Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dana Gelap Lumbung Beringin

Skandal kucuran dana Rp 90 miliar dari Bulog bisa membenamkan Partai Gokar. Tapi, bukti keras sulit didapat.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DANA Badan Urusan Logistik (Bulog) selalu mencari mangsa. Baru saja Presiden Abdurrahman Wahid nyaris di-tenggelamkan pusaran uang Rp 35 miliar Yayasan Bulog. Setelah itu, kini giliran Partai Golkar yang diterjang arus baliknya.

Adalah Menteri Pertahanan Moh. Mahfud M.D. yang mengembuskan kasus ini pertama kali. Pada sebuah diskusi di Kendari, Sabtu dua pekan lalu, pembantu dekat Presiden ini berkata, "Catat ini, Golkar menerima uang Rp 90 miliar dari Bulog pada Pemilu 1999." Info ini, katanya lagi, diperoleh dari Menteri Koordinator Perekonomian/Kepala Bulog Rizal Ramli pada sidang kabinet 1 Februari kemarin—persis di hari ketika dewan memvonis keterlibatan Presiden Abdurrahman dalam skandal Bulog. Soal ini dibenarkan seorang mantan petinggi badan penyangga itu. Cuma, ketika itu Rizal minta supaya tak diungkap ke luar. Saat dimintai konfirmasi, Menteri Rizal menolak memberi penjelasan secara terbuka.

Data yang diperoleh TEMPO menggambarkan bagaimana dana itu ditarik (lihat tabel). Di luar dana Rp 71 miliar yang tertera, sebenarnya masih ada pengeluaran serupa sekitar Rp 19 miliar lagi. Jadi, total jenderal ada Rp 90 miliar duit yang keluar. Seluruh penarikan dilakukan atas perintah Rahardi Ramelan, Kepala Bulog ketika itu (26 Agustus 1998-17 Desember 1999). Terlihat, penarikan pertama langsung dilakukan sehari begitu Rahardi dilantik. Yang paling gencar berlangsung dalam kurun waktu Maret-Juni, di seputar masa kampanye dan Pemilihan Umum 1999. Dan yang terakhir, di masa-masa genting menjelang pertarungan pemilihan presiden pada Sidang Istimewa Majelis, Oktober 1999 silam. Ketika itu, B.J. Habibie merupakan salah satu kandidat kuat yang diusung Golkar. Dana diambil dari pos nonbujeter Bulog yang dipendam pada tiga rekening di tiga bank: Bank Central Asia, Bukopin, dan Bank Exim, Jakarta.

Soal ini juga dikukuhkan secarik memo yang didapat TEMPO. Nota itu tertanggal 3 Juni 1999, ditujukan pada seorang stafnya di Bulog, Ruskandar, serta ditulis tangan dan diteken Rahardi sendiri. Bunyinya, "Untuk keperluan kenegaraan, harap dapat dikeluarkan dana Rp 5 miliar dari anggaran non-neraca."

Semudah itu memang Rahardi (ataupun Kepala Bulog sebelumnya) membuka brankas. Cukup lewat memo, bahkan instruksi lisan. Pos dana taktis ini—seluruhnya tersebar di 116 rekening di tujuh bank—dikelola serba tertutup. Cuma kalangan terbatas yang bisa mengaksesnya. Selain Kepala Bulog, cuma ada tiga pejabat lain: deputi keuangan, kepala biro pembiayaan, dan kepala bagian administrasi keuangan. Dan itu dikelola nyaris tanpa pembukuan yang jelas.

Pokoknya, kata sang mantan petinggi Bulog, begitu datang permintaan dari Golkar atau orang di lingkaran terdekat Rahardi, memo segera dibikin, dan duit langsung menggelontor keluar. Dana ditarik melalui cek, tak pernah melalui transfer antarbank. Untuk keperluan ini, Rahardi punya seorang kurir kepercayaan. Dialah Bustan Jufri, ajudan pribadinya.

Sejatinya, ini bagian dari sebuah "borok" lama. Dokumen penyelidikan tim Komisi III DPR pada Juni tahun lalu menunjukkan temuan penyelewengan Rp 2 triliun lebih selama lima tahun anggaran (1994/1995-1998/1999). Hasil audit Arthur Andersen menyodorkan angka lebih dahsyat. Pada periode itu juga terjadi inefisiensi tak kurang dari Rp 7 triliun. Bahkan, kuat diduga, sejak pos "siluman" ini diciptakan mantan Kepala Bulog Bustanil Arifin pada 1982, sekitar Rp 100 triliun uang negara telah dihamburkan.

Dan telah menjadi sebuah rahasia umum bahwa Bulog telah lama menjadi lumbung uang Golkar. Soal ini bahkan pernah terang-terangan diakui Bustanil kepada TEMPO, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Tiap kali menjelang pemilu, katanya dengan nada bangga, ia membawa berkoper-koper duit Bulog. Terkhusus saat ia berkampanye di Aceh, untuk menjegal laju Partai Persatuan Pembangunan. "Saya memang orang Golkar, dan untuk membiayai kegiatan kampanye, saya menggunakan uang tersebut. Apa ini salah?" katanya.

Rahardi tak "sepolos" Bustanil. Neraca Bulog pernah dipelototi tim khusus Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) semasa dipimpin Soedarjono. Tapi mereka tak berkutik. Pada 8 April 1999, Rahardi berkirim surat ke Presiden Habibie. Isinya, saran supaya dana itu tetap dipendam dalam pos nonbujeter dan dipertanggungjawabkan langsung ke presiden seperti sediakala. Habibie, melalui surat Menteri Sekretaris Negara saat itu, Akbar Tandjung, menyatakan setuju.

Ketika itu Rahardi mengajukan empat alasan: cadangan untuk menutup risiko defisit Bulog, pengeluaran khusus berupa penugasan pemerintah, biaya koordinasi dengan instansi lain, kesejahteraan karyawan, dan kepentingan lain-lain. Kenyataannya, seperti tertera dalam laporan Komisi III DPR, nyaris seluruh dana digunakan untuk "kepentingan lain-lain"—sebuah pos yang lazim digunakan untuk menyembunyikan berbagai pengeluaran gelap.

Lebih dari sekadar gelap, kata seorang politisi PDI Perjuangan, persoalan ini memang sangat sensitif. Sejak di era Bustanil, dari pos inilah ia dan Soeharto membangun sebuah jaringan politik yang mahaluas. Sejumlah alumni Himpunan Mahasiswa Islam adalah kalangan yang banyak mengecap nikmatnya duit melimpah ini. Dan kini, banyak di antara mereka menjadi tokoh penting di banyak partai, khususnya Golkar dan PDI Perjuangan, termasuk di pucuk pemerintahan. Bisa dibayangkan "badai politik" yang akan muncul jika arus dana ini dirunut tuntas. Dan karena itulah, katanya lagi, pada tahun lalu mayoritas suara anggota dewan menolak pembentukan panitia khusus untuk menyelidiki skandal puluhan tahun ini.

Dan kini para petinggi Golkar pun kontan megap-megap. Soalnya, kasus ini bisa mengarah pada pelanggaran serius terhadap plafon sumbangan politik yang dibolehkan Undang Undang No. 2/1999 tentang Partai Politik. Untuk perorangan, dibatasi maksimum Rp 15 juta setahun, sedangkan dari perusahaan atau lembaga sebanyak-banyaknya Rp 150 juta. Jika terbukti benar, sanksinya lumayan berat. Untuk skandal jenis ini, Mahkamah Agung bisa melarang Golkar ikut pemilu berikutnya.

Para petinggi Partai Beringin keras membantah tuduhan ini. Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung, menyatakan bahwa seluruh dana partainya telah dipertanggungjawabkan kepada MA. "Sumbernya jelas, pengeluarannya juga jelas," katanya. Wakil bendahara Enggartiasto Lukito mengajukan argumen lain. Februari tahun lalu, Golkar pernah digugat 11 partai atas tuduhan yang sama. Toh, gugatan itu ditolak majelis hakim di MA. Jadi, kata Enggar, "Apanya lagi yang mau diperiksa dari Partai Golkar?"

Adapun Rahardi memilih tak menjawab faks dan e-mail permohonan wawancara dari TEMPO. Sejak Desember lalu, sobat kental Habibie ini terbang ke Amerika dan baru akan kembali tahun 2002 nanti. Mengikuti jejak Ginandjar Kartasasmita, ia tengah menjadi dosen tamu di Massachusetts Institute of Technology. Rahardi lagi tak mau diganggu, begitu kata sekretarisnya. Bantahan datang dari Bustan Jufri. "Saya tidak tahu soal cek-cek itu. Saya tidak pernah diperintah Pak Rahardi untuk mencairkan dana," katanya. Yang diakuinya cuma statusnya sebagai ajudan pribadi Rahardi. Itu pun, katanya, cuma sebatas urusan pengamanan fisik.

Tuduh-menuduh dan bantah-membantah adalah soal biasa dalam politik. Masalahnya adalah menemukan bukti. Di sini soalnya. Membuktikan dana itu benar menggelontor ke kas Golkar bukan pekerjaan gampang. Di pembukuan, kata seorang pejabat keuangan Bulog, cuma tertera data-data tentang penarikan dana. Meski neraca telah diaduk-aduknya, ke mana dana mengalir sama sekali gelap. Yang ada cuma tanda terima dari Bustan. Tak secarik pun ditemukan kuitansi atas nama Golkar.

Dan bersiaplah untuk kecewa. Sebab, pada perkembangannya, soal ada-tidaknya bukti rupanya tak lagi penting benar. Kata seorang petinggi Kejaksaan Agung, toh ini sekadar manuver politik untuk membuka meja perundingan dengan Golkar. Tak lebih, tak kurang.

Karaniya Dharmasaputra, Wenseslaus Manggut, Edy Budiyarso, Romy Fibri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Dari Kabulog Rahardi Ramelan untuk Golkar
Tanggal Jumlah (Rp) Bank Tujuan
27 Agustus '98 13.000.000.000 BCA Kenegaraan
2 Maret 1999 20.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 2.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 2.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 2.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
20 April 1999 3.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
2 Juni 1999 4.650.520.784 Bukopin Kenegaraan
3 Juni 1999 5.000.000.000 Bukopin Kenegaraan
10 Oktober '99 5.000.000.000 Bank Exim Operasi khusus
Total * 71.650.520.784 Sumber: dokumen Bulog
* Di luar ini, masih ada pengeluaran Rp 19 miliar lain, sehingga totalnya adalah sekitar Rp 90 miliar.