BAGI Sarimin, kampung kelahiran tak lebih dari sepenggal ingatan masa silam yang telah terbang entah ke mana. Perempuan renta, 85 tahun, itu bahkan tak mampu lagi mengingat letak dan nama desa asal para leluhurnya di Madura. Kehidupan di tanah yang baru selama puluhan tahun adalah faktor utama yang memupuskan seluruh kenangan Sarimin kepada pulau kelahirannya.
Sejak berusia belasan tahun, ia keluar dari Madura menuju Kalimantan. Di Kampung Tumeanggang, Desa Petuna, Kecamatan Baamang, Sampit, Sarimin menjalani hidupnya. Ia berkeluarga dan beranak-pinak di sana dan tak pernah lagi mudik ke Madura. Lagi pula, apa perlunya? Di Tumeanggang, bukan cuma ada tanah dan makanan. Di sana pula Sarimin menyaksikan generasinya berkembang hingga ke lapis cucu dan cicit?hingga kerusuhan Sampit pecah: seluruh situasi memaksanya menerima bahwa ia berbeda dari kaum setangganya dan bahwa ia bukan bagian dari mereka.
Menyempil di antara buntelan baju dan beberapa kantong keresek berisi harta miliknya di kamp pengungsi Kantor Bupati Kotawaringin Timur, Sarimin mengaku pasrah. "Saya tak ingat lagi nama desa kelahiran saya," ujarnya kepada TEMPO. Di sampingnya duduk beberapa wanita seusianya di tengah ribuan warga Madura yang memenuhi tempat penampungan. Seperti Sarimin, sebagian besar warga "Madura Sampit" itu tak tahu harus ke mana. Pulau kering di seberang Surabaya itu cuma bagian dari masa lalu mereka.
Di atas kertas, sosok Sarimin mengingatkan orang pada hasil penelitian mendiang Prof. Dr. Hendro Suroyo Sudagung, guru besar sosiologi Fisipol Universitas Tanjungpura, Pontianak. Guru besar itu memperkirakan migrasi pertama orang Madura ke Kalimantan terjadi pada kurun waktu antara 1902 dan 1942. Kloter ini berangkat dari Bangkalan dengan menumpang perahu layar tradisional. Tujuan pertama mereka adalah Kerajaan Sukadana di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Selain mendatangi Sukadana, para transmigran swakarsa ini?begitu julukan Hendro kepada tamu-tamu dari Madura itu?mendarat di Pontianak dan Sambas. Motif mereka adalah mencari rezeki.
Migran kloter pertama ini banyak yang menjadi buruh kontrakan. Keberanian mereka menerima upah murah membuat para saudagar Bugis, Melayu, dan Arab di Kalimantan getol mempekerjakan pendatang Madura, antara lain, untuk membuka lahan perkebunan dan ladang. Celakanya, entah mengapa, beberapa majikan enggan membayar upah kecuali uang makan belaka. Alhasil, pecah konflik pertama. Sekitar 25 pekerja Madura melarikan diri dari majikannya pada 1933.
Rombongan orang Madura kedua tiba di Kalimantan antara 1942 dan 1950. Hendro mencatat, migrasi kali ini tidak sebesar angkatan pertama karena Perang Dunia II. Motivasi mereka relatif sama: mencari penghidupan yang lebih baik. Kelompok ini mulai meluaskan bidang kerja orang Madura: dari perkebunan, mereka menyerbu lapangan kerja di pinggiran kota sebagai buruh tani, peternak sapi, penebang kayu, atau penambang emas.
Jumlah orang Madura kian membengkak pada migrasi gelombang ketiga (1950-1980). Populasi mereka melejit ke angka 2,75 persen dari total jumlah penduduk pada 1990-an. Berbeda dengan orang Madura sebelumnya, pendatang gelombang ketiga ini mulai "menduduki" kawasan kota-kota di Kalimantan. Mereka menjadi penarik becak, pengayuh sampan, sopir angkutan umum, pedagang buah dan sayur di pinggir jalan, dan penjual sate.
Sikap tak kenal malu dalam memilih lapangan kerja ini merupakan representasi etos hidup orang Madura yang ulet. Edi Petebang dan Edi Sutisno menggambarkan hal itu dalam buku Konflik Etnik di Sambas. Semboyan mereka adalah "Ango'an potea tolang, potea mata (lebih baik putih tulang daripada putih mata)." Artinya, "Lebih baik mati daripada malu." Di luar etos kerja yang positif, keberadaan orang Madura ternyata menumbuhkan sejumlah gesekan sosial. Salah satunya: kecenderungan mereka yang kuat untuk memelihara hubungan dalam kelompok?sebuah fenomena universal di kalangan kaum migran dan sebetulnya bukan khas orang Madura.
Toh, dalam konteks Dayak-Madura, hal itu menjadi serius. Lebih-lebih tatkala pembauran dengan warga Dayak dan Melayu tidak mulus. Lembaga nirlaba Human Right Watch mencatat gejala ini sebagai "tendensi dari ketidakmampuan mereka untuk beradaptasi dengan masyarakat sekitarnya." Di atas kertas, sikap hidup itu dapat memicu munculnya konflik antar-etnis?yang harus diatasi dengan menyeluruh. Jika tidak, betapa mudahnya menemukan seorang Sarimin yang harus kehilangan kampung halaman dalam semalam.
Widjajanto, Tomi Lebang (Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini