Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Nama Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan muncul dalam Pandora Papers.
Bocoran dokumen ini memuat aset dan transaksi finansial di negara bebas pajak.
Ada beberapa nama lain. Siapa saja?
DELAPAN dokumen terpencar di antara 11,9 juta arsip Pandora Papers. Setiap arsip setebal hampir seratus halaman. Arsip itu memuat korespondensi dan daftar klien Trident Trust—perusahaan finansial yang berkantor di sejumlah negara suaka pajak seperti British Virgin Islands dan Panama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara ratusan klien itu, tertera nama Airlangga Hartarto dan Gautama Hartarto. Kakak-adik itu tercatat memiliki perusahaan cangkang di British Virgin Islands, yurisdiksi bebas pajak di kawasan Karibia. Airlangga mempunyai dua perusahaan bernama Buckley Development Corporation dan Smart Property Holdings Limited. Adapun perusahaan Gautama satu, Ageless Limited.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua dari kiri) saat kunjungan kerja di Sidowayah, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah,24 September 2021. ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Dokumen Pandora Papers berisi bocoran data finansial dari 14 agen perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Konsorsium Internasional Jurnalis Investigatif atau International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ) memperoleh bocoran data berukuran hampir 3 terabita itu dari sumber anonim. Bersama 600-an jurnalis dari 150 media di 117 negara, Tempo menjadi satu-satunya media di Indonesia yang terlibat dalam proyek kolaborasi Pandora Papers.
Dalam dokumen yang dilihat Tempo, Airlangga dan Gautama, anak bekas Menteri Perindustrian, Hartarto Sastrosoenarto, disebut mendirikan perusahaan cangkang sebagai kendaraan investasi serta untuk mengurus dana perwalian dan asuransi. Arsip itu menyebutkan perlu dilakukan uji tuntas (due diligence) terhadap aktivitas perusahaan mereka.
Profil Buckley Development bahkan diberi warna merah. Perusahaan ini disebut perlu melengkapi informasi jumlah dan nilai aset yang dimiliki serta tujuan pendirian perusahaan. Dalam lampiran surat elektronik dokumen bertarikh Oktober 2016, anggota staf Trident menyebutkan perusahaan yang berlabel merah dinyatakan sudah tutup lapak.
Airlangga, kini Menteri Koordinator Perekonomian, mengklaim tidak mengetahui pendirian Buckley Development dan Smart Property. Ia pun membantah jika dikatakan berniat mencairkan polis asuransi melalui dua korporasi tersebut. “Tidak ada transaksi itu,” kata Airlangga dalam wawancara khusus dengan Tempo, 31 Agustus lalu.
Ketua Umum Partai Golkar itu tak pernah mencantumkan keberadaan Buckley Development dan Smart Property dalam laporan harta kekayaan. Ia hanya mengungkapkan aset tanah, kendaraan, surat berharga, dan giro dalam laporan 2014, empat tahun setelah mendirikan perusahaan cangkang pertamanya di British Virgin Islands.
Adapun Gautama sempat menjelaskan kepemilikan Ageless melalui pesan WhatsApp yang dikirim pada Rabu, 29 September lalu. Namun ia menghapus sebagian besar jawaban tersebut. Presiden Direktur PT Polychem Indonesia Tbk ini beralasan, ia bukan pejabat publik. “Ada puluhan ribu orang Indonesia yang memiliki perusahaan cangkang,” ujar Gautama.
Kepada ICIJ, juru bicara Trident menjelaskan bahwa perusahaan itu berusaha memenuhi semua regulasi yang berlaku dalam menjalankan bisnis perwalian dan memberikan layanan korporat. Trident mengaku selalu kooperatif dengan otoritas terkait yang meminta informasi kepada perusahaan dan tak pernah mendiskusikan kliennya dengan media.
Pandora Papers menguak aset rahasia, kesepakatan bisnis, dan kekayaan tersembunyi dari para pejabat dan miliarder, termasuk 30 pemimpin dunia. Dokumen itu juga menampilkan data wali kota, narapidana, megabintang sepak bola, hingga pesohor yang ditengarai mendirikan perusahaan cangkang di negeri bebas pajak.
Pendirian perusahaan di negara suaka pajak belum tentu mengindikasikan pelanggaran. Banyak pebisnis menggunakannya untuk urusan legal. Namun Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menerangkan, perusahaan cangkang dapat dipakai untuk menghindari pajak dalam bisnis yang sah. “Terjadi praktik base erosion and profit shifting yang dapat mengurangi penerimaan negara dari sektor pajak,” tutur Suryo.
Pejabat lain yang tercatat dalam Pandora Papers adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurut notula rapat yang dibaca Tempo, Luhut Pandjaitan menghadiri rapat direksi perusahaan bernama Petrocapital SA, yang terdaftar di Republik Panama. Luhut tercatat hadir langsung dalam beberapa kali rapat yang berlangsung selama 2007-2010.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, 27 September 2021. ANTARA/Reno Esnir
Luhut pertama kali ditunjuk menjadi Presiden Direktur Petrocapital dalam rapat yang digelar pada 19 Maret 2007. Ia dipilih bersama dua orang lain dan berkantor di Guayaquil—400 kilometer sisi barat daya ibu kota Ekuador, Quito. Pertemuan itu juga mengesahkan perubahan nama perusahaan dari Petrostar International SA menjadi Petrostar-Pertamina International SA.
Dalam dokumen setebal 17 halaman disebutkan perusahaan yang baru berganti nama itu ditugasi memproduksi sekaligus mengangkut produk minyak bumi. Petrostar juga diperintahkan melakukan ekspor-impor. Namun perusahaan itu hanya berumur tiga tahun. Dalam rapat pemegang saham luar biasa yang diselenggarakan pada Juli 2010, dewan direksi membubarkan perusahaan.
Juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, mengkonfirmasi kabar bahwa Petrocapital dibentuk di Republik Panama. Ketika perusahaan minyak dan gas itu didirikan pada 2006, modal awal yang disetor sebesar US$ 5 juta—setara dengan Rp 71,5 miliar menggunakan kurs saat ini. Perusahaan itu dibuat untuk mengembangkan bisnis di luar negeri, khususnya di wilayah Amerika Tengah dan Selatan.
Menurut Jodi, Luhut hanya menjabat eksekutif Petrocapital selama tiga tahun sejak 2007. Ketika Luhut memimpin, perusahaan tersebut gagal memperoleh proyek eksplorasi migas yang layak. Jodi membantah kabar bahwa Luhut berkongsi dengan perusahaan minyak milik pemerintah Indonesia dan mengubah nama perusahaan.
“Ada berbagai kendala terkait dengan kondisi geografis, budaya, dan kepastian investasi sehingga Pak Luhut memutuskan mundur dan berfokus pada bisnis yang ada di Indonesia,” ujar Jodi.
Nama Luhut juga tercantum dalam berkas Panama Papers, dokumen firma hukum Mossack Fonseca yang bocor lima tahun lalu. Ia disebut sebagai Direktur Mayfair International Ltd, perusahaan cangkang di Republik Seychelles, negara suaka pajak di Afrika. Kepada Tempo pada April 2016, Luhut membantah informasi bahwa ia mendirikan Mayfair. Ia mengaku tak pernah mendengar nama itu.
Dokumen Pandora Papers juga memuat nama pebisnis nasional yang mendirikan perusahaan cangkang di negara suaka pajak. Salah satunya Edward Seky Soeryadjaya. Ia tercatat menjadi pemilik Ortus Holdings Limited yang berkantor di British Virgin Islands.
Fransiska Kumalawati Susilo, istri Edward Soeryadjaya yang dinikahi di Amerika Serikat, mengatakan Ortus didirikan pada sekitar 2010. Ada beberapa perusahaan lain yang juga dibuat anak pendiri Astra Group, William Soeryadjaya, itu di sejumlah negara suaka pajak. “Tujuan utamanya adalah menghindari pembayaran pajak,” ucap Fransiska.
Terdakwa Edward Soeryadjaya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Januari 2019. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Menurut Fransiska, ongkos pendirian perusahaan cangkang tak mahal. Ia pernah mengurus pembuatan perusahaan dari Singapura dengan modal Sin$ 3.000 atau sekitar Rp 30 juta. Setelah perusahaan berdiri, pemilik hanya membayar biaya tahunan sekitar US$ 100 kepada agen jasa finansial. Di negara suaka pajak, perusahaan cuma memiliki semacam kotak pos untuk menerima surat.
Edward awalnya mendirikan Ortus untuk menggarap proyek eksplorasi migas. Salah satunya Blok Lemang di Sumatera Selatan. Perusahaan itu juga terlibat dalam proyek Jakarta Monorail yang sekarang masih mangkrak. “Tak ada bisnis Ortus yang berhasil dengan baik,” kata Fransiska.
Melalui bendera PT Sugih Energy Tbk, yang sahamnya juga dimiliki Ortus, Edward merambah pasar saham. Dalam bisnis inilah Edward tersandung. Ia kini mendekam di penjara setelah divonis 12 tahun 6 bulan bui dalam skandal korupsi pengelolaan duit dana pensiun Pertamina.
Pada 15 September lalu, Edward juga ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus rasuah PT Asabri. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan kasus itu bermula dari rapat antara Edward dan pejabat Asabri pada 2012. Pertemuan itu membahas penjualan saham PT Sugih.
Setelah pertemuan itu, Edward meminta bantuan Betty, komisaris PT Millenium Danatama Sekuritas, untuk menjual saham PT Sugih. Edward disebut bersedia memberikan imbalan dua kali lipat dari setiap lembar saham yang bisa diperdagangkan. Betty diduga menggoreng harga saham lewat transaksi di antara orang-orang sendiri.
Siasat itu berhasil melambungkan harga saham PT Sugih. Betty lantas menjual saham perusahaan Edward itu kepada Asabri. Atas jasanya, Betty diberi Edward 250 juta lembar saham PT Sugih. “Harga saham PT Sugih turun drastis karena bukan saham yang likuid dan memiliki fundamental yang baik,” tutur Leonard.
Pengacara Edward dalam kasus korupsi dana pensiun Pertamina, Bambang Hartono, mengaku pernah mendengar kabar tentang perusahaan Edward yang berdiri di luar negeri, antara lain Ortus Holding. “Tapi perusahaan itu tak pernah disebut dalam kasus dana pensiun Pertamina,” ucap Bambang.
Selain Edward, nama keluarga Ciputra tercatat dalam Pandora Papers. Keluarga pengusaha properti itu terdaftar memiliki perusahaan di British Virgin Islands. Nama perusahaan adalah Louve Landing Investments Incorporated dan Great Oriental Holdings Limited. Dalam dokumen Pandora Papers, aktivitas bisnis Louve terlacak sejak 1998.
Selama 18 tahun perusahaan itu aktif beraktivitas bisnis, antara lain bertransaksi jual-beli saham dan membagikan dividen kepada pemegang saham. Kegiatan finansial Louve terakhir terpantau pada Juli 2016. Melalui seorang pengacara perempuan yang berkantor di Jalan Pejompongan, Jakarta Pusat, perusahaan itu membuka rekening di salah satu bank swasta di Indonesia.
Jejak Great Oriental lebih lama. Beroperasi sejak 1994, perusahaan itu aktif memperdagangkan sahamnya selama dua dekade. Salah satunya transaksi bertarikh 13 Juni 2002, saat korporasi itu melepas lebih dari 73 ribu lembar saham. Dalam catatan yang dibaca Tempo, aksi korporasi itu diurus Harun Hajadi, kini Direktur Utama Ciputra Development.
Harun mengatakan tanggapan dari Ciputra Group akan dikirim oleh Sekretaris Perusahaan Tulus Santoso. Namun hingga Sabtu, 2 Oktober lalu, Tulus tak merespons surat wawancara yang dilayangkan ke nomor telepon pribadi dan alamat surat elektroniknya. Ketika keluarga Ciputra disebut memiliki perusahaan cangkang dalam Panama Papers lima tahun lalu, Tulus membantahnya. “Saya kira tidak ada perusahaan itu,” katanya.
Ihwal bocoran Pandora Papers, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan pemerintah berupaya meningkatkan kerja sama internasional untuk menghambat pendirian perusahaan di negara suaka pajak. Kementerian telah menjadi anggota Joint International Taskforce on Shared Intelligence and Collaboration yang membagikan informasi tentang modus penyelewengan dalam skema perpajakan internasional. “Kami tak segan mengambil langkah hukum terhadap perusahaan yang sengaja mengalihkan laba melalui perusahaan cangkang,” ujar Suryo.
HUSSEIN ABRI DONGORAN, ANDITA RAHMa
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo