PALANGKARAYA senyap, setenang aliran Sungai Kahayan yang membelah ibu kota Kalimantan Tengah itu. Hanya tampak beberapa kendaraan bermotor melintasi jalan utama dari Bandara Tjilik Riwut ke arah kota. Atribut yang mencolok mata adalah pita-pita merah tersebar di mana-mana. Ada pita merah yang ditalikan di kaca spion mobil, diikatkan di kepala pengendara motor, atau ditalikan di tiang-tiang listrik. "Pita merah itu adalah simbol orang Dayak," kata Ranan Baut, demang kepala adat suku Dayak, Kalimantan Tengah.
Suasana Palangkaraya memang berubah mencekam setelah kerusuhan antara etnis Madura dan Dayak di Sampit, Kotawaringin Timur, merembet ke ibu kota itu sejak pertengahan minggu lalu. Bundaran di pusat kota tak lagi gemerlap. Setiap ujung jalan dipasangi portal dari susunan meja dan kursi, kantor dan sekolah diliburkan.
Di sampit sendiri, kondisi lebih mengenaskan terjadi: kerangka rumah, kepulan asap hitam, dan bau bangkai.
Sebenarnya, polisi sudah menangkap dua tersangka yang diduga keras sebagai pemicu kerusuhan, yaitu Fedlik Aser, 40 tahun, dan Lewis, 40 tahun. Kedua orang itu juga sudah dibawa ke Mabes Polri, Jakarta, 25 Februari 2001. Tapi, bagaimana tepatnya peran kedua orang itu dalam kerusuhan, belum jelas. Polisi tidak bersedia menceritakannya.
Namun, menurut penelusuran TEMPO di lapangan, seorang warga Sampit melihat Fedlik dan Lewis berkeliling Kota Sampit mengendarai mobil pelat merah pada malam menjelang kerusuhan, Sabtu malam (17 Februari 2001), sambil memberi peringatan agar penduduk tidak keluar malam itu karena Dayak akan berburu.
Seorang saksi, H. Ruslan A.S., pengusaha di Pangkalanbun, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat, menceritakan bahwa Fedlik datang menemuinya pada Senin 19 Februari 2001. "Dia tampak lusuh, mengenakan celana pendek, dan tampak tergesa-gesa menyatakan akan ke Pontianak," kata Ruslan. Ruslan mengaku langsung menghubungi polisi setelah mengetahui bahwa Fedlik diduga terlibat kerusuhan.
Siapa Fedlik dan Lewis? Fedlik adalah Kepala Bidang Fisik dan Prasarana Kantor Bappeda Kabupaten Kotawaringin Timur, sekaligus salah satu tokoh paguyuban masyarakat Dayak, tempat berhimpun 15 subetnis Dayak. Sedangkan Lewis, ipar Fedlik, adalah seorang pejabat di Dinas Kehutanan Kal-Teng.
Adapun target mereka berdua adalah untuk menggagalkan pelantikan 10 pejabat baru eselon I, II, dan III untuk mengisi struktur baru otonomi daerah, pada 19 Februari 2001. Semua pejabat yang akan dilantik itu beragama Islam. Untuk itu, Fedlik dan Lewis tidak terima. Sebab, sebelumnya, ketika jabatan ketiga eselon itu masih diisi oleh 20 orang, agama pemegang jabatan itu imbang. Kedua orang itu juga menginginkan Wahyudi K. Anwar, Bupati Kotawaringin Timur yang baru menjabat 10 bulan itu, turun.
Benarkah demikian konflik Sampit terpicu? Belum ada jawaban yang pasti. Tapi, kemudian ada kontroversi yang muncul. Ketua Front Pembela Islam (FPI) Al-Habib Muhammad Rizieq menyatakan bahwa konflik itu adalah konflik agama. FPI menyebarkan selebaran pernyataan sikap itu, Selasa pekan lalu.
Pernyataan itu secara kor dibantah oleh berbagai pihak, termasuk oleh Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri. Mereka berpendapat bahwa konflik Sampit adalah konflik etnis, bukan agama. "Buktinya, tidak ada satu rumah ibadah pun yang dibakar," kata Bupati Wahyudi. Dan memang, baik masjid maupun gereja tidak tersentuh sedikit pun, meskipun bangunan rumah di sekitarnya luluh-lantak.
Di koridor lain, ada cerita bahwa sebenarnya intensitas ancaman kelompok masyarakat Dayak terhadap orang-orang Madura sudah tinggi sejak awal Januari 2001. Adalah Yayasan Al-Miftah, sebuah yayasan yang berbasis di Sumenep (Madura) dan memiliki cabang di Sampit, yang sudah melaporkan ancaman-ancaman itu kepada presiden, DPR, dan Kapolri, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras). Bahkan Kontras sudah mengirimkan tim sejak pertengahan Januari lalu, sehingga mereka ada di tempat kejadian ketika kerusuhan meletus.
Fedlik dan Lewis?jika benar mereka provokator?pada akhirnya hanya picu belaka. Konflik Madura vs Dayak telah lama mengakar. Dan untuk memahami akar konflik, yang paling mungkin dilakukan adalah melacak ke belakang arus datangnya etnis Madura ke Kalimantan Tengah.
Perpindahan penduduk Madura ke Sampit mencapai jumlah yang signifikan pada saat dimulai Proyek Jalan Kalimantan, jalan raya yang menghubungkan Sampit dengan Palangkaraya (220 km), pada 1957. Orang-orang Madura pendatang itu pada umumnya bekerja sebagai buruh kasar untuk membangun jalan dan membuka hutan. Saat ini, penduduk Sampit 20 persen Dayak, 20 persen campuran, dan 60 persen Madura.
Padahal, Presiden Sukarno sebenarnya sudah membuat kebijakan "kapling" Kalimantan: Kal-Teng untuk masyarakat Dayak, Kalimantan Selatan untuk orang Banjar, Kalimantan Timur dan Barat untuk campuran. Jabatan-jabatan penting di kawasan itu diberikan kepada orang setempat.
Nah, pada masa Orde Baru, ternyata pembagian itu tidak diperhatikan lagi. Justru banyak orang Jawa yang menduduki jabatan di sana. Itu masih ditambah dengan gelombang pendatang, mayoritas dari Jawa, melalui program transmigrasi pemerintah. Akhirnya, masyarakat Dayak terpinggirkan di berbagai sektor.
"Dalam proses itu kadang terjadi kekerasan yang dilakukan oleh saudara-saudara kita orang Madura. Dan ini terlihat terpola," kata Prof. H. K.M.A. Usop, mantan Rektor Universitas Palangkaraya dan tokoh masyarakat Dayak.
Pada akhirnya, suku Dayak menjadi "tidak aman" tinggal di tanah sendiri. Karena merasa tidak aman, suku Dayak mencari koalisi untuk rasa aman. Peristiwa pada Oktober dan November 1967 di Kalimantan Barat adalah contohnya. Ketika itu terjadi perang antara Dayak dan etnis Cina, dengan korban 300 orang, dan 55 ribu etnis Cina diungsikan.
Tragedi itu sebenarnya adalah ekor dari peristiwa G30S. Etnis Cina di Kalimantan Barat dituduh komunis oleh tentara Indonesia dan mendukung Pasukan Gerilyawan Serawak (PGRS). Nah, tentara ingin "memakai" suku Dayak untuk membasmi Cina yang komunis. Kemarahan suku Dayak terpancing dengan terbunuhnya seorang tokoh Dayak.
Tapi, beberapa tahun kemudian, konflik bukan lagi antara etnis Dayak dan Cina, melainkan antara Dayak dan Madura--dan hampir senantiasa berdarah.
Pada 1983 terjadi kerusuhan yang tidak terlalu besar di Bukit Batu, Kotawaringin Timur. Ketika reda, para pemuka Dayak dan Madura membuat satu kesepakatan. Menurut Ranan Baut, Demang Kepala Adat Suku Dayak, di depan Kapolda Kalimantan Tengah dan Bupati Kotawaringin Timur pada waktu itu, tokoh masyarakat Madura kemudian menantangani perjanjian. Isinya:"apabila warga Madura menimbulkan pertumpahan darah terhadap orang Dayak, maka secara sukarela dan lapang dada tanpa dipaksa warga Madura bersedia meninggalkan Kalimantan Tengah".
Namun, konflik tidak berhenti. Dan kerusuhan berikutnya, barangkali karena perjanjian tadi, selalu jauh lebih berdarah. masyarakat Dayak memiliki dalih untuk mengusir orang Madura.
Pada Desember 1996 dan Maret 1997, terjadi kerusuhan Sanggauledo, yang diawali dengan ditusuknya dua orang pemuda Dayak oleh orang Madura. Korban tewas 500-2.000 orang, dan sekitar 2.000 orang Madura diungsikan.
Jadi, sebenarnya konflik etnis Dayak tidak selalu dengan etnis Madura. Nah, yang terjadi di Sampit, konflik lebih disebabkan oleh gesekan-gesekan ketidakcocokan perilaku antara Dayak dan Madura. Menurut beberapa orang Dayak di Sampit yang diwawancarai TEMPO?termasuk para pemuka adatnya?orang Madura suka mencuri dan melakukan tindak kriminal lain. Toh, mereka mengaku tidak punya masalah dengan etnis pendatang lain, seperti Bugis dan Jawa.
Benar-tidaknya uji petik yang dilakukan TEMPO dengan mewawancarai orang-orang Dayak di Sampit itu masih harus dibuktikan dengan penelitian yang lebih serius. Lagi pula, menurut Human Right Watch, sampai sekarang tidak ditemukan sebuah dokumen netral yang menjelaskan konflik etnis di Kalimantan. Kebuntuan yang sama juga terjadi pada konflik-konflik seperti di Aceh, Maluku, Sambas, dan Poso.
Sebenarnya, taruhan yang lebih penting kini adalah keutuhan Indonesia sebagai negeri kesatuan. Menurut Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, melemahnya kekuasaan negara atau "kegagalan negara" bisa mengarahkan dunia ke situasi anarki. Fenomena seperti pecahnya otoritas pemerintah, pecahnya negara, semakin intensifnya konflik etnis dan agama, pengungsi yang jumlahnya menjadi puluhan juta, dan pembunuhan etnis merupakan unsur chaos itu.
Apa yang diramalkan Huntington sebenarnya sudah terjadi. Contoh yang paling besar adalah Yugoslavia, yang terpecah belah segera setelah Josip Broz Tito meninggal dunia pada 1980. Tito, yang dipuja berhasil menyatukan Yugoslavia, yang terdiri dari berbagai etnis?Kroasia, Bosnia, Albania, Slovenia?dan memiliki bibit pertikaian sejak abad awal, ternyata hanya bisa menunda ledakan. Selama berkuasa (1921-1980), Tito?berayah Kroasia dan ibu Slovenia?berhasil bermain di antara etnis-etnis yang bertikai.
Akhirnya, Yugoslavia tidak pernah kembali seperti semula. Semenanjung Balkan tetap terpecah, bertikai tanpa penyelesaian. "Kelompok masyarakat yang mendasarkan identitas nasional pada etnis mereka tidak akan mampu hidup berdampingan," kata Dr. Bob Donnorummo, seorang ahli Balkan dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat. Apakah demikian juga Indonesia?
Bina Bektiati, Edy Budiyarso, Darmawan Sepriyossa (Jakarta), L.N. Idayanie (Yogyakarta), Tomi Lebang (Sampit dan Palangkaraya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini