Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Sensor Baru Dunia Siaran

Rancangan Undang-Undang Penyiaran hasil inisiatif DPR diprotes praktisi penyiaran. RUU ini dinilai sarat larangan dan kewajiban.

18 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZOMBIE…! Zombie…!" Ejekan itu mengiringi langkah Dimyati Hartono, anggota DPR, saat menuju ruang rapat, Rabu pekan lalu. Apa salah Dimyati sehingga disamakan dengan mayat hidup?

Teriakan itu berasal dari sekitar seratus praktisi penyiaran radio dan televisi yang berunjuk rasa ke DPR. Mereka datang dari Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat, mewakili Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), dan Komunitas Televisi.

Jauh-jauh datang ke Senayan, para praktisi penyiaran itu mengusung protes terhadap Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas para wakil rakyat. Kekesalan mereka pun dilampiaskan ke Dimyati sebagai ketua panitia khusus (pansus) penyusun RUU Penyiaran.

Di mata praktisi penyiaran, isi RUU ini seperti sederet peraturan baris-berbaris saja. Terlalu banyak larangan dan kewajibannya. "Kami minta anggota DPR membahas ulang sebelum RUU itu disahkan," begitu bunyi salah satu tuntutan mereka.

Setidaknya ada delapan pasal yang mereka gugat (lihat tabel). Selain soal pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang akan menjadi lembaga sensor baru, pasal-pasal menyangkut bisnis media yang dirasa mengekang juga diprotes keras para praktisi penyiaran.

Pasal 16 ayat 2, misalnya, menyebutkan larangan memiliki media massa secara silang. Jadi, seseorang yang sudah punya radio dilarang memiliki televisi atau media cetak. Begitu pula sebaliknya.

Aturan lain yang dianggap mengada-ada adalah pembatasan jumlah iklan. Disebutkan dalam pasal 33, jumlah iklan yang diperbolehkan paling banyak hanya 15 persen. Selain itu, pembelian waktu siar (blocking time) juga dilarang—kecuali untuk iklan.

Dari mana munculnya pasal ini? Jelas bukan dari kalangan praktisi penyiaran. RUU yang diajukan ini memang "asli" hasil rancangan inisiatif DPR. Tahun lalu, DPR berinisiatif membuat sendiri RUU Penyiaran dan membentuk pansus untuk itu. Sebenarnya, dua tahun lalu, pemerintah melalui Departemen Penerangan pernah mengajukan tiga RUU: Penyiaran, Pers, dan Perfilman. Namun, yang dapat diselesaikan baru UU Pers. Karena itu, dua rancangan lainnya diserahkan kepada DPR hasil pemilu.

Rancangan hasil inisiatif DPR sebenarnya juga melalui proses mendengarkan masukan dari praktisi penyiaran dan perorangan. Namun, masukan dari praktisi penyiaran ternyata dianggap angin lalu. Unjuk rasa pun dianggap sepi. Alasannya, pansus sudah dikejar tenggat waktu untuk menyerahkan RUU itu dalam rapat paripurna DPR, Kamis pekan ini. "Akhirnya, pansus hanya merevisi perizinan dan tanggung jawab KPI," kata Hardisoesilo, anggota pansus RUU Penyiaran.

Tentu saja keputusan ini makin menyulut kekecewaan praktisi penyiaran. Sebab, cukup banyak pasal di RUU ini yang memperlihatkan pansus kurang paham dunia penyiaran. Upaya menangkal monopoli di pasal 16, misalnya, malah menjadi salah kaprah. Bila seseorang dilarang memiliki media secara silang tapi diperbolehkan memiliki beberapa perusahaan dalam media sejenis, apa ini bukan monopoli?

Alhasil, seseorang bisa saja mempunyai puluhan radio. Sementara itu, ada orang lain yang sampai punya beberapa stasiun televisi, dan orang yang lain lagi menguasai media cetak. Dan mereka itu bukan tak mungkin membangun kekuatan bersama. "Nanti bisa-bisa hanya akan ada tiga sinergi," kata Leo Batubara, Ketua MPPI. Karena itu, Leo mengusulkan agar kepemilikan silang tetap diperbolehkan tapi setiap orang hanya bisa memiliki satu radio, satu televisi, dan satu media cetak.

Pembatasan jumlah iklan dan pelarangan blocking time juga dianggap tak masuk akal. Sebab, iklan merupakan napas utama media penyiaran, sehingga menjual waktu siaran seharusnya menjadi hak pengelola media. "Bagaimana dengan siaran sepak bola yang harus dengan blocking time?" begitu protes mereka.

Menurut Hasanein Rais, Direktur Radio Prambors, setiap media memiliki cara sendiri untuk bertahan hidup. Tanpa harus diatur, media akan membatasi jumlah iklan. Sebab, lembaga penyiaran yang terlalu banyak iklannya jelas akan ditinggalkan penggemarnya.

Agung Rulianto, Endah W.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Pasal-Pasal yang Ditentang Praktisi Penyiaran
Pasal Versi RUU Masukan Praktisi Penyiaran
7 ayat 2 KPI mengatur isi siaran. Menjadi badan sensor baru.
7 ayat 3 Pembentukan KPI di pusat dan daerah. KPI daerah bisa menyensor siaran nasional.
16 Kepemilikan silang media dilarang. Bertentangan dengan efisiensi.
19 KPI mengatur peliputan media asing. Menjadi badan sensor baru.
20 Pemilik modal stasiun lokal hanya bisa dimiliki masyarakat daerah. Membatasi kebebasan berusaha.
21 Siaran nasional diatur KPI pusat, siaran lokal diatur KPI daerah. Akan terjadi bentrokan.
25 Pemakaian kata wajib dan dilarang pada isi siaran. Bentuk sensor baru.
32 Wajib menyerahkan bahan siaran yang memiliki nilai tinggi. Mengandung unsur penilaian yang tak jelas.
33 ayat 3 Melarang menggunakan bintang iklan di bawah 17 tahun. Bagaimana dengan produk bayi dan anak?
33 ayat 8 Siaran iklan dibatasi 15 persen. Lembaga siaran berhak menentukan sendiri.
33 ayat 9 Melarang blocking time (pembelian waktu siaran). Menjadi hak lembaga siaran.
33 ayat 10 Materi iklan wajib memakai sumber daya dalam negeri. Tidak sesuai dengan hukum global.