Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Resep Keliru Redakan Konflik Papua

Dana otonomi khusus yang besar dan pemekaran Papua tak berhasil meredakan konflik di Papua. Akar masalah belum terselesaikan.

17 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemekaran Papua cenderung mengakomodasi kepentingan Jakarta, bukan kepentingan masyarakat Papua.

  • Dana otonomi khusus sebesar Rp 151,55 triliun yang dikucurkan ke Papua tak juga mampu meredakan konflik.

  • Adanya kesenjangan antara penduduk asli Papua dan pendatang ikut memperparah konflik.

JAKARTA – Rozy Brilian, dari Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai berbagai kebijakan pemerintah pusat selama ini belum mampu mengatasi konflik di Papua. Kebijakan itu, seperti pemekaran wilayah hingga dana otonomi khusus, dianggap hanya “gula-gula” dan cenderung untuk mengakomodasi kepentingan Jakarta, bukan kepentingan masyarakat Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pemekaran wilayah ini justru mendapat penolakan, tecermin dari gelombang demonstrasi orang asli Papua,” kata Rozy, Ahad, 16 April 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyebutkan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua mengamanatkan bahwa pemekaran daerah dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Faktanya, Ketua MRP Timotius Murib menolak pembentukan daerah otonomi baru di Papua karena Provinsi Papua ataupun Papua Barat tidak memenuhi syarat kepadatan penduduk untuk dimekarkan. 

Meski menuai penolakan, kata Rozy, pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat tetap berkukuh memekarkan kedua provinsi tersebut. Bahkan pihak Istana melobi anggota MRP dan memanggilnya ke Jakarta tanpa menghubungi Timotius Murib. “Pemerintah hanya memanggil pihak yang mendukung,” kata Rozy. “Kami menilai pemerintah menggunakan cara serampangan dalam menerapkan kebijakan tersebut.”

Juni tahun lalu, DPR mengesahkan undang-undang pemekaran Provinsi Papua menjadi empat provinsi, yaitu Provinsi Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Lima bulan berselang, DPR kembali mengesahkan pemekaran Papua Barat menjadi dua provinsi, yaitu Papua Barat dan Papua Barat Daya. 

Pemekaran provinsi tersebut merupakan usulan pemerintah. Pemerintah beralasan, pemekaran tersebut bertujuan untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat di Papua. Harapannya, konflik di Papua akan mereda seiring dengan peningkatan kesejahteraan dan sumber daya manusia di sana.

Di samping pemekaran wilayah, Rozy menyoal dana otonomi khusus yang selama ini digelontorkan oleh pemerintah pusat. Dana otonomi khusus yang mulai dikucurkan sejak 2002 itu dianggap belum berhasil meredakan konflik di Papua. Padahal salah satu tujuan pemberian dana otonomi khusus ini untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di sana, yang berlangsung sejak 1962. 

Kontras mencatat, total dana otonomi khusus yang dikucurkan ke Papua mencapai Rp 151,55 triliun selama 20 tahun (2002-2022). Selain itu, pemerintah memberikan dana transfer daerah dan dana desa ke Provinsi Papua serta Papua Barat, yang nilainya paling tinggi dibanding provinsi lainnya. 

Namun, kata Rozy, dana yang besar tersebut ternyata tak juga berhasil menuntaskan persoalan di Papua. Masalah utamanya, alokasi dana otonomi khusus tersebut tidak tepat sasaran. “Dana itu juga disalahgunakan sejumlah orang. Lebih lagi sejak awal sudah banyak penolakan,” ujarnya.

Sejumlah anggota TNI-Polri mengusung peti jenazah korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah, 27 Maret 2023. ANTARA/Humas Polres Puncak Jaya

Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar, berpendapat senada dengan Rozy. Ia menilai pemekaran wilayah tersebut bukan ditujukan untuk kebutuhan masyarakat Papua. Namun pemekaran wilayah itu sarat akan kepentingan politik pemerintah pusat. 

“Diduga ada kepentingan kuasa ingin merebut sumber daya alam,” kata Latifah, kemarin.

Ia juga menilai program otonomi khusus lewat UU Otonomi Khusus Papua pada 2001 itu tidak berjalan dengan baik. Latifah menyebutkan latar belakang pemberian otonomi khusus Papua itu adalah meredam keinginan Organisasi Papua Merdeka untuk memisahkan diri dari Indonesia. 

Latifah menambahkan, adanya otonomi khusus ini secara tidak langsung bertujuan untuk mengendalikan orang Papua. Indikasinya, di awal terbitnya UU Otonomi Khusus bagi Papua, warga Papua diizinkan membentuk partai politik dengan harapan warga Papua berwenang membentuk partai lokal seperti di Aceh. Namun, dalam perjalanannya, UU Otonomi Khusus justru hanya mengakomodasi pembentukan MRP dan DPRP. 

"Lembaga itu lebih mudah diatur ketimbang partai," kata Latifah. “Makanya, dalam UU Otonomi Khusus jilid dua, tidak ada pembentukan partai. Partai lokal tidak boleh ada.” 

Menurut Latifah, berbagai kebijakan tersebut ternyata belum mampu meningkatkan sumber daya manusia dan mensejahterakan warga Papua. Ia merujuk pada indeks pembangunan manusia (IPM) Provinsi Papua yang masuk kategori terendah, yakni 61,39 persen. 

Persoalan lain di lapangan, kata Latifah, terkesan ada perbedaan akses antara orang asli Papua dan pendatang. Penduduk asli Papua masih kesulitan mendapatkan akses komunikasi dan transportasi. Berbeda dengan pendatang yang lebih mudah mendapatkan akses komunikasi dan transportasi. 

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irawan, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal pendapat Rozy dan Latifah tersebut. Adapun Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden, Theo Litaay, memastikan bahwa UU Otonomi Khusus Papua menjadi instrumen untuk menjawab persoalan kemiskinan, keterbelakangan, masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi di Papua. 

Akar Masalah di Papua 

Rozy Brilian menyebutkan hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2010 menyimpulkan empat akar masalah di Papua. Sejumlah akar masalah itu adalah kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat; marginalisasi dan diskriminasi orang asli Papua; kekerasan negara dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia; serta sejarah dan status politik wilayah Papua. 

Di samping keempat poin tersebut, Rozy menganggap pendekatan militer dalam menyelesaikan konflik di Papua justru membuat konflik tak terselesaikan. 

Peneliti dari Institute of Social Anthropology Bern University, Swiss, Cypri Jehan Paju Dale, pernah menjelaskan bahwa masalah di Papua berhubungan erat dengan ekspansi kekuasaan politik, ekonomi, dan militer Indonesia sejak 1960. Selain itu, ada gerakan emansipasi dan dekolonisasi orang Papua. Di era Orde Baru, Papua dijadikan wilayah huni penduduk dari luar Papua melalui transmigrasi serta ekspansi birokrasi sipil dan militer. 

Selama masa otonomi khusus, kata dia, migrasi ke Papua terus meningkat, khususnya di kota-kota utama di Papua dan Papua Barat. “Dalam situasi itu, orang Papua tidak hanya harus berhadapan dengan militer, tapi juga pendatang,” kata Cypri, dikutip dari majalah Tempo, Jumat, 8 November 2019. 

Masalah lain, kata Cypri, penguasaan tanah di Papua atas nama pembangunan terus meningkat. Pembangunan berbagai infrastruktur yang merangsek ke pedalaman justru memperluas dominasi pendatang dan eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi. Kondisi ini diperparah dengan terbentuknya aliansi strategis antara aparat keamanan dan kelompok ultranasionalis. 

Karena itu, Cypri menilai, pemerintah perlu mengakui adanya dimensi rasial dan agama di Papua. Dengan pemahaman ini, pemerintah dapat mengambil langkah tepat dalam mencegah kekerasan tidak berulang. “Pemerintah tidak boleh mencampuradukkan konflik politik dengan konflik sosial antar-kelompok,” kata Cypri. Ia juga menyarankan pemerintah agar segera menjalankan dialog dengan elemen masyarakat Papua, bukan hanya dengan kelompok pro-pemerintah pusat. 

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus