Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH ruangan khusus akan disiapkan. Kamar itu terpisah dari ingar-bingar ruang utama, tempat pertunjukan striptease digelar tiap malam. Scores, rumah hiburan di satu sudut Kota New York, Amerika Serikat, berjanji hendak mendesain kamar itu sesuai dengan keinginan calon penghuninya, yang akan mereka dudukkan sebagai direktur sumber daya manusia, Tiger Woods.
”Kami yakin Anda paham dan ahli untuk menduduki jabatan tersebut,” tulis pengelola klub tari telanjang itu dalam surat terbukanya di satu media kecil awal pekan lalu. Scores juga menyodorkan tawaran kepada pegolf nomor satu dunia itu kontrak iklan seharga US$ 1 juta (sekitar Rp 9,4 miliar) per tahun. ”Seperti yang kami ketahui bahwa Anda kehilangan sponsor-sponsor produsen olahraga semacam Gillette dan Gatorade, kami pikir Anda mungkin tertarik untuk mengikat kontrak iklan dengan kami.”
Entah cemooh, entah serius. Fakta yang dikemukakan pengelola Scores benar adanya: bahwa sponsor besar mulai meninggalkan Woods. Namun, bila menilik angka yang disodorkan, tawaran itu seperti main-main: nilai kontrak dari Scores cuma satu persen dari uang sponsorship yang pernah diberikan perusahaan minuman Gatorade kepada Woods, US$ 100 juta.
Sodoran dari Corona Cigar Co., perusahaan cerutu lokal dari Orlando, lebih ”gila”, cuma US$ 100 ribu, hanya 10 persen dari tawaran Scores. ”Saya tidak tahu apakah tawaran kami sangat kecil baginya. Yang saya tahu dia terkadang menikmati cerutu,” tutur pendiri Corona, Jef Borysiewicz, serius.
Setelah skandal perselingkuhannya dengan belasan perempuan terungkap ke publik, akhir November lalu, Woods berubah dari sosok yang sangat dihormati—atlet dengan prestasi menjulang, ”pejuang” kesetaraan ras bagi sebagian orang, lelaki yang menjunjung tinggi nilai-nilai keluarga—menjadi figur bahan ejekan.
Situs dailycomedy.com mengumpulkan lelucon tentang si Macan. Game animasi berjudul Tiger Hunting yang berisi olok-olok kepadanya dimainkan puluhan juta orang. Disneyland California Adventure Park, taman hiburan keluarga di Anaheim, bahkan menjadikannya bahan ejekan. ”Aku sudah mengingatkan dia 15 kali agar tidak lagi membuat seorang wanita jatuh cinta kepadanya,” kata jin dalam kisah Aladdin, yang dipertunjukkan di Disneyland dua hari sebelum Natal.
Menurut survei yang diadakan Argyle Executives Forum, 76 persen dari 600 lebih eksekutif pemasaran menjawab ”membatalkan” saat ditanya apakah mereka akan meneruskan kemitraan bisnis dengan Woods. Sebagian besar beralasan merosotnya citra Woods bakal berimbas ke penjualan produk mereka.
Inilah ironi Woods. Seorang yang sebelumnya menjadi magnet bagi sponsorship dari perusahaan-perusahaan besar kini menjadi tak bernilai. Ibaratnya, dari bernilai birdie (satu pukulan di bawah par), bahkan double eagle (tiga pukulan di bawah par), sosok Woods merosot menjadi triple bogey (tiga pukulan di atas par).
Pria yang berulang tahun ke-34 pada Rabu pekan lalu itu berstatus terkaya di dunia. Menurut perhitungan majalah ekonomi ternama, Forbes, memasuki musim kejuaraan 2009, Woods sudah mengumpulkan kekayaan US$ 895 juta, dihitung dari uang hadiah, uang penampilan, kontrak iklan, bonus, dan penjualan desain course (lapangan golf)-nya. Ditambah uang hadiah US$ 10,5 juta dari berbagai kejuaraan dan bonus US$ 10 juta sebagai pemenang FedEx Cup tahun ini, Woods menjadi atlet pertama yang mampu mengumpulkan kekayaan US$ 1 miliar (sekitar Rp 9,4 triliun).
Konsultan manajemen Accenture menjadi perusahaan pertama yang mengumumkan dengan tegas tak lagi memperpanjang kontrak sponsor dengan Woods. Mereka sudah bekerja sama selama enam tahun dengan nilai kontrak US$ 7 juta. ”Mengamati perkembangan dua pekan terakhir, setelah melalui pertimbangan dan analisis cermat, perusahaan memutuskan dia bukan lagi figur yang tepat bagi kami,” tulis Accenture dalam pernyataan resminya, pertengahan Desember lalu.
Produsen pisau cukur Gillette mengikuti langkah Accenture. Produsen jam Tag Heuer juga memutuskan menghentikan kontrak kerja yang telah terjalin tujuh tahun. Begitu pula dengan produsen minuman berenergi Gatorade. Meski begitu, Gatorade menyatakan bahwa alasan pemutusan hubungan tak ada kaitannya dengan skandal seks itu. Menurut survei, Gatorade Tiger, produksi yang menggunakan merek Woods, memang mengalami penurunan penjualan sejak akhir 2008.
Menurut penelitian Victor Stango, profesor ekonomi dari Universitas California, Davis, potensi kerugian yang ditimbulkan dari merosotnya Woods jauh lebih besar daripada nilai-nilai kontrak Woods. Bahkan jauh di atas kekayaan Woods.
Stango memfokuskan penelitian pada sembilan sponsor utama: Accenture, American Express, AT & T, Electronic Arts, Gillette, Nike, Gatorade, TLC Laser Eye Centers, dan Golf Digest. Survei diadakan pada 13 hari sejak terungkapnya skandal, 27 November lalu.
”Kerugian pemegang saham secara keseluruhan dapat melebihi pendapatan Tiger Woods selama berpuluh tahun,” kata Stango. Penelitian Stango menyimpulkan perusahaan yang terafiliasi dengan iklan Woods mengalami penurunan nilai saham 2,3 persen, atau US$ 12 miliar (sekitar Rp 113 triliun), atau 12 kali dari pendapatan Woods sepanjang karier profesionalnya sejak 1996.
Stango tidak melakukan penelitian terhadap kemungkinan kerugian di dunia golf akibat absennya Woods mulai musim depan. Menurut AC Nielsen, jumlah penonton televisi yang menyaksikan siaran langsung golf berpotensi turun 50 persen. Turunnya rating, tentu saja, akan menurunkan pendapatan televisi dari iklan. Belum lagi dari merosotnya penonton yang menyaksikan langsung di lapangan.
Semua menjauhi Tiger? Tidak juga. Nike, misalnya, tetap setia. Begitu pula dengan produsen video game yang berisi permainan Woods, Electronic Arts. Begitu pula dengan produsen kartu dan memorabilia, Upper Deck. ”Tiger dan keluarganya mendapat dukungan penuh dari kami, kami menunggu kembalinya Woods di ajang Tur PGA,” Direktur Eksekutif Upper Deck, Richard McWilliam, menegaskan.
Di luar ”teman-teman lama”, Woods juga mendapat teman-teman baru, semacam tempat hiburan Scores dan perusahaan rokok Corona. ”Secara moral, tidak, tapi secara bisnis, saya sih setuju saja,” ungkap Heather Neisbitt, seorang ibu yang rumahnya tak jauh dari tempat Corona berdiri. ”Ini bar, jelas Corona bukan gereja,” tetangganya, Paul Bidhendi, menambahkan.
Andy Marhaendra (AFP/Golf.com/Forbes)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo