PENGUNGSI itu sudah ibarat pepes. Di halaman Kantor Bupati Kotawaringin Timur, Sampit, Kalimantan Tengah, 23 ribu orang berdesak-desakan dalam lahan seluas setengah hektare. Dengan hitung-hitungan kasar, kamp pengungsi itu benar-benar sebuah neraka yang sesak: setiap satu meter persegi tanah dipadati oleh empat manusia. Ibu-ibu, para lelaki, anak-anak, dan orang tua, mereka yang sehat atau sakit, berbaur dalam tenda-tenda darurat yang kumuh. Sebagian memenuhi ruang dalam kantor kabupaten yang berlantai dua itu. Sebagian lainnya tergolek di trotoar jalan yang berdebu.
Pengungsi di Kantor Bupati Kotawaringin Timur hanyalah sebagian dari warga Madura yang mencari perlindungan menyusul pecahnya konflik etnis di Sampit, 20 Februari lalu. Hampir 500 orang tewas terbunuh dalam rusuh itu. Selain itu, diperkirakan 10 ribu orang hingga kini masih bersembunyi di hutan-hutan lebat di sekitar Kotawaringin Timur. Hampir 40 ribu orang telah menyeberang ke Surabaya dan Semarang, sementara 5.000 orang lainnya menempati pos TNI Laut Bagendang, Samuda, sekitar 40 kilometer dari Sampit. Semua dalam kondisi yang menyedihkan dengan nasib tak menentu.
Di kamp pengungsian Kotawaringin Timur, orang-orang hidup tanpa standar kesehatan yang memadai. Sampah berserakan di mana-mana. Bau mi rebus masakan para ibu berbaur dengan aroma kotoran manusia yang dibuang di sembarang tempat. Di beberapa kawasan, lumpur naik hingga mata kaki akibat tak adanya saluran drainase.
Bahan makanan tak mencukupi. Meski bantuan dari berbagai lembaga sosial sudah mulai datang, jumlahnya tetap tak memadai. Jikapun ada yang menjual makanan, harganya melonjak tinggi. Sebungkus Indomie dihargai Rp 2.000. Karena tekanan hidup yang berat itulah pekan lalu seorang pengungsi nekat menggantung diri.
Pengungsi di Kantor Kabupaten Kotawaringin Timur datang dari berbagai pelosok kawasan itu. Sebutlah misalnya Sarimin, nenek renta berusia 85 tahun. Ia datang dari Kampung Tumeangang, Kecamatan Baamang, sekitar 10 kilometer dari lokasi pengungsian. Pada hari nahas itu, ia mendengar bahwa warga Dayak yang mengamuk sudah sampai di muka desa dan membantai warga Madura yang mereka temukan.
Menantu Sarimin, Halil, segera mengumpulkan keluarganya. Dengan bekal seadanya, keluarga yang terdiri atas nenek, anak, menantu, dan dua cucu itu berlari menuju hutan Sungai Trantang, yang berjarak sekitar 10 kilometer dari Kampung Tumeangang. Sarimin, yang berkebaya dan bersarung, ikut berlari meski tersaruk-saruk. "Beberapa kali Ibu jatuh, tapi suami saya memegang lengannya," kata Intan, anak Sarimin. Perih luka karena tertusuk semak berduri tak dirasakan lagi. Beberapa kali pula kaki mereka terperosok ke rawa-rawa.
Menjelang dini hari, mereka sampai di tengah hutan. Di sebuah tanah datar, mereka mendirikan tenda untuk berlindung. Selama delapan hari, bersama pengungsi lain, keluarga itu bertahan di sana. Untuk mengganjal perut, mereka makan apa saja, termasuk singkong hutan yang banyak tumbuh di sana. "Kami juga makan daun dan batang tanaman yang lunak," kata Sarimin.
Beruntung, 28 Februari lalu, keluarga malang itu ditemukan seorang pencari ikan Bugis yang tengah melayari Sungai Trantang. Mereka lalu diantar hingga Pelabuhan Sampit untuk kemudian dikumpulkan di halaman kantor bupati. "Saya tak tahu harus ke mana lagi sekarang. Di Madura, saya tidak kenal siapa-siapa lagi," kata nenek yang tinggal di Sampit sejak zaman Belanda itu.
Kisah serupa disampaikan Asmat, pengungsi lainnya. Seperti Sarimin, petani sayur berusia 50 tahun itu mengungsi ke hutan bersama istri dan delapan anaknya dengan putri terkecil berusia dua setengah tahun. Keluarga yang tinggal di tepi Sungai Paring, sekitar sembilan kilometer di luar Kota Sampit, itu lari ke hutan tanpa bekal, kecuali terpal dan uang tabungan. Entah berapa jam mereka berlari tak tentu arah, sampai pada suatu subuh, mereka tiba di sebuah hutan lebat. Di sanalah mereka tinggal selama lebih dari sepekan.
Namun, karena kelaparan, keluarga itu akhirnya memutuskan untuk keluar dari rimba. Di pinggir hutan, mereka bertemu dengan seorang penduduk lokal, yang lalu mempertemukan mereka dengan Juhri, kepala desa setempat. Tapi, alih-alih menolong, Juhri malah meminta uang imbalan untuk mengantar Asmat dan keluarganya ke Pelabuhan Sampit. "Saya serahkan uang Rp 4,5 juta," kata Asmat lirih. Dari pelabuhan, mereka dibawa tentara ke kamp penampungan.
Pemerasan memang sebuah derita lain yang dialami pengungsi Sampit. Selain oleh aparat desa, umumnya praktek ini dilakukan oleh polisi. Menurut Asmat, agar bisa diangkut truk ke Pelabuhan Sampit untuk kemudian dilayarkan ke Semarang atau Surabaya, pengungsi harus membayar Rp 1,5 juta per truk. Meski ada ketentuan bahwa yang bisa dibawa pergi adalah mereka yang minimum telah 10 hari di kamp penampungan, peraturan itu bisa dilanggar. Semuanya tergantung fulus.
Untuk masuk kapal di Pelabuhan Sampit, para pengungsi juga harus merogoh kocek lagi. Harganya tidak begitu jelas. Tapi, menurut beberapa pengungsi, warga Madura yang didahulukan berangkat umumnya adalah mereka yang bekerja untuk perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH). Maklum, pegawai HPH umumnya punya lebih banyak uang. Praktek pungutan liar itu mula-mula dijalankan oleh polisi lokal yang bermarkas di muka kamp pengungsi Kotawaringin Timur. Belakangan, polisi bantuan yang didatangkan dari Kesatuan Brigade Mobil Kelapadua menjalankan praktek yang sama.
Bukan cuma jasa angkutan yang mereka proyekkan. Mobil dan motor milik pengungsi juga dibeli polisi dengan teknik injak kaki. Para pengungsi memang tak punya banyak pilihan. Dalam suasana tak menentu, menyimpan uang tunai lebih menguntungkan daripada menyimpan kendaraan bermotor.
Harga yang dibayar aparat kelewat murah. Sebuah jip Nissan Terano keluaran tahun 2001 milik pengusaha Madura, misalnya, dilego hanya dengan harga Rp 10 juta. Padahal, di pasaran, harga resminya hampir Rp 200 juta. "Kata polisi, lebih baik dijual daripada dibakar massa," ujar Nurdin, seorang pengungsi di sana. Sebuah mobil Toyota Kijang keluaran tahun 2001 berwarna krem milik pengungsi lainnya juga dijual ke polisi dengan harga Rp 5 juta.
Harga sepeda motor ikut jatuh. Sepeda motor baru umumnya dijual dengan harga Rp 1 juta. Jika kondisinya sudah tak baik, harganya lebih ambrol. Bahkan, sebuah Yamaha Vega tahun 2000 pernah dibeli polisi hanya dengan imbalan tiga dus mi instan.
Menurut seorang pengungsi, mobil dan motor milik mereka itu lalu dijual lagi kepada penadah yang sudah siap menanti. Harganya bisa berkali-kali lipat meski tentu saja jauh lebih murah dari harga pasaran. Penadah itu umumnya adalah warga non-Madura yang tinggal di Kalimantan Tengah. "Saat ini, kalau mau mendapat kendaraan dengan harga miring, datang saja ke polisi. Ditanggung sebentar saja Anda sudah memperolehnya," kata seorang pengemudi mobil carteran trayek Palangkaraya-Sampit kepada TEMPO.
Tapi hal ini dibantah Kepala Kepolisian Resor Kotawaringin Timur, Komisaris Polisi Petrus Hardono. "Tidak ada itu. Kita tidak pernah mengenakan tarif kepada pengungsi. Kita ini sekadar menjalankan tugas," katanya.
Terlepas dari bantahan polisi, praktek suap ini tak cuma meresahkan warga yang kesusahan, tapi juga menimbulkan konflik di antara aparat keamanan sendiri. Baku tembak polisi dan tentara yang terjadi di Pelabuhan Sampit, 27 Februari lalu, terbukti disebabkan oleh praktek amoral tersebut. Ketika itu, polisi berniat memasukkan ke kapal beberapa pengungsi yang diduga telah menyuap. Tapi aksi ini dicegah tentara.
Meski para pengungsi itu telah menyuap, tak ada yang menjamin hidup mereka bisa lebih baik. Seperti Sarimin, banyak warga Madura yang sudah tak punya famili lagi di tanah kelahirannya. Jikapun ada, tak semuanya bisa tertampung. Apalagi, Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang menjadi tempat pengungsian, bukan daerah yang kaya. Pemerintah Jawa Timur mulai terdengar mengeluh tentang ledakan pengungsi di daerah ini.
Yang tertahan di Kotawaringin dan di hutan-hutan Sampit juga belum jelas masa depannya. Menurut Farid Yusran, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kotawaringin Timur yang mengoordinasi pencatatan pengungsi warga suku Madura, pengungsi yang bertahan di hutan diperkirakan banyak yang mati. Pihaknya kini sedang berusaha mengevakuasi mereka, meski itu bukan perkara mudah karena hutan di Kotawaringin 5 juta hektare luasnya.
Pengungsi yang tinggal di kantor kabupaten juga tak jelas sampai kapan akan bertahan. Jangankan mereka, pengungsi korban kerusuhan Sambas beberapa tahun lalu yang kini tinggal di beberapa kamp penampungan di Pontianak saja hingga sekarang belum tertangani.
Derita pengungsi Sampit memang belum akan berakhir. Sarimin, Asmat, dan ribuan rekan mereka akan tetap menanggung sulitnya hidup sebagai orang yang terusir. Entah sampai kapan.
Arif Zulkifli, Tomi Lebang (Sampit)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini