Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Hendro Subroto:

Hendro Subroto menghabiskan puluhan tahun untuk meneropong ribuan detail kehidupan manusia?dengan hasrat dan ketelitian?dari balik kamera. Namun, dia memperlakukan hidupnya sendiri dengan cara yang jauh lebih praktis. Di samping kamar mandi, di rumah pribadinya, di kawasan Tomang, Jakarta Barat, ia menggantung pakaiannya secara kategoris di dinding tembok. Dan ia cuma perlu beberapa menit untuk mencomot sebuah celana atau jaket tanpa harus repot membongkar lemari. Hendro merasa tidak perlu memakai sepatu saat joging, terutama untuk alasan kesehatan.

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alhasil, betapa seringnya bus patas AC menolak mengangkut Hendro karena mengira ia tunawisma yang tak bisa membayar ongkos. Dan dalam bukunya, Perjalanan Seorang Wartawan Perang, wartawan senior ini cuma perlu memasang 57 foto untuk ilustrasi buku setebal 430 halaman. Sementara itu, berapa ribu rol film yang telah ia habiskan sebagai fotografer dan juru kamera? Banyak orang memang menyebut-nyebutnya sebagai wartawan perang. Ia kenyang meliput daerah konflik: Timor Timur, Vietnam, Kamboja, dan Timur Tengah. Ia dua kali tertembak selama bertugas. "Tapi itu risiko yang harus dibayar setiap reporter yang berangkat ke daerah konflik. Anda harus melupakan rasa takut untuk mendapatkan cerita eksklusif dari tangan pertama," ujarnya kepada TEMPO. Sudah hampir 129 kali ia terjun dari udara untuk mengambil gambar. Kamera memang ibarat buluh perindu baginya: ia tak bisa berjauhan dengan kamera video ataupun kamera foto, yang sudah dijinjingnya sejak usia 24 tahun. Mengawali karir sebagai juru kamera berita TVRI pada 1964, Hendro Subroto sempat mendapat pendidikan jurnalistik televisi di Jepang pada 1967. Cenderung otodidak, profesi sebagai wartawan membawa Hendro ke banyak wilayah perang, konflik bersenjata. Ia menyaksikan bagaimana nyawa manusia cuma dihitung dengan angka setelah menjadi jenazah, untuk kemudian ditumpuk dalam lubang-lubang penguburan massal. Salah satu mosaik pengalaman yang tak terlupakan baginya adalah mengabadikan pengangkatan jenazah enam jenderal dan seorang kapten pahlawan revolusi yang terbunuh dari Lubangbuaya pada 4 Oktober 1965. Liputan itu disiarkan di TVRI selama tiga hari berturut-turut, disertai narasi yang mengungkapkan betapa keji cara PKI membunuh mereka: di tengah pesta Gerwani (organisasi wanita PKI), kelamin serta anggota tubuh para korban disayat-sayat. Liputan itu membakar amarah rakyat, yang kemudian menjadi dalih pembantaian dan prosekusi puluhan tahun kepada orang-orang PKI serta mereka yang dituduh komunis. Puluhan tahun diam, baru kali ini Hendro berani mengatakan apa yang dia lihat. Dia mengungkapkan beberapa detail yang menyimpang dari apa yang kemudian dipublikasikan dalam sekian buku sejarah dan film-film versi Orde Baru. "Tubuh para jenderal itu tidak disayat-sayat," ujarnya kepada TEMPO. Sementara liputan di Lubangbuaya "dibumbui", banyak liputan Hendro yang lain disensor, misalnya liputan Hendro tentang Timor Timur. Dia adalah salah satu dari lima wartawan Indonesia pertama yang mendapat kesempatan meliput konflik bersenjata di kawasan itu pada 1975. Toh, sebagian besar liputan itu tidak bisa disiarkan ke publik karena pertimbangan politis. "Keputusan menyiarkan liputan memang bukan pada saya. Tapi kadang-kadang saya bertanya, untuk apa mempertaruhkan hidup mati-matian, sementara semua bahan eksklusif itu harus disimpan begitu saja," katanya sembari tersenyum. Hendro Subroto biasa menulis teknologi militer sebagai salah satu spesialisasinya. Setelah pensiun dari TVRI pada 1992, Hendro tidak berhenti terjun dan menulis. Ia menjadi kontributor resmi untuk tulisan-tulisan teknologi militer pada beberapa majalah asing, antara lain Military Aviation Air Force yang terbit di Inggris. "Banyak sekali detail menarik dalam hidup yang bisa berarti jika Anda sungguh-sungguh melihatnya dari dekat," ujarnya. Hendro memang mencintai detail. Pria kelahiran Solo ini mahir melukiskan detail itu dengan dua cara: dalam kata-kata dan melalui kamera. Dalam bukunya, ia memerlukan dua halaman untuk melukiskan bagaimana seorang pramugari "dengan lesung pipit menawan" menangani para penumpang. Dengan kemahirannya pula, Hendro Subroto bisa membawa pembacanya ke masa silam, tatkala ia mengamati ketelitian kakeknya, seorang empu di Istana Kasunanan, Solo, memperlakukan setiap bilah keris. Darah kakeknya itulah, kata dia, yang mungkin menular ke dalam dirinya. Pekan lalu, Hendro menerima wartawan TEMPO Edy Budiyarso dan Hermien Y. Kleden serta fotografer Awaluddin untuk sebuah wawancara khusus. Dan saat wawancara ini beredar, Hendro boleh jadi sedang bersiap-siap untuk meloncat dari ketinggian sekian ratus kaki?entah di mana. Ia menjaga fisik dengan tekun untuk mempertahankan kondisi prima setiap kali terjun: lari delapan kilometer setiap pagi tanpa alas kaki. Berikut ini petikannya.
Anda satu-satunya wartawan Indonesia yang merekam pengangkatan jenazah tujuh jenderal korban G30S dari Lubangbuaya dengan kamera film. Bisa Anda ceritakan pengalaman itu? Saya biasa mendatangi markas Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Sejak Peristiwa G30S meletus, setiap pagi saya nongkrong di sana, untuk memantau perkembangan. Nah, pagi itu, 4 Oktober 1965, sebelum masuk ke Kostrad, saya berpapasan dengan perwira Pusat Penerangan AD, Kapten Dwipayana. Dia bilang, "Ndro, kamu naik bus Kostrad yang paling depan. Bus itu membawa saya dan beberapa tentara Kostrad ke Lubangbuaya di Jakarta Timur." Pukul berapa Anda tiba di sana? Sekitar pukul 10.00. Saya datang sebelum Panglima Kostrad Mayjen Soeharto tiba. Banyak fotografer. Tapi saya satu-satunya cameraman profesional yang meliput peristiwa pengangkatan tujuh jenazah itu dengan kamera 8 milimeter. Hampir semua wartawan ditelepon oleh Puspen AD. Saya datang atas inisiatif sendiri karena sudah berhari-hari memang memantau perkembangan berita ini di Kostrad. Pukul berapa jenazah para jenderal mulai diangkat? Selepas siang, karena harus menunggu Pak Harto dan rombongannya. Setelah rapat di Kostrad, Pak Harto datang ke Lubangbuaya diiringi beberapa wartawan. Berapa meter jarak Anda dengan jenazah saat mayat para jenderal mulai dikeluarkan? Sekitar tiga meter. Tapi saya tidak tahan karena, maaf, bau sekali. Jadi, saya mencari angin sebentar ke bawah pohon baru kembali lagi ke depan. Belakangan baru saya tahu dari seorang petugas forensik, jika terus-menerus berada di dekat jenazah itu selama 15-20 menit, hidung kita akan mengeluarkan semacam "lapisan lilin" yang membuat kita tidak lagi tersengat oleh bau. Bisa Anda gambarkan kondisi mereka? Jenazah itu diambil empat hari setelah mereka dibunuh. Tapi kondisi setiap jenazah akan banyak dipengaruhi oleh sebab-sebab meninggalnya. Kulit seseorang yang ditusuk puntung rokok akan segera menggelembung karena reaksi tubuh pada kulit. Orang yang meninggal karena dipukul dan dianiaya akan terlihat bekas-bekasnya pada jenazah. Dan apa yang terlihat oleh mata Anda saat jenazah-jenazah itu diturunkan dari lubang sumur, sebelum dipindahkan ke peti? Nah, dari jarak itu saya tidak melihat adanya bekas-bekas penyiksaan. Mungkin saya salah. Karena orang bisa mengatakan dengan lebih tepat kondisi jenazah itu jika dia mendekat dan membolak-balik jenazah. Publikasi resmi pemerintah Orde Baru mengenai peristiwa G30S menyebut PKI menganiaya dan menyayat-nyayat tubuh para jenderal secara keji. Jadi, kesimpulan Anda berbeda? Menurut saya, mereka hanya luka tembak, tidak dianiaya atau disayat-sayat. Seperti yang saya katakan, orang mati karena penganiayaan dan penembakan akan menghasilkan kondisi jenazah yang berbeda. Paling tidak, kan terlihat bekas-bekasnya. Tapi, sekali lagi, ini apa yang saya saksikan dari jarak tiga-empat meter dan dalam waktu singkat: sekitar tiga menit, karena jenazah-jenazah itu langsung dipindahkan ke dalam peti. Jadi, penglihatan saya bisa saja salah. Lain hal misalnya orang melakukan autopsi: sebab-sebab kematian bisa lebih tepat ditentukan. Dengan melihat dua atau tiga menit, bagaimana Anda bisa sampai pada kesimpulan ini, bahwa mereka hanya luka tembak? Pada ketujuh jenazah itu tidak ada pembengkakan. Seperti yang saya katakan tadi: jika orang sehat dianiaya, disundut rokok, atau disayat senjata tajam, tubuh di bagian itu akan membengkak, sebagai reaksi dari sistem kekebalan tubuh manusia. Publikasi resmi yang sama juga menyebut alat kelamin para jenderal itu disayat-sayat. Benar demikian? (Hendro masuk ke kamarnya dan keluar membawa setumpuk foto hitam-putih dan memperlihatkan salah satu foto). Alat kelamin jenderal ini tidak dipotong dan disayat-sayat. Coba Anda lihat. Masih utuh, kan? Tujuh jenazah itu memang telanjang saat diangkat. Film Pengkhianatan G30S/PKI, yang diputar setiap 30 September malam di masa lalu, adalah semacam "rekonstruksi" dari, antara lain, apa yang terjadi di Lubangbuaya. Pernah mencocokkan adegan di film itu dengan dokumentasi yang Anda buat? Saya sendiri belum melihat film Pengkhianatan G30S/PKI. Tapi saya merasa aneh bahwa tidak ada orang yang membawakan peran saya sebagai satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah itu dengan kamera film. Anda menyimpan film itu? Film itu milik TVRI. Saya tidak menyimpan kopinya. Setelah pengambilan gambar di Lubangbuaya, Kapuspen Hankam Brigjen Sugandi mengatakan kepada saya, "Hen, tolong kamu siarkan film beberapa kali setiap malam selama beberapa hari agar bisa dilihat oleh banyak orang. Saya jawab, "Saya hanya juru kamera, Pak. Yang memutuskan pimpinan saya di TVRI." Pak Supandi kemudian menemui sendiri Direktur TVRI ketika itu, Kadiono. Berapa lama TVRI memutar film itu? Tiga malam berturut-turut. Sampai kemudian Wakil Perdana Menteri I Soebandrio menyetop penayangannya. Saya berpikir, film itu bisa jadi masalah karena menimbulkan pertentangan antara ABRI dan Waperdam Soebandrio. Maka, saya mengusulkan agar film itu disimpan di Pusat Penerangan Angkatan Darat saja, di bawah pengawasan Brigjen Ibnu Subroto. Tidak lama kemudian Pak Ibnu Subroto meninggal. Setelah meninggalnya Jenderal Ibnu, kan sempat tersiar kabar bahwa "film Lubangbuaya" itu hilang? Benar. Kabar itu memang tersiar. Dan saya sudah tidak tahu keberadaan film itu, sampai sekitar tahun 1979 saya bertemu dengan Asisten Intelijen KSAD, Mayor Jenderal Harsojo. Dia bertanya apakah saya ingat siapa saja yang berada di sekitar podium ketika D.N. Aidit berpidato di Hall A Senayan pada 30 September 1965. Saya bilang, "Wah, sulit, Pak. Di TVRI tidak ada jaminan barang itu ada. Film Lubangbuaya saja hilang." Saat itu Jenderal Harsojo mengatakan film itu ada padanya. Jadi, Jenderal Ibnu menyerahkan film itu kepada Jenderal Harsojo? Rupanya begitu. Dan TVRI kemudian mendapatkan satu kopi. Belajar dari pengalaman?dan mengingat film itu menjadi dokumen penting?saya mengusulkan agar film itu digandakan dalam beberapa kopi. Kini film itu di Arsip Nasional. Di luar peristiwa 1965, Anda punya sejumlah liputan eksklusif lain yang tidak bisa disiarkan?karena kondisi politik pada masa itu. Misalnya, masuknya Indonesia ke Timor Timur. Apa yang mula-mula terpikir untuk Anda liput saat mendarat di Dili pada 1975? Mendapat cerita eksklusif sebanyak mungkin dari tangan pertama. Dan saya memang mendapatkan banyak laporan menarik. Hanya semuanya tidak bisa disiarkan. Bisa beri beberapa contoh liputan eksklusif? Saya mendapatkan kisah perebutan Batugade (sebuah kota perbatasan dengan Indonesia). Waktu itu pasukan kita dipimpin oleh Sutiyoso (sekarang Gubernur DKI Jakarta). Serangan kita ke Viequeque juga laporan eksklusif tetapi semua tidak bisa disiarkan. Lalu liputan tentang para pengungsi yang kita latih di Atambua. Saat itu kami hanya menyiarkan ada 40.000 pengungsi yang diurus Pemda. Tetapi kami tidak bisa menyiarkan kisah-kisah "belakang panggung" tentang pengungsian itu. Anda menyebut "pengungsi yang kita latih di Atambua". Siapa yang melatih mereka? Saya memprediksi tentara. Kalau bukan tentara, mana bisa mereka melatih? Tetapi sulit mengetahui identitas kesatuan. Sejak awal, operasi di Tim-Tim itu merupakan operasi intelijen. Mereka memakai baju sipil, bukan seragam. Sampai Kolonel Dading Kalbuadi (Komandan Operasi Flamboyan, operasi intelijen terbatas di Tim-Tim sebelum penyerbuan) hanya mengenakan kaus oblong dengan celana blue jeans. Sehingga, ada istilah the blue jeans soldiers. Rekaman Anda selama liputan di Tim-Tim kemudian menjadi sejumlah film dokumenter. Mana versi yang paling lengkap? Peran TNI Angkatan Udara dalam Operasi Seroja. Saya mewawancarai Lopez da Cruz melalui suatu penyusupan. (Da Cruz adalah mantan duta besar keliling Indonesia dan pemimpin Unido Democratica Timorense, salah satu partai penanda tangan Deklarasi Balibo yang mendukung integrasi dengan Indonesia). Saya merekam gambar Lopez da Cruz?ciri khasnya ia selalu membawa tas kulit warna hitam yang berisi dokumen. Juga tokoh Deklarasi Balibo lainnya, Maria Goncalves. Film itu saya rekam dengan kamera video 16 milimeter. Semua ini menjadi bagian dari film dokumenter. Salah satu kisah dari Tim-Tim yang masih tetap kontroversial sampai sekarang adalah terbunuhnya lima wartawan Australia pada 16 Oktober 1975. Seberapa detail liputan Anda tentang kasus ini? Presiden Fretilin Fransisco Xavier do Amaral telah melarang mereka pergi ke perbatasan karena situasi yang sangat berbahaya. Karena nekat, mereka bilang hanya mau pinjam kendaraan. Soal risiko, menurut sumber saya, para wartawan itu mengatakan itu risiko mereka sendiri. Sekarang Australia ribut setengah mati soal ini. Tertembak dan mati memang risiko setiap wartawan yang masuk ke daerah perang. Anda sempat membuat film selagi jenazah para wartawan itu belum terbakar? Itu operasi intelijen yang amat tertutup. Saya tiba di sana ketika rumah?tempat jenazah tiga wartawan Australia itu dibunuh?sudah habis terbakar. Ada hal aneh yang Anda lihat dari lokasi itu? Saya bicara dengan seorang sumber yang menyaksikan rumah itu terbakar. Jadi, itu toko milik orang Cina dengan beberapa drum minyak. Tapi, soal keanehan yang Anda tanyakan itu: ya. Maksud Anda? Bila terbakarnya rumah itu dengan alasan terkena mortir, sisa kebakaran itu terlalu "bersih". Habis sama sekali. Tetapi kita harus menghitung kemungkinan drum-drum minyak yang ada di toko Cina itu. Jika betul-betul "bersih" terbakar, bagaimana bisa ada identifikasi ada lima wartawan Australia di rumah itu yang juga habis terbakar? Itu informasi yang saya dapatkan dari wawancara dengan Ketua Apodeti Maria Goncalves. Saya sendiri tidak bisa melihat kejadiannya karena baru tiga hari kemudian saya tiba di tempat itu. Tidak ada satu pun anggota militer kita mau bicara. Satu-satunya sumber yang bisa saya wawancarai, ya, Goncalves. Menurut Anda, apakah masuk akal penjelasan versi Australia menyebut nama perwira ABRI seperti Kapten Yunus Yosfiah (kini letjen purn. TNI) dan Letnan Slamet Kirbiantoro itu ada di balik pembunuhan para wartawan tersebut? Sulit. Operasi intelijen saat itu amat tertutup. Kita sulit mengenali tentara. Semua pasukan baret merah memakai nama sandi. Kapten Yunus Yosfiah dipanggil Mayor Andreas. Mayor Tony Sumardjo dipanggil Anton Papilaya. Jadi, kalau ada orang yang berani menyebut bahwa ada penembakan yang dilakukan oleh Slamet Kirbiantoro, ini meragukan. Kalau penjelasan pihak Australia meragukan, mengapa Indonesia selalu terpojok dalam kasus kematian wartawan Australia ini? Karena pemerintah kita tidak pernah memberikan penjelasan detail. Apalagi kemungkinan rumah itu terbakar terkena mortir masih meragukan. Jadi begini: kedua versi, Indonesia dan Austrialia, menurut saya, harus dilihat secara fifty-fifty. Anda tidak punya sumber di kalangan intelijen sendiri yang bisa menjelaskan mengapa Australia bisa menuding TNI di balik kematian lima wartawannya, bahkan secara spesifik menyebut nama Yunus Yosfiah? Begini. Pada waktu itu Indonesia masih melakukan operasi intelijen terbatas, Operasi Flamboyan. Mereka tertutup sekali terhadap wartawan. Peliputan media massa Indonesia saat itu hanya lima orang. Wartawan Angkatan Bersenjata Djumario, wartawan Antara Saleh Kamal, saya sendiri, serta dua kru TVRI, Tampubolon dan Utjin Nusirwan. Jadi, yang masuk betul-betul cuma media pemerintah? Walaupun media pemerintah, tidak semua gerakan militer itu kami liput, seperti saat wartawan Australia terbunuh di Balibo itu. Kami tidak dapat menyaksikan kejadian sebenarnya. Benarkah ada pembunuhan massal yang dilakukan TNI pada warga sipil Tim-Tim? Korban dalam pertempuran selalu ada. Tapi pembunuhan massal oleh TNI, setahu saya, tidak ada. Pembunuhan massal justru dilakukan Fretilin di Aileu dan Same. Korbannya banyak sekali. (Hendro lalu memperlihatkan dokumen berisi daftar pembunuhan massal oleh tim investigasi Tim-Tim dan menunjukkan foto koleksinya tentang pembunuhan massal itu.) Isu tentang pemerkosaan wanita dan pembunuhan penduduk sipil oleh TNI santer sekali pada masa perang serta pascaperang. Anda tidak mendengarnya sedikit pun selama di sana? Saya tidak menutup mata. Jika ada pemerkosaan, mungkin hanya satu-dua. Cerita itu kemudian dibesar-besarkan untuk menyudutkan Indonesia. Menurut saya, salah satu penyebab lepasnya Tim-Tim dari kita adalah kekalahan perang informasi. Sebagai wartawan, apa saja tindakan militer Indonesia di Tim-Tim yang mengusik nurani Anda? Ada bombardemen dari laut. Ada penembakan udara dan pengeboman dari udara. Karena penembakan dan pengeboman ini tentu saja tidak bisa selektif, dan bisa menimpa orang sipil. Pernah merasa terganggu karena orang melecehkan hasil liputan Anda, semata-mata karena Anda bekerja untuk media pemerintah? Kalau dikatakan Hendro orangnya pemerintah? Tidak masalah. Memang benar bekerja untuk pemerintah. Dan lembaga pemerintah inilah yang punya kebijakan terhadap semua hasil liputan saya. Tapi Anda jangan lupa, saya juga warga negara Indonesia, yang mencintai dan setia kepada negeri ini dengan sepenuh hati. Jadi, kita harus melihat soal ini dari dua sisi. Dan bagaimana Anda menerima kenyataan ini: begitu banyak liputan eksklusif yang harus "disisir" sebelum TVRI menyiarkannya ke publik? Saya sadar kepada siapa saya bekerja. Tapi independensi sebagai wartawan membuat selalu ada ganjalan dan rasa kecewa. Peristiwa di Tim-Tim, misalnya, itu hasil kerja dari berbagai pihak. Pemerintah turut serta di dalamnya, tapi pemerintah selalu menghendaki mereka kelihatan bersih. Pernah saya bertanya pada diri sendiri: mengapa saya harus mempertaruhkan hidup saya untuk menanggung kekecewaan dan ganjalan-ganjalan itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus