TAPI, orang-orang asing yang membuka usaha di Vietnam harus menghadapi hal-hal yang membuat marah dan frustrasi. Birokrasi di Vietnam, kata para investor asing, paling sulit ditembus di antara negara-negara berkembang. Hanya untuk mendapatkan persetujuan membuka usaha, bisa makan waktu sampai enam bulan. Apalagi untuk mendapatkan tenaga kerja lewat kantor pemerintah, untuk mendapatkan listrik dan telepon. Soal infrastruktur, jangan ditanya. Jaringan jalan di luar kota-kota besar, misalnya, boleh dibilang tak ada. Dan hanya 10% dari seluruh jalan di Vietnam yang diaspal. Ini menyebabkan pengiriman barang atau orang menjadi sangat lambat. Transportasi lewat udara? Perusahaan nasional penerbangan yang bernama Hang Khong Vietnam, oleh para investor asing, dijuluki Hang On Vietnam (artinya, pegang kuatkuat). Soalnya, pesawat yang dipakai adalah pesawat kuno bikinan Soviet, demikian kunonya hingga orang Soviet sendiri ogah naik. Maka, kebanyakan orang asing, jika hendak terbang dari Hanoi ke Kota Ho Chi Minh atau sebaliknya, lebih suka terbang memutar dengan konsekuensi ongkos lebih besar dan waktu lebih panjang. Mereka terbang dengan Thai Airlines, lewat Bangkok. Yang paling membuat orang asing yang membuka bisnis di Vietnam frustrasi adalah sikap bebal pejabat pemerintah. Kata Peter Cappeluti, orang Australia yang jadi manajer pabrik makanan laut dan sayur-sayuran, banyak pejabat Vietnam tidak paham soal kontrak usaha. Tahun 1989, Independent Seafoods, nama pabrik si Cappeluti itu, teken kontrak dengan seorang distributor Vietnam, untuk membeli 750 ton kopi. "Kami teken kontrak dengan harga yang sudah disepakati, tapi ketika tiba saatnya kami menerima kopi itu, tak sebutir pun datang," tutur orang Australia itu. "Ternyata, mereka menjualnya kepada orang lain dengan harga yang lebih mahal. Dan lebih celaka lagi, tak apa pun yang bisa kami perbuat." Itu bisa terjadi karena tiap pejabat, di pusat maupun daerah, menafsirkan undang-undang dan peraturan menurut pikiran masing-masing. Mereka menafsirkannya sedemikian rupa untuk keuntungan masing-masing. Pertengahan tahun lalu, sebuah surat kabar melaporkan, korupsi sejak 1989 menyebabkan pemerintah Vietnam kehilangan US$ 2 milyar. Dan sekitar 10.000 pegawai pemerintah, termasuk tujuh pembantu menteri dan ratusan manajer BUMN, terkena sanksi karena korupsi. Korupsi memang, "Salah satu masalah besar kami," kata Do Duc Dinh, dari Institut Ekonomi Dunia, sebuah lembaga riset di Hanoi. Salah satu bukti jelas korupsi bisa dilihat di toko-toko di Hanoi dan Saigon. Barang-barang luar negeri bisa sampai ke toko itu karena para importir menyuap pejabat, atau para pejabat itu sendiri punya kerja sambilan menyelundupkan barang-barang impor. "Rokok luar negeri resminya dilarang, tapi rokok itu bisa dibeli di mana saja di Vietnam," kata Dinh. Pemerintah Hanoi bukannya diam saja. Sudah pada 1989, Komite Koperasi dan Investasi dibentuk. Tugasnya, menyederhanakan prosedur izin usaha untuk menggiatkan penananam modal, baik modal dalam negeri maupun luar negeri. Kata para pejabat Vietnam sendiri, meski Komite bisa memotong berbelitnya birokrasi, masih perlu diberi gigi agar lebih berwibawa. "Kami berniat mengadakan perbaikan secepat mungkin," kata Nguyen Mai, wakil ketua Komite itu. Mai, yang selalu memakai setelan jasa dan dasi bila masuk kerja, suatu hari, memberi penjelasan kepada calon investor dari Barat. Katanya: "Mengajarkan prinsip doi moi kepada para pejabat kami, seperti mengadakan lomba lari. Ada yang bisa lari kencang, ada yang tidak." Masalahnya, untuk membuat "pejabat lari cepat" itu tak hanya tergantung atasan masing-masing. Sebagaimana di negeri sosialis yang belum menanggalkan ideologinya, Partai Komunis Vietnam merupakan lembaga tertinggi yang mengontrol segalanya. Pengaruh Partai ini luas. Dari kebijaksanaan ekonomi pemerintah sampai pada militer dan sistem pendidikan. Dan para pejabat pemerintah harus jadi anggota Partai, setidaknya menyatakan setia dan tunduk pada semua kebijaksanaan Partai. Dan mempertanyakan kebijaksanaan partai, bukan jawaban yang bisa diperoleh, melainkan penjara atau bahkan lebih buruk daripada itu. Bisa dibayangkan bagaimana dalam keadaan seperti itu inisiatif pribadi dihargai. Resminya, pemerintah Hanoi menyatakan toleran terhadap para intelektual yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Tapi kenyataannya, puluhan akademisi, pemimpin agama, dan wartawan kini berada dalam penjara. Jangan ditanya lagi pejabatpejabat penting Vietnam Selatan dulu. Mereka kini, bila belum mati, berada dalam "kamp pendidikan". November lalu, pengadilan di Saigon menjatuhkan hukuman 20 tahun kerja paksa untuk dr. Nguyen Dan Que, seorang endokrinolog. Dokter ahli hormon ini adalah orang Vietnam pertama yang jadi anggota Amnesty Internasional. Ia dituduh "melakukan aksi subversi terhadap rakyat". Secara tak langsung, itu berarti Dan Que dituduh memfitnah Partai. Tapi, di sisi lain, pemerintah Hanoi mencoba juga memperbaiki soal hak asasi ini. Misalnya, seminggu sebelum pengadilan Dan Que, pihak pengadilan membatalkan pengadilan terhadap Doung Thu Huong, seorang penulis populer di Vietnam kini. Thu Huong ditangkap, beberapa bulan lalu, karena mencoba mengirim tulisan yang mengkritik pemerintah Vietnam ke luar Vietnam. Tahun lalu, surat Thu Huong kepada seorang temannya, entah bagaimana, beredar di Hanoi. Dalam surat itu, penulis wanita itu mengatakan bahwa jutaan orang Vietnam yang berkorban demi kemerdekaan negara ini "tidak akan melakukan hal-hal yang menyebabkan negara dalam keadaan seperti sekarang". Lalu, akhir tahun lalu, pemerintah Hanoi mengumumkan akan memperbolehkan pihak Palang Merah Internasional meninjau kampkamp pendidikan, tempat tahanan politik dipenjarakan sejak akhir Perang Vietnam. Juga ada info bahwa sejumlah tahanan akan segera dibebaskan dan diperbolehkan beremigrasi ke Barat. Sebab semuanya itu tampaknya tak sulit ditebak. Runtuhnya Uni Soviet benar-benar mengharu-biru para pejabat Vietnam. Ini mendorong mereka melakukan hal-hal yang sebelumnya sulit dibayangkan dilakukan oleh pejabat Vietnam. Misalnya, berbaik-baik dengan musuh lamanya, yakni Cina. Bahkan seorang pejabat memuji-muji Cina sebagai negara yang sukses melancarkan swastanisasi sambil tetap berdiri di garis sosialisme. Benar, kata pejabat Vietnam, ada juga cacat Cina, yakni korupsi yang merajalela dan kemarahan masyarakat yang makin menumpuk pada pemimpin mereka yang sudah gaek. Kenyataannya, Cina bisa menaikkan 6% pendapatan nasionalnya pada triwulan pertama tahun lalu, dan terjadi perkembangan di sektor swastanya. Lebih dari itu, sebagian pejabat Komunis Vietnam menganjurkan menengok pada negara Asia lain yang sukses. Disebutnya Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura. Kata pejabat Vietnam itu, meski negara-negara itu diperintah oleh nonkomunis, ternyata berhasil mengembangkan ekonominya. Menurut para diplomat Asia dan Barat di Vietnam, melunaknya sikap Partai Komunis Vietnam karena punya kelebihan dibandingkan dengan partai komunis di negara lain. Partai Komunis Vietnam ternyata bisa menyatukan Vietnam. Karena itu, partai ini tak takut-takut melancarkan reformasi. "Reformasi politik akan terjadi lebih cepat di Vietnam daripada di Cina," kata seorang diplomat Eropa di Hanoi. "Sejarah Vietnam membuktikan bahwa sudah sejak dulu orang Vietnam bisa berhubungan dengan orang asing, karena itu mereka tidak takut terhadap yang dinamakan perubahan." Jalan mana pun yang akan ditempuh Vietnam, keputusan itu akhirnya ada di tangan Hanoi. Ibu kota Vietnam itu bagaikan sebuah hikayat di Asia. Jalan-jalannya yang sepi, dengan pohon asam di kanan-kirinya. Udaranya berbau aroma sop mi dan daging sapi yang disebut pho, yang datang dari kuali logam warung terbuka di pinggir jalan. Juga bau dari bumbu baguette, roti bakar khas Prancis, negeri bekas penjajah Vietnam. Hampir tak ada lagi hal-hal di Hanoi yang mengingatkan pada perang hampir 20 tahun lalu. Kecuali runtuhan pesawat tempur Amerika F111, yang dipajang di Museum Angkatan Darat, dan instrumen sirene di tengah kota, yang dulu berdengung tiap siang untuk mengingatkan rakyat Vietnam agar selalu waspada. Hanoi sesungguhnya sedang berjalan dengan percobaan pasar bebas yang asalnya dari Selatan. Percobaan ini bisa dilihat di tiap sudut kota, meski tanpa lampu-lampu gemerlap seperti di Saigon. Tiga tahun lalu, toko-toko di Hanoi kosong. Tak ada pakaian, mainan anak-anak, dan barang-barang elektronik yang dibutuhkan orang. Toko-toko dan rumah makan, terutama milik pemerintah, tutup sore-sore. Begitu malam turun, suasana jalan-jalan sangat sepi. Kini toko-toko melimpah dengan dagangan. Rumah makan swasta bermunculan, saling menyaingi, buka sampai tengah malam. Dan rumah minum serta tempat-tempat dansa ramai dengan video buatan Jepang, yang memutar film kung fu yang diselundupkan dari Hong Kong. Doi moi jelas juga merayap ke Utara. Dulu, para petani dari Daton, 16 km dari Hanoi, memanfaatkan lubang-lubang di tanah, akibat bombom dari pesawat B-52 Amerika dulu, untuk kolam ikan atau untuk menyimpan air buat ternak, tapi kini tidak lagi. "Tanah kini begitu berharga," kata Tran Van Hanh, 34 tahun, ketua Koperasi Daton, sambil duduk di sebuah ruang pertemuan yang pengap, yang di dindingnya tergantung potret besar Ho Chi Minh. "Kami kini menimbun lubang-lubang itu dan menanaminya dengan padi untuk dijual." Para petani Daton dan puluhan juta petani Vietnam yang lain kini bebas menanam dan menjual hasil sawahnya. Sebelum ketentuan ini diterapkan, Vietnam hampir selalu dilanda kelaparan. Di kota-kota, orang antre di toko-toko sejak matahari belum terbit, agar tak kehabisan jatah bahan makanan. Kini, persisnya sejak 1989, dengan diberinya kebebasan pada para petani, bukan saja makanan cukup, tapi Vietnam siap jadi eksportir beras. Dengan doi moi, petani Vietnam mendapat hak mengerjakan tanahnya secara pribadi, juga memelihara ternak sebagai milik pribadi, bukan lagi milik kolektif. Tak ada lagi kewajiban menyetor hasil panen dalam jumlah tertentu kepada pemerintah. Harga jual pun dibebaskan, tak dikontrol lagi. Hasil panen pun berlipat. Dulu, maksimal hanya terjadi dua kali panen dalam setahun, sedangkan kini tiga kali. Ketua Koperasi Daton, Le Van Bui, yang juga anggota parlemen Vietnam, di samping menanam padi ia juga beternak babi dan ulat sutera. Dan dengan adanya kebebasan berusaha itu, tuturnya, banyak tetangganya bisa membangun rumah baru, membeli sepeda motor atau barang luks lain, yang beberapa tahun lalu tak terbayangkan. Pembicaraan di antara para petani anggota Koperasi Daton bukan lagi bagaimana mereka bisa menanam padi agar cukup untuk makan keluarganya. Tapi bagaimana mereka bisa mengembangbiakkan babi hingga bisa membeli pesawat televisi. Kini, harga pesawat televisi berwarna kira-kira sama dengan tiga ekor babi siap potong. "Karena doi moi, banyak petani jadi kaya," kata Van Bui. "Saya pikir kami tak bisa kembali ke sistem lama. Kini saya tak peduli apakah sistem yang kini dijalankan adalah komunisme atau kapitalisme. Pokoknya, sistem ini membuat orang jadi kaya." PAMAN HO DAN EIVIS PRESIEY Obsesi baru Vietnam untuk mencetak uang tampaknya bergandengan dengan obsesi lain yang berkaitan dengan Amerika. Jarang ~~sekali orang Amerika yang berusaha atau sekadar berdarmawisata ke Vietnam menemukan kebencian, bahkan juga di Utara, yang boleh dikata hampir tiap keluarga setidaknya kehilangan satu anggotanya pada zaman Perang Vietnam. Sebaliknya, di mana-mana orang Amerika menjumpai orang Vietnam yang begitu ingin tahu seperti apa sebenarnya bekas musuh mereka itu. Tiap Minggu sore televisi Vietnam Utara menayangkan pelajaran bahasa Inggris. Acara itu dilanjutkan dengan film seri Hi~hway to Heaven yang dibintangi oleh Michael London. Aktor yang memerankan malaikat yang menjelma menjadi manusia dan suka menolong orang itu (orang Amerika tentu saja) kini sangat populer di antara orang Vietnam. Di Universitas Hanoi, universitas untuk mereka yang memang berbakat dan anak-anak para tokoh nasional, terpampang sebuah tulisan besar dengan kata-kata: "Berperilakulah sebagaimana perilaku Paman Ho." Slogan itu jadi terasa aneh karena tiap pagi yang terdengar dari aula di kampus itu adalah lagu-lagu Elvis Presley dari tape recorder bikinan Jepang. Elvis kini memang sangat populer di Negeri Paman Ho ini, hingga ada penyanyi Vietnam bernama Elvis Phuong, yang juga populer. Bisakah dibayangkan Paman Ho yang bersandal jepit dari bekas ban mobil itu mendengarkan Elvis Presley? Dalam sebuah kelas sekelompok mahasiswa jurusan Inggris tahun keempat tampak sedang membaca Death of Salesman karya Arthur Miller. Tampaknya, para mahasiswa itu kebingungan mencerna isi naskah drama itu, yang mempersoalkan bahwa kapitalismelah yang agaknya membuat hidup Willy Loman -- tokoh dalam drama itu -- jadi neraka. Tapi, bila Anda tanyakan siapa bintang Amerika favorit mereka, akan datang jawaban yang disampaikan secara bersemangat. Clark Gable, Elizabeth Taylor, dan Julia Roberts adalah nama yang paling banyak disebut. Pretty Woman yang dibintangi oleh Julia Roberts tahun lalu ditayangkan oleh televisi Vietnam. Para mahasiswa itu juga bercerita bahwa mereka mendengarkan berita dari radio Suara Amerika dan BBC Inggris. Kebanyakan mereka memang bercita-cita menjadi wartawan atau pengusaha. Tak seorang pun yang ingin menjadi anggota Partai Komunis Vietnam. Tapi kata Peter B. Zinoman, calon doktor dalam Sejarah Asia dari Cornell University yang kini mengajar di Universitas Hanoi, mahasiswa-mahasiswanya itu hanyalah asal menjawab. Ia tak yakin bahwa mereka memberikan jawaban pada wartawan Amerika tentang hal yang sebenarnya. "Saya kira mereka menjawab untuk menyenangkan orang Amerika," kata Zinoman. Lalu ia menjelaskan bahwa menjadi anggota Partai di Vietnam masih merupakan satu-satunya jalur untuk sampai ke jabatan teras di pemerintahan, "dan mereka sebenarnya ingin menjadi pejabat tinggi." Zinoman, dosen sukarela yang sudah tinggal di Hanoi lebih dari setahun, heran, bagaimana semangat kapitalisme dan dambaan untuk menjadi kaya raya yang dulu hidup di Selatan, kini begitu mempengaruhi mahasiswa di Hanoi. Bagi mahasiswa-mahasiswa itu, sebagaimana bagi orang Vietnam umumnya kini, perang melawan Amerika dan permusuhan antara Utara dan Selatan adalah milik masa lalu. Bahkan di Saigon, kota yang diubah namanya untuk mengenang Bapak Kemerdekaan Vietnam Utara Ho Chi Minh, kebencian terhadap Paman Ho sulit ditemukan. Di antara mereka yang kehilangan orangtua atau anak dalam Perang Vietnam melawan tentara Ho pun tampaknya sudah tak ada lagi dendam. Lam Van, pemilik toko sepeda motor itu, sambil mengelap ruji-ruji salah satu barang dagangannya, menceritakan bahwa kakak tercintanya tewas ketika ikut mempertahankan Sai~gon dari serangan Vietkong. Dalam nada bicaranya tak tercermin rasa benci. "Kenapa saya harus membenci Ho?" tanyanya. "Kini adalah saatnya untuk melupakan kebencian. Kami semua kini ingin melupakan perang dan menikmati hidup yang lebih baik," lanjutnya. "Kami ingin kebahagiaan yang lebih, uang yang lebih, dan sepeda motor yang banyak. Dan kami ingin orang Amerika kembali ke Vietnam untuk membantu kami mencapai impian itu." Lam Van menyeringai sambil menunjuk pada sepeda motor Honda yang menderu di jalan depan tokonya. Adalah impian orang Vietnam, katanya, memenuhi jalan dengan sepeda motor Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini