Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIRAT setinggi 120 sentimeter itu menjulang di tengah Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta Pusat. Bentuknya seperti pena yang terbuat dari marmer berwarna putih. Pada batangnya terukir sepenggal bait sajak: ”Aku ini binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang.”
Nisan tersebut menjadi penanda kuburan Chairil Anwar. Di bagian bawah bait puisi tertera nama ”Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45”.
Daoed Joesoef, seniman yang sezaman dengan Chairil, masih mengingat betul kondisi awal makam sang penyair. Bersama sejumlah seniman lain, ia ikut menguburkan Chairil. ”Waktu itu nisannya dari tangkai kemboja,” kata Daoed, akhir Juli lalu.
Daoed, yang saat itu berkiprah sebagai seniman, mengatakan pelukis Tino Sidin lalu menancapkan tangkai bunga kemboja ke pusara Chairil. Menurut Daoed, Tino mengambil setangkai kemboja dari kuburan lain, setelah jenazah Chairil ditimbun tanah.
Tak ada dokumen yang menggambarkan kondisi kuburan Chairil waktu itu. Yang ada hanya secarik kertas usang di kantor TPU Karet Bivak. Petugas administrasi TPU Karet Bivak, Sri Krisnawati, mengatakan kertas itu disebut kartu kuning, yaitu kartu identitas jenazah saat dimakamkan.
Dari kartu tersebut diketahui pusara Chairil terletak di petak nomor 7827. Sri memperkirakan nomor petak itu menandakan total jenazah yang sudah dikebumikan di TPU Karet Bivak, termasuk si pemilik kartu. Jika betul, Chairil merupakan penghuni Karet Bivak yang ke-7.827 saat itu. ”Kartu ini sudah lama diterbitkan,” kata Sri, Jumat dua pekan lalu. Tapi ia tidak mengetahui secara pasti waktu penerbitannya.
Nomor petak itu tak tertera di kuburan Chairil. Pada prasasti makam Chairil hanya tertulis: ”Di sini berbaring penjair Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45”, disertai waktu kematian.
Menurut catatan administrasi TPU Karet Bivak, pusara Chairil berada di Blok AA1, Blad 35, Nomor Urut 248. Pemerintah DKI Jakarta menerbitkan izin makam Chairil dengan Nomor 00248/1.776.121.101/49. Dua angka di deret terakhir menandakan tahun kematian.
Kuburan Chairil pernah dipugar pada 11 November 1990 dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto. Tanda tangan Wiyogo terukir di dinding marmer pembatas tanah undukan kuburan. Setelah itu, tak pernah lagi ada pemugaran. ”Kuburan ini tetap begini-begini saja selama saya di sini,” kata Andri, yang sudah 13 tahun bertugas membersihkan makam Karet Bivak, Jumat dua pekan lalu.
Pada 2006, pengelola San Diego Hills—permakaman mewah di Karawang, Jawa Barat—meminta izin anak Chairil, Evawani Alissa, untuk memindahkan kuburan Chairil ke San Diego. Eva menolaknya. ”Karena sudah wasiat agar dikubur di Karet,” katanya di rumahnya di Bekasi, Sabtu akhir Juli lalu.
Eva berpegang pada penggalan sajak Chairil yang berbunyi: ”di Karet, di Karet (daerahku j.a.d) sampai djuga deru dingin”. J.a.d adalah singkatan dari ”jang akan datang”.
Penulis biografi Chairil Anwar, Hasan Aspahani, mengatakan puisi tentang Karet merupakan persembahan Chairil untuk Sumirat, gadis asal Surabaya yang dicintai Chairil. ”Puisi itu dimuat di majalah Karya terbitan Mei 1949,” kata Hasan. Judulnya ”Buat Mirat”. Tapi kemudian, ketika diterbitkan di media lain, judulnya berganti menjadi ”Yang Terampas dan Yang Putus”. Chairil menulis puisi ini pada 1949, beberapa bulan sebelum ajal menjemputnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo