Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bersiap Kembali Berwisata Sejarah

Animo sebagian masyarakat untuk mengikuti wisata sejarah dan berkunjung ke museum mulai kembali bergeliat. Sejumlah pegiat tur ke tempat-tempat bersejarah mulai mendapat permintaan agar kembali mengadakan kegiatan.

24 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kegiatan Komunitas Malam Museum dan Jogja Walking Tour di sejumlah lokasi bersejarah di Yogyakarta. Dok Instagram/Malamuseum/Jogja Walking Tour

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komunitas Malam Museum tetap bergerak di tengah situasi pandemi dengan protokol kesehatan ketat.

  • Mereka tidak ke museum, tapi mengadakan tur ke tempat bersejarah di luar ruang.

  • Komunitas Sahabat Museum berfokus pada konten digital selama masa pandemi.

ERWIN Djunaedi sempat ragu ketika hendak memulai kembali Jogja Walking Tour pada masa pandemi. Pasalnya, setiap kali ia bersama komunitasnya mengadakan kegiatan jalan-jalan ke tempat bersejarah di Yogyakarta, pesertanya selalu membeludak. Pada masa awal pandemi, aktivitas itu sempat terhenti berbulan-bulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Belakangan, permintaan agar kami mengadakan kembali Jogja Walking Tour terus berdatangan,” ujar Erwin, penggagas tur itu sekaligus pendiri Komunitas Malam Museum, Kamis lalu. Setelah meminta saran dari ahli kesehatan, barulah Erwin dan kawan-kawan kembali mengadakan Jogja Walking Tour pada akhir 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Acara yang digelar setiap Sabtu dan Ahad itu menerapkan protokol kesehatan ketat, dengan pembatasan jumlah dan asal peserta serta berlokasi di luar ruang. Lokasi acara ini berpindah-pindah, dari kawasan Malioboro, Kampung Kauman, Pakualaman, Kampung Pecinan Ketandan, hingga area Alun-alun Keraton Yogyakarta. “Selama masa pandemi, acara ini hanya diikuti orang-orang Yogya,” kata Erwin. Jumlah peserta dibatasi, dari puluhan menjadi hanya belasan orang.

Erwin juga terus memantau situasi. Ketika terjadi lonjakan jumlah kasus Covid-19 seperti pada pertengahan 2021, kegiatan ini disetop. Namun, akhir-akhir ini, kegawatan situasi pandemi di Yogyakarta dan daerah lain mulai menurun serta angka penularan Covid-19 melandai. Jadi, ada harapan untuk mereka kembali bergerak. 

Kegiatan Komunitas Malam Museum dan Jogja Walking Tour di sejumlah lokasi bersejarah di Yogyakarta. Dok. IG Malamuseum/Jogja Walking Tour

Acara ini digemari dan dinanti-nanti masyarakat, terutama penggemar sejarah, karena biayanya terhitung murah. “Peserta membayar serelanya alias pay as you wish.” Lalu, selama jalan-jalan pun, ada pemandu yang memberikan informasi seputar sejarah dan bercerita tentang lokasi yang didatangi.

Program Jogja Walking Tour menjadi andalan Komunitas Malam Museum agar tetap eksis pada masa pandemi. Mereka tak lagi bisa mengadakan kegiatan rutin lainnya. Padahal, di luar jalan-jalan ke lokasi bersejarah, komunitas yang berdiri sejak sembilan tahun lalu ini punya berbagai program yang berkaitan erat dengan museum, konservasi sejarah, dan cagar budaya.

Pada masa normal, Erwin bercerita, mereka rutin menggelar acara di berbagai museum di daerah istimewa itu. Seperti namanya, kegiatan rutin mereka adalah pertunjukan seni, diskusi, dan menonton film bareng di museum pada malam hari. Malam Museum juga punya kegiatan edukatif, seperti kelas heritage, konservasi, dan aneka riset kesejarahan. “Tapi, karena pada masa pandemi semua museum tutup, aneka kegiatan itu pun terhenti.”

Program Jogja Walking Tour, kata Erwin, merupakan hasil dari pengembangan program kelas heritage yang diikuti para volunteer dari kalangan mahasiswa dan peminat sejarah. Di kelas ini, mereka biasanya melakukan riset sejarah di sejumlah lokasi di Yogyakarta. Sekali kegiatan, durasinya bisa 1-2 bulan. “Lewat program ini, kami menggali sejarah suatu tempat.” Nah, hasil riset itulah yang kemudian dijadikan bahan untuk wisata sejarah bagi kalangan umum.

Tema-tema yang diangkat dalam aneka program Komunitas Malam Museum bukan hanya sejarah perjuangan bangsa, melainkan juga tema-tema kepurbakalaan dan budaya. Karena itu, salah satu rute Jogja Walking Tour adalah ke Candi Sambisari dan kawasan Situs Pleret. “Tujuan kami memang ingin menghadirkan dan mempopulerkan sejarah bagi semua kalangan,” kata Erwin.

Pendiri Komunitas Malam Museum dan Jogja Walking Tour, Erwin Djunaedi. Dok. Pribadi

Komunitas yang dibentuk Erwin pada 2012 ini bermula dari proyek kreativitas mahasiswa sewaktu ia berkuliah di Universitas Gadjah Mada. “Dulu kami mendapat pendanaan dari Kementerian Pendidikan.” Ketika program itu selesai, Erwin tetap meneruskan Komunitas Malam Museum dan mengembangkannya dengan melibatkan mahasiswa serta peminat sejarah. “Tidak mesti dari mahasiswa jurusan sejarah atau arkeologi.”

Sampai sekarang, menurut Erwin, Malam Museum sudah menjaring seratusan relawan yang mengikuti berbagai kegiatan. “Sekarang ada sekitar 50 orang yang masih aktif.” Kegiatan rekrutmen relawan baru juga belum bisa dijalankan selama masa pandemi.

Bermula dari komunitas nirlaba, Erwin tengah mencoba agar acara ini bisa menghasilkan. “Proyek pertama kami adalah mencari dana untuk menopang Malam Museum, ya, lewat Jogja Walking Tour itu.” Erwin berencana mengembangkan program lain yang bisa melibatkan lebih banyak kalangan, seperti edukasi sejarah khusus untuk anak-anak atau keluarga. Jika situasi pandemi semakin baik, Erwin berharap bisa kembali mengadakan aneka kegiatan ini secara penuh.

***

Sikap berbeda justru dipilih Ade Purnama, pendiri Komunitas Sahabat Museum, yang biasanya rutin menggelar acara wisata sejarah. Sejak masa awal pandemi hingga kini, Sahabat Museum vakum berkegiatan. “Kami cukup bahagia melihat situasi pandemi saat ini mulai membaik. Pembatasan kegiatan masyarakat juga terus dilonggarkan. Tapi kami masih berhati-hati dan benar-benar memantau situasi sebelum kembali membuat acara,” kata Ade kepada Tempo, Kamis lalu.

Anggota Sahabat Museum menunjukkan Peta Jalur Perang (World War II di Banten, 1943-1945) di Banten. Dok Instagram/SahabatMuseum

Sahabat Museum, yang berdiri sejak 2002, sudah ratusan kali membuat wisata sejarah yang diberi nama Plesiran Tempo Dulu. Dimulai dari daerah di sekitar Jakarta, Plesiran Tempo Dulu akhirnya berkembang menjadi wisata sejarah ke berbagai lokasi di seluruh Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri.

Nah, kata Ade, mereka seharusnya mengadakan acara besar-besaran pada 2020. Tahun lalu, selain bertepatan dengan usia kemerdekaan RI ke-75, menandakan 75 tahun berakhirnya Perang Dunia II. Tadinya Ade sudah merancang konsep Tur Tempo Dulu di sejumlah lokasi di Tanah Air sampai ke Pantai Normandia di Prancis, juga Australia. “Tapi keburu ada pandemi, jadi batal.”

Permintaan untuk mengadakan Plesiran Tempo Dulu juga bukannya menghilang. Justru, kata Ade, sudah banyak peserta setia yang menagih acara ini diadakan lagi. Bahkan Ade sudah menyiapkan 10-15 konsep acara pelesiran. Karena tingginya permintaan, pada pertengahan 2021 Ade sempat hendak membuat acara. Tapi lagi-lagi batal akibat munculnya varian baru Covid-19, disusul meningkatnya angka kasus penularan.

Alasan lain Ade memilih memvakumkan Tur Tempo Dulu adalah soal kenyamanan. “Jalan-jalan pakai masker itu enggak nyaman, lho,” kata dia. Karena itu, ia tak mau ikut euforia masyarakat luas yang mulai kembali berwisata ketika kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat sudah diturunkan ke level 2. “Santai saja dulu.”

Pendiri Komunitas Sahabat Museum, Ade Purnama. Dok Instagram/Sahabat Museum

Toh, walau vakum, Sahabat Museum tetap aktif di media sosial. Ade berupaya menjaga agar Sahabat Museum tetap hidup dengan sering mengunggah foto-foto dokumentasi Plesiran Tempo Dulu di akun Instagram @batmus_sahabatmuseum. Mereka juga menjual merchandise bertema sejarah.  

Sebetulnya, kata Ade, Sahabat Museum juga sempat hendak mencoba mengadakan konsep jalan-jalan virtual seperti yang banyak dilakukan museum atau komunitas lain. Namun, pada masa vakum kegiatan ini, Ade justru mendapat kesempatan untuk kembali menengok arsip-arsip yang ia kumpulkan sejak 20 tahun lalu.

“Saya sekarang lagi berfokus merapikan arsip-arsip dan kembali menggali bahan dokumentasi,” kata Ade. Ia berencana membangun semacam pusat dokumentasi sejarah dan mengolah aneka arsip untuk dijadikan konten digital. Hal ini dilakukan untuk menyediakan sumber edukasi sejarah yang benar. “Pada era media sosial ini, semakin banyak konten yang berkaitan dengan sejarah yang isinya keliru,” Ade menjelaskan.

Nah, lewat pusat dokumentasi yang sedang ia rancang, Sahabat Museum nantinya juga bisa menjadi sumber informasi sekaligus menjadi upaya melawan hoaks sejarah yang banyak bertebaran. “Selama kondisi belum kembali normal, saya berfokus di sini dulu. Nanti, kalau pandemi selesai, barulah Sahabat Museum gaspol lagi.”

***

Bagi komunitas lain, museum dan tempat bersejarah bukan sekadar untuk tujuan wisata. Komunitas Asian African Reading Club di Bandung, misalnya, memanfaatkan lokasi museum untuk mengadakan kegiatan rutin seperti bedah buku dan diskusi. 

Wisatawan mengunjungi Museum Konferensi Asia-Afrika, Bandung, Jawa Barat, 21 Oktober 2021. TEMPO/Prima Mulia

Tiap Rabu sore, Hermawan Wahyudin, sekretaris jenderal komunitas itu, bersama beberapa rekannya rutin menggelar acara membaca buku bareng dan mengulasnya. Pertemuan selama dua jam itu biasanya berlangsung di ruangan dalam Museum Konferensi Asia-Afrika (KAA), Bandung. Ada buku-buku tentang para tokoh dan sejarah gerakan non-blok itu pada 1955, puisi, dan karya sastra lainnya.

Sesekali mereka meriung di luar ruangan seberang museum untuk menarik minat orang yang lewat agar bergabung. Diskusi santai di trotoar itu biasanya diakhiri dengan santapan bacang panas yang gerobaknya mangkal di Jalan Braga pendek.

Kegiatan Komunitas Sahabat Museum yang berdiri pada 15 Agustus 2009 itu baru-baru ini kembali ke habitatnya. Semasa pandemi Covid-19, sejak April 2020, mereka menggelar acara daring. Setelah larangan agak kendur, sekitar 5-10 orang berdiskusi hangat di kedai di Perpustakaan Ajip Rosidi di Jalan Garut, Kota Bandung.

“Sekarang hybrid masih jalan, tapi kurang enak euy diskusinya,” kata Hermawan, yang juga pemusik balada, Rabu, 20 Oktober 2021. Ia berencana menormalkan kembali kegiatan di museum dengan batasan 5-10 orang. 

Selain dalam kelompok kecil, klub baca itu mengundang beberapa penulis dan pegiat literasi di Bandung, seperti Hawe Setiawan, Syarif Maulana, dan Atep Kurnia. Kadang tamu tak diundang pun datang secara mengagetkan.

“Pernah dulu diskusi buku Di Bawah Bendera Revolusi, orang dari Kedubes Amerika Serikat datang tanya-tanya,” kata Hermawan. Acara terus berlanjut, sementara urusan diplomasinya ditangani staf museum yang dinaungi Kementerian Luar Negeri. 

PRAGA UTAMA | ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Praga Utama

Praga Utama

Bergabung dengan Tempo sejak 2011 sebagai periset foto dan beralih menjadi reporter pada 2012. Berpengalaman meliput isu ekonomi, otomotif, dan gaya hidup. Peraih penghargaan penulis terbaik Kementerian Pariwisata 2016 dan pemenang lomba karya tulis disabilitas Lembaga Pers Dr Soetomo 2021. Sejak 2021 menjadi editor rubrik Ekonomi Bisnis Koran Tempo.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus