Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anda satu-satunya wartawan Indonesia yang merekam pengangkatan jenazah tujuh jenderal korban G30S dari Lubangbuaya dengan kamera film. Bisa Anda ceritakan pengalaman itu? Saya biasa mendatangi markas Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad). Sejak Peristiwa G30S meletus, setiap pagi saya nongkrong di sana, untuk memantau perkembangan. Nah, pagi itu, 4 Oktober 1965, sebelum masuk ke Kostrad, saya berpapasan dengan perwira Pusat Penerangan AD, Kapten Dwipayana. Dia bilang, "Ndro, kamu naik bus Kostrad yang paling depan. Bus itu membawa saya dan beberapa tentara Kostrad ke Lubangbuaya di Jakarta Timur." Pukul berapa Anda tiba di sana? Sekitar pukul 10.00. Saya datang sebelum Panglima Kostrad Mayjen Soeharto tiba. Banyak fotografer. Tapi saya satu-satunya cameraman profesional yang meliput peristiwa pengangkatan tujuh jenazah itu dengan kamera 8 milimeter. Hampir semua wartawan ditelepon oleh Puspen AD. Saya datang atas inisiatif sendiri karena sudah berhari-hari memang memantau perkembangan berita ini di Kostrad. Pukul berapa jenazah para jenderal mulai diangkat? Selepas siang, karena harus menunggu Pak Harto dan rombongannya. Setelah rapat di Kostrad, Pak Harto datang ke Lubangbuaya diiringi beberapa wartawan. Berapa meter jarak Anda dengan jenazah saat mayat para jenderal mulai dikeluarkan? Sekitar tiga meter. Tapi saya tidak tahan karena, maaf, bau sekali. Jadi, saya mencari angin sebentar ke bawah pohon baru kembali lagi ke depan. Belakangan baru saya tahu dari seorang petugas forensik, jika terus-menerus berada di dekat jenazah itu selama 15-20 menit, hidung kita akan mengeluarkan semacam "lapisan lilin" yang membuat kita tidak lagi tersengat oleh bau. Bisa Anda gambarkan kondisi mereka? Jenazah itu diambil empat hari setelah mereka dibunuh. Tapi kondisi setiap jenazah akan banyak dipengaruhi oleh sebab-sebab meninggalnya. Kulit seseorang yang ditusuk puntung rokok akan segera menggelembung karena reaksi tubuh pada kulit. Orang yang meninggal karena dipukul dan dianiaya akan terlihat bekas-bekasnya pada jenazah. Dan apa yang terlihat oleh mata Anda saat jenazah-jenazah itu diturunkan dari lubang sumur, sebelum dipindahkan ke peti? Nah, dari jarak itu saya tidak melihat adanya bekas-bekas penyiksaan. Mungkin saya salah. Karena orang bisa mengatakan dengan lebih tepat kondisi jenazah itu jika dia mendekat dan membolak-balik jenazah. Publikasi resmi pemerintah Orde Baru mengenai peristiwa G30S menyebut PKI menganiaya dan menyayat-nyayat tubuh para jenderal secara keji. Jadi, kesimpulan Anda berbeda? Menurut saya, mereka hanya luka tembak, tidak dianiaya atau disayat-sayat. Seperti yang saya katakan, orang mati karena penganiayaan dan penembakan akan menghasilkan kondisi jenazah yang berbeda. Paling tidak, kan terlihat bekas-bekasnya. Tapi, sekali lagi, ini apa yang saya saksikan dari jarak tiga-empat meter dan dalam waktu singkat: sekitar tiga menit, karena jenazah-jenazah itu langsung dipindahkan ke dalam peti. Jadi, penglihatan saya bisa saja salah. Lain hal misalnya orang melakukan autopsi: sebab-sebab kematian bisa lebih tepat ditentukan. Dengan melihat dua atau tiga menit, bagaimana Anda bisa sampai pada kesimpulan ini, bahwa mereka hanya luka tembak? Pada ketujuh jenazah itu tidak ada pembengkakan. Seperti yang saya katakan tadi: jika orang sehat dianiaya, disundut rokok, atau disayat senjata tajam, tubuh di bagian itu akan membengkak, sebagai reaksi dari sistem kekebalan tubuh manusia. Publikasi resmi yang sama juga menyebut alat kelamin para jenderal itu disayat-sayat. Benar demikian? (Hendro masuk ke kamarnya dan keluar membawa setumpuk foto hitam-putih dan memperlihatkan salah satu foto). Alat kelamin jenderal ini tidak dipotong dan disayat-sayat. Coba Anda lihat. Masih utuh, kan? Tujuh jenazah itu memang telanjang saat diangkat. Film Pengkhianatan G30S/PKI, yang diputar setiap 30 September malam di masa lalu, adalah semacam "rekonstruksi" dari, antara lain, apa yang terjadi di Lubangbuaya. Pernah mencocokkan adegan di film itu dengan dokumentasi yang Anda buat? Saya sendiri belum melihat film Pengkhianatan G30S/PKI. Tapi saya merasa aneh bahwa tidak ada orang yang membawakan peran saya sebagai satu-satunya wartawan yang merekam semua peristiwa pengangkatan jenazah itu dengan kamera film. Anda menyimpan film itu? Film itu milik TVRI. Saya tidak menyimpan kopinya. Setelah pengambilan gambar di Lubangbuaya, Kapuspen Hankam Brigjen Sugandi mengatakan kepada saya, "Hen, tolong kamu siarkan film beberapa kali setiap malam selama beberapa hari agar bisa dilihat oleh banyak orang. Saya jawab, "Saya hanya juru kamera, Pak. Yang memutuskan pimpinan saya di TVRI." Pak Supandi kemudian menemui sendiri Direktur TVRI ketika itu, Kadiono. Berapa lama TVRI memutar film itu? Tiga malam berturut-turut. Sampai kemudian Wakil Perdana Menteri I Soebandrio menyetop penayangannya. Saya berpikir, film itu bisa jadi masalah karena menimbulkan pertentangan antara ABRI dan Waperdam Soebandrio. Maka, saya mengusulkan agar film itu disimpan di Pusat Penerangan Angkatan Darat saja, di bawah pengawasan Brigjen Ibnu Subroto. Tidak lama kemudian Pak Ibnu Subroto meninggal. Setelah meninggalnya Jenderal Ibnu, kan sempat tersiar kabar bahwa "film Lubangbuaya" itu hilang? Benar. Kabar itu memang tersiar. Dan saya sudah tidak tahu keberadaan film itu, sampai sekitar tahun 1979 saya bertemu dengan Asisten Intelijen KSAD, Mayor Jenderal Harsojo. Dia bertanya apakah saya ingat siapa saja yang berada di sekitar podium ketika D.N. Aidit berpidato di Hall A Senayan pada 30 September 1965. Saya bilang, "Wah, sulit, Pak. Di TVRI tidak ada jaminan barang itu ada. Film Lubangbuaya saja hilang." Saat itu Jenderal Harsojo mengatakan film itu ada padanya. Jadi, Jenderal Ibnu menyerahkan film itu kepada Jenderal Harsojo? Rupanya begitu. Dan TVRI kemudian mendapatkan satu kopi. Belajar dari pengalaman?dan mengingat film itu menjadi dokumen penting?saya mengusulkan agar film itu digandakan dalam beberapa kopi. Kini film itu di Arsip Nasional. Di luar peristiwa 1965, Anda punya sejumlah liputan eksklusif lain yang tidak bisa disiarkan?karena kondisi politik pada masa itu. Misalnya, masuknya Indonesia ke Timor Timur. Apa yang mula-mula terpikir untuk Anda liput saat mendarat di Dili pada 1975? Mendapat cerita eksklusif sebanyak mungkin dari tangan pertama. Dan saya memang mendapatkan banyak laporan menarik. Hanya semuanya tidak bisa disiarkan. Bisa beri beberapa contoh liputan eksklusif? Saya mendapatkan kisah perebutan Batugade (sebuah kota perbatasan dengan Indonesia). Waktu itu pasukan kita dipimpin oleh Sutiyoso (sekarang Gubernur DKI Jakarta). Serangan kita ke Viequeque juga laporan eksklusif tetapi semua tidak bisa disiarkan. Lalu liputan tentang para pengungsi yang kita latih di Atambua. Saat itu kami hanya menyiarkan ada 40.000 pengungsi yang diurus Pemda. Tetapi kami tidak bisa menyiarkan kisah-kisah "belakang panggung" tentang pengungsian itu. Anda menyebut "pengungsi yang kita latih di Atambua". Siapa yang melatih mereka? Saya memprediksi tentara. Kalau bukan tentara, mana bisa mereka melatih? Tetapi sulit mengetahui identitas kesatuan. Sejak awal, operasi di Tim-Tim itu merupakan operasi intelijen. Mereka memakai baju sipil, bukan seragam. Sampai Kolonel Dading Kalbuadi (Komandan Operasi Flamboyan, operasi intelijen terbatas di Tim-Tim sebelum penyerbuan) hanya mengenakan kaus oblong dengan celana blue jeans. Sehingga, ada istilah the blue jeans soldiers. Rekaman Anda selama liputan di Tim-Tim kemudian menjadi sejumlah film dokumenter. Mana versi yang paling lengkap? Peran TNI Angkatan Udara dalam Operasi Seroja. Saya mewawancarai Lopez da Cruz melalui suatu penyusupan. (Da Cruz adalah mantan duta besar keliling Indonesia dan pemimpin Unido Democratica Timorense, salah satu partai penanda tangan Deklarasi Balibo yang mendukung integrasi dengan Indonesia). Saya merekam gambar Lopez da Cruz?ciri khasnya ia selalu membawa tas kulit warna hitam yang berisi dokumen. Juga tokoh Deklarasi Balibo lainnya, Maria Goncalves. Film itu saya rekam dengan kamera video 16 milimeter. Semua ini menjadi bagian dari film dokumenter. Salah satu kisah dari Tim-Tim yang masih tetap kontroversial sampai sekarang adalah terbunuhnya lima wartawan Australia pada 16 Oktober 1975. Seberapa detail liputan Anda tentang kasus ini? Presiden Fretilin Fransisco Xavier do Amaral telah melarang mereka pergi ke perbatasan karena situasi yang sangat berbahaya. Karena nekat, mereka bilang hanya mau pinjam kendaraan. Soal risiko, menurut sumber saya, para wartawan itu mengatakan itu risiko mereka sendiri. Sekarang Australia ribut setengah mati soal ini. Tertembak dan mati memang risiko setiap wartawan yang masuk ke daerah perang. Anda sempat membuat film selagi jenazah para wartawan itu belum terbakar? Itu operasi intelijen yang amat tertutup. Saya tiba di sana ketika rumah?tempat jenazah tiga wartawan Australia itu dibunuh?sudah habis terbakar. Ada hal aneh yang Anda lihat dari lokasi itu? Saya bicara dengan seorang sumber yang menyaksikan rumah itu terbakar. Jadi, itu toko milik orang Cina dengan beberapa drum minyak. Tapi, soal keanehan yang Anda tanyakan itu: ya. Maksud Anda? Bila terbakarnya rumah itu dengan alasan terkena mortir, sisa kebakaran itu terlalu "bersih". Habis sama sekali. Tetapi kita harus menghitung kemungkinan drum-drum minyak yang ada di toko Cina itu. Jika betul-betul "bersih" terbakar, bagaimana bisa ada identifikasi ada lima wartawan Australia di rumah itu yang juga habis terbakar? Itu informasi yang saya dapatkan dari wawancara dengan Ketua Apodeti Maria Goncalves. Saya sendiri tidak bisa melihat kejadiannya karena baru tiga hari kemudian saya tiba di tempat itu. Tidak ada satu pun anggota militer kita mau bicara. Satu-satunya sumber yang bisa saya wawancarai, ya, Goncalves. Menurut Anda, apakah masuk akal penjelasan versi Australia menyebut nama perwira ABRI seperti Kapten Yunus Yosfiah (kini letjen purn. TNI) dan Letnan Slamet Kirbiantoro itu ada di balik pembunuhan para wartawan tersebut? Sulit. Operasi intelijen saat itu amat tertutup. Kita sulit mengenali tentara. Semua pasukan baret merah memakai nama sandi. Kapten Yunus Yosfiah dipanggil Mayor Andreas. Mayor Tony Sumardjo dipanggil Anton Papilaya. Jadi, kalau ada orang yang berani menyebut bahwa ada penembakan yang dilakukan oleh Slamet Kirbiantoro, ini meragukan. Kalau penjelasan pihak Australia meragukan, mengapa Indonesia selalu terpojok dalam kasus kematian wartawan Australia ini? Karena pemerintah kita tidak pernah memberikan penjelasan detail. Apalagi kemungkinan rumah itu terbakar terkena mortir masih meragukan. Jadi begini: kedua versi, Indonesia dan Austrialia, menurut saya, harus dilihat secara fifty-fifty. Anda tidak punya sumber di kalangan intelijen sendiri yang bisa menjelaskan mengapa Australia bisa menuding TNI di balik kematian lima wartawannya, bahkan secara spesifik menyebut nama Yunus Yosfiah? Begini. Pada waktu itu Indonesia masih melakukan operasi intelijen terbatas, Operasi Flamboyan. Mereka tertutup sekali terhadap wartawan. Peliputan media massa Indonesia saat itu hanya lima orang. Wartawan Angkatan Bersenjata Djumario, wartawan Antara Saleh Kamal, saya sendiri, serta dua kru TVRI, Tampubolon dan Utjin Nusirwan. Jadi, yang masuk betul-betul cuma media pemerintah? Walaupun media pemerintah, tidak semua gerakan militer itu kami liput, seperti saat wartawan Australia terbunuh di Balibo itu. Kami tidak dapat menyaksikan kejadian sebenarnya. Benarkah ada pembunuhan massal yang dilakukan TNI pada warga sipil Tim-Tim? Korban dalam pertempuran selalu ada. Tapi pembunuhan massal oleh TNI, setahu saya, tidak ada. Pembunuhan massal justru dilakukan Fretilin di Aileu dan Same. Korbannya banyak sekali. (Hendro lalu memperlihatkan dokumen berisi daftar pembunuhan massal oleh tim investigasi Tim-Tim dan menunjukkan foto koleksinya tentang pembunuhan massal itu.) Isu tentang pemerkosaan wanita dan pembunuhan penduduk sipil oleh TNI santer sekali pada masa perang serta pascaperang. Anda tidak mendengarnya sedikit pun selama di sana? Saya tidak menutup mata. Jika ada pemerkosaan, mungkin hanya satu-dua. Cerita itu kemudian dibesar-besarkan untuk menyudutkan Indonesia. Menurut saya, salah satu penyebab lepasnya Tim-Tim dari kita adalah kekalahan perang informasi. Sebagai wartawan, apa saja tindakan militer Indonesia di Tim-Tim yang mengusik nurani Anda? Ada bombardemen dari laut. Ada penembakan udara dan pengeboman dari udara. Karena penembakan dan pengeboman ini tentu saja tidak bisa selektif, dan bisa menimpa orang sipil. Pernah merasa terganggu karena orang melecehkan hasil liputan Anda, semata-mata karena Anda bekerja untuk media pemerintah? Kalau dikatakan Hendro orangnya pemerintah? Tidak masalah. Memang benar bekerja untuk pemerintah. Dan lembaga pemerintah inilah yang punya kebijakan terhadap semua hasil liputan saya. Tapi Anda jangan lupa, saya juga warga negara Indonesia, yang mencintai dan setia kepada negeri ini dengan sepenuh hati. Jadi, kita harus melihat soal ini dari dua sisi. Dan bagaimana Anda menerima kenyataan ini: begitu banyak liputan eksklusif yang harus "disisir" sebelum TVRI menyiarkannya ke publik? Saya sadar kepada siapa saya bekerja. Tapi independensi sebagai wartawan membuat selalu ada ganjalan dan rasa kecewa. Peristiwa di Tim-Tim, misalnya, itu hasil kerja dari berbagai pihak. Pemerintah turut serta di dalamnya, tapi pemerintah selalu menghendaki mereka kelihatan bersih. Pernah saya bertanya pada diri sendiri: mengapa saya harus mempertaruhkan hidup saya untuk menanggung kekecewaan dan ganjalan-ganjalan itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo