Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LUKAS Deni Setiawan meneliti penggunaan sumber anonim di Tempo untuk menyelesaikan program pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Gadjah Mada pada 2014. Ia mengamati rubrik Laporan Utama terbitan Januari 2011 hingga Oktober 2013, khusus yang berkaitan dengan aneka skandal korupsi.
Temuannya cukup membuat kami terperanjat. Ia menghitung ada 70 Laporan Utama, dengan 268 tulisan, yang berkaitan dengan kasus korupsi pada periode itu. Dari keseluruhan berita, menurut penelitian Deni, Tempo menggunakan 1.926 narasumber, 36,5 persen di antaranya anonim. Proporsi antara sumber anonim yang menggunakan atribut jelas dan tanpa atribut jelas kurang-lebih sama.
Kami, yang mengusung jurnalisme investigatif, memang tidak pernah mengharamkan penggunaan sumber anonim. Teknik menyembunyikan identitas pemberi informasi ini telah banyak menghasilkan liputan yang membongkar berbagai kecurangan. Pada prinsipnya, identitas narasumber tidak dipublikasikan untuk melindungi mereka dari ancaman atas keselamatan atau pekerjaan mereka. Kita tahu, pelaku kejahatan kelas kakap umumnya adalah orang yang memiliki kuasa.
Pada saat yang sama, penggunaan narasumber anonim yang terlalu masif seperti temuan Lukas Deni bisa menimbulkan masalah, terutama pada tingkat kepercayaan pembaca. Karena itu, kami segera membuat acuan lebih jelas setelah hasil penelitian tersebut dipresentasikan di kantor redaksi Tempo. Untuk keperluan ini, kami mengundang sejumlah pakar dan praktisi media, termasuk reporter dari New York Times dan Wall Street Journal.
Hasilnya adalah pedoman tertulis untuk pengutipan narasumber anonim, yang sebenarnya telah banyak kami praktekkan. Intinya, penggunaan narasumber tanpa identitas jelas hanya diperbolehkan jika tidak ada cara lain untuk memperoleh informasi yang sebanding. Sumber anonim hanya bisa dipakai untuk berita yang bersifat investigatif, mengandung kepentingan publik besar, atau untuk mematuhi kode etik jurnalistik—misalnya melindungi korban kekerasan seksual.
Kami juga mensyaratkan narasumber anonim adalah mereka yang bisa dipercaya dan berada dalam posisi memiliki informasi akurat. Informasi sang narasumber hanya boleh dikutip jika berisi fakta, bukan pendapat atau opini pribadi. Syarat itu masih kami tambah: narasumber anonim hanya bisa digunakan dengan persetujuan editor masing-masing.
Dalam investigasi, informasi dari sumber anonim sebenarnya selalu kami cek silang ke sumber lain dari kelompok yang berbeda-beda. Proses ini kami lakukan untuk memastikan bagian mana yang terkonfirmasi kebenarannya—dan karena itu bisa dipublikasikan—serta bagian mana yang harus kami singkirkan.
Proses itu memerlukan waktu. Sering kami menggunakan perangkat tambahan, seperti kamera tersembunyi yang kami pakai untuk melakukan verifikasi informasi awal adanya fasilitas khusus narapidana Artalyta Suryani di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, pada 2009. Pada waktu lain, kami menggunakan gantole untuk mengambil gambar dalam pembuktian vila-vila yang diduga ilegal di kawasan Puncak milik para petinggi negeri.
Teknik yang lazim kami pakai untuk menguji kebenaran informasi dari narasumber anonim adalah meminta mereka merinci bagian-bagian tertentu. Informasi ini bisa dipakai untuk mengukur konsistensi sekaligus mengeceknya ke narasumber lain yang mungkin memiliki data yang sama.
Cara itu sebenarnya juga kami pakai untuk menguji informasi dari narasumber yang bersedia disebutkan identitasnya. Ketika menerima informasi adanya pertemuan untuk memuluskan korupsi proyek Hambalang dari Muhammad Nazaruddin, kami meminta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu menggambar denah tempatnya. Ia kami minta menjelaskan detail ruang, denah kursi, posisi peserta pertemuan, warna perabot, juga menu yang dipesan. Data detail ini bisa dicek ke tempat yang disebutkan.
Pembaca yang budiman, narasumber merupakan bagian terpenting dalam pekerjaan jurnalistik. Merekalah yang membukakan ruang-ruang gelap, yang sering kali ditutup rapat, untuk sebuah tulisan investigatif. Seperti sebelas liputan yang kami tampilkan pada edisi ini, sebagai bagian dari cara kami merayakan 45 tahun terbitnya majalah Tempo.
Sebelas liputan ini kami pilih dari edisi-edisi setelah Tempo terbit kembali pada 1998. Tak semuanya merupakan laporan utama. Topiknya kami tentukan berdasarkan dampak yang muncul setelah tulisan diterbitkan, keragaman dan kesulitan pengerjaan, serta variasi isu. Sejumlah liputan dengan dampak besar, sebut saja investigasi kasus pajak Asian Agri, tidak kami tulis kembali karena sudah diterbitkan dalam buku berjudul Saksi Kunci.
Sebagian besar liputan itu berawal dari informasi dari narasumber tersembunyi. Identitas beberapa di antaranya kami buka atas persetujuan mereka. Sebagian lain liputan dihasilkan dari perencanaan yang matang, misalnya ketika kami memutuskan menelusuri isu sensitif: pembantaian terhadap kelompok masyarakat yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia pada 1965.
Bagi kami, liputan investigatif memiliki dua fungsi strategis. Pertama, pendekatan ini masih sangat diperlukan mengingat praktek korupsi tak juga kunjung berkurang. Kecurangan itu antara lain membuat harga obat menjadi lebih mahal, biaya sekolah tinggi, harga bahan kebutuhan pokok melambung, juga peradilan yang tak efisien. Dengan investigasi, sebagian kejahatan yang merugikan masyarakat bisa diungkap.
Fungsi kedua, liputan investigatif menyediakan informasi yang jauh lebih akurat bagi publik. Di tengah banjirnya "informasi"—yang kebanyakan belum terverifikasi—masyarakat bisa tersesat ketika harus mengambil keputusan. Kami percaya, pendekatan investigatif menjadi lebih bermakna pada saat ini.
Tatkala perkembangan teknologi bergerak cepat, hasil liputan investigasi kini tidak melulu berujung pada produk media cetak. Kami mempublikasikannya dalam berbagai platform, baik majalah digital, koran digital, maupun situs Tempo.co.
Paduan antara liputan investigatif yang menyediakan informasi akurat dan kemampuan menyesuaikan zaman ini kami harapkan bermanfaat bagi masyarakat. Sekaligus, kami bisa melawan pesimisme pada sebagian kelompok yang menganggap "jurnalisme mainstream" akan segera mati ditinggalkan generasi baru yang lebih akrab dengan media sosial.
Edisi Khusus Pemimpin Proyek: Philipus Parera | Editor: Arif Zulkifli, Budi Setyarso, Bagja Hidayat, Jajang Jamaludin, M. Taufiqurohman, Kurniawan, Purwanto Setiadi, Philipus Parera, Setri Yasra, Seno Joko Suyono, Wahyu Dyatmika | Penulis: Anton Aprianto, Agus Supriyanto, Agoeng Wijaya, Angga Sukmawijaya, Budi Setyarso, Dian Yuliastuti, Erwan Hermawan, Gadi Kurniawan Makitan, Gustidha Budiartie, I Wayan Agus Purnomo, Linda Novi Trianita, Muhamad Rizki, Mustafa Silalahi, Pramono, Rusman Paraqbueq, Retno Sulistyowati, Sundyantoro, Syailendra Persada | Penyumbang Bahan: Arihta U. Surbakti, M. Sidik Permana (Bogor), Kukuh S Wibowo (Jombang), Johanes Seo (Kupang), Hari Tri Wasono (Kediri), Edwin Fajerial (Surabaya), Ahmad Rafiq (Solo), Sujatmiko (Tuban), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta) | Riset: Evan Koesoemah | Bahasa: Uu Suhardi, Iyan Bastian, Sapto nugroho | Foto: Ijar Karim, Ratih P N, Jati Mahatmaji | Desain: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Kendra Paramita, Tri Watno Widodo | Digital Imaging: Hindrawan |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo