karena dokter menganjurkannya disuntik selama satu minggu, tapi ia tak punya uang. Nasjah menduga Baharudin mengetahui penyakit yang diderita Chairil. ”Ia tersenyum ketika melihat sebuah bisul di bagian tengkuk Chairil,” tulis Nasjah.
Tujuh hari terbaring di rumah sakit, Chairil meninggal pukul 02.30 siang, Kamis, 28 April 1949, pada usia 27 tahun. Anaknya, Evawani Alissa, masih belia. Jassin dalam buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 mengatakan Chairil meninggal karena tifus, infeksi, dan usus pecah. Informasi mengenai penyakit Chairil ini dia kutip dari catatan rumah sakit.
Namun dokter yang merawat Chairil tak bersedia memberi penjelasan. Dalam suratnya untuk Boen Sri Oemarjati, dosen sastra Universitas Indonesia, pada 15 Juni 1970, Jassin bercerita bahwa dia menemui dokter Sartono Kertopati dan menanyakan ihwal sakit Chairil. Sartono menjawab itu rahasia jabatan.
Jenazah Chairil baru dikubur keesokan harinya. Menurut Nasjah, ketua pengajian dan agama pegawai CBZ yang mengurus jenazah Chairil, dari memandikan hingga menyalatkan. Setelah itu, Mohammad Said, Ketua Taman Siswa, menyampaikan pidato pelepasan di CBZ.
Jumat pagi esoknya, Hapsah datang ke rumah sakit. Itu pertama kali ia menemui Chairil sejak mereka bercerai. Majalah Siasat edisi 15 Mei 1949 mengulas momen ini dalam rubrik kebudayaan Gelanggang, melalui tulisan ”Tjerita buat Chairil Anwar”.
Diceritakan, Hapsah bersimpuh di dekat jenazah Chairil yang telentang di atas tandu. Tandu itu terletak di pojok lantai kamar mayat rumah sakit. Wajah Chairil belum ditutup kain kafan. Sambil bersimpuh, Hapsah membisikkan doa ke telinga almarhum.
Menjelang siang, jenazah Chairil dibawa ke Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat, menggunakan mobil ambulans hitam milik perusahaan penguburan Verburght. Mobil jenazah ini disewa oleh keluarga perkumpulan Maya, kelompok sandiwara bentukan Usmar Ismail.
Delapan opelet mengiringi jenazah Chairil ke Karet Bivak, memuat para seniman dan murid-murid Taman Siswa. Beberapa lainnya menggunakan sepeda dan delman, seperti Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana. Sutan Sjahrir, paman Chairil, tiba lebih awal.
Daoed Joesoef, yang menghadiri pemakaman ini, mengatakan proses penguburan Chairil berlangsung sekitar satu jam. Tak ada pidato saat penguburan karena Lebai, yang memimpin pemakaman, meminta acara dipercepat. ”Ia buru-buru karena ingin pergi salat Jumat,” kata Daoed. Setelah jenazah Chairil ditimbun tanah, Abdul Thalib Effendy mengumandangkan azan.
Seusai pemakaman, kata Nasjah, Sam mengabarkan warisan Chairil kepada Hapsah. Di antaranya satu ons gula merah, sepasang sepatu dan kaus hitam, selembar uang rupiah, serta satu map berisi bundelan sajak dalam tulisan tangan. Sajak-sajak ini belakangan diterbitkan dalam buku Deru Tjampur Debu serta Kerikil Tadjam dan Jang Terampas dan Jang Putus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo