Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Bisikan Langit ke Ziarah Makam

Kata kiai sepuh, Abdurrahman Wahid tak usah menjadi presiden. Tapi dia memilih jalannya sendiri: berziarah ke makam. Dan ia menjadi presiden, kini.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PESONA cerita supernatural membalut seputar proses tokoh Nahdlatul Ulama (NU) K.H. Abdurrahman Wahid, 59 tahun, menjadi Presiden Republik Indonesia, jauh sebelum Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999 digelar. Abdurrahman, yang dicalonkan oleh Fraksi Poros Tengahyang dimotori Amien Rais, mantan Ketua PP Muhammadiyah, membuat para kiai NU berpikir keras sebelum menentukan dukungan terhadap pencalonan si Gus. Apalagi, Abdurrahman sendiri menyatakan siap mencalonkan diri sebagai presiden. Stigma NU-Muhammadiyah menjadi salah satu kendalanya. Pencalonan Abdurrahman memang soal politik yang pelik. Ada tiga calon utama presiden: B.J. Habibie (Golkar), Megawati (PDI Perjuangan), dan Abdurrahman (Poros Tengah). Dalam kalkulasi politik, peluang Abdurrahman untuk menang kecil. Soalnya, PDI Perjuangan adalah partai dengan perolehan suara terbanyak, sedangkan Golkar runner-up. Tapi keberhasilan Amien Rais dari sayap Poros Tengah menduduki kursi Ketua MPR membuat banyak pihak berpikir tentang peluang aliansi politik yang pendukung utamanya parta-partai Islam itu. Pendek kata, waktu itu, pencalonan Abdurrahman adalah peluang sekaligus ancaman. Maka, para kiai NU se-Jawa bermusyawarah di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur, pekan pertama September 1999. Dipimpin K.H. Abdullah Faqih, seorang kiai sepuh yang disegani, musyawarah itu memutuskan Abdurrahman sebaiknya tidak usah maju ke gelanggang pencalonan presiden. Abdurrahman sebaiknya menjadi guru bangsa saja, begitu kata kiai. Keputusan itu muncul setelah beberapa kiai sepuh melangsungkan salat istikharah, salat untuk menentukan sebuah pilihan penting. Namun, "isyarat langit" tak hanya datang dari Pesantren Langitan, tapi juga dari Pesantren Rembang, Jawa Tengah, dan Pesantren Buntet, Jawa Barat. Dan masing-masing mengaku memperoleh "isyarat langit" yang berbeda-beda, bahkan berbenturan. Akhirnya, sekelompok kiai NU berkumpul di kantor Kramat Raya, Jakarta, awal Oktober 1999. Mereka menemui Abdurrahman untuk berkonfirmasi dan bermusyawarah seputar dukungan terhadap cucu pendiri NU itu. Keputusannya, Abdurrahman tetap mencalonkan diri sebagai presiden. Tapi dukungan PB NU baru akan diputuskan para kiai sehari menjelang pemilihan presiden. Namun, Abdurrahman memilih jalannya sendiri. Akhir Oktober, Abdurrahman tiba-tiba berziarah ke makam K.H. Wahid Hasyim, ayahnya, di Jombang. Mengaku tidak bisa melihat sendiri suatu isyarat, Abdurrahman memercayai orang yang melihat isyarat bahwa dia disambut oleh keluarganya secara keroyokan. Jauh sebelum itu, Abdurrahman telah mengunjungi makam K.H. Hasyim Asy'ari, kakeknya. Tapi seseorang entah siapa berbisik bahwa Abdurrahman harus juga menziarahi makam K.H. Wahid Hasyim, Menteri Agama pertama. "Menurut penafsiran saya, dengan begitu, saya pindah fase, dari perjuangan dengan kekuatan rakyat ke arah perjuangan pemerintahan," kata Abdurrahman. Abdurrahman memang dikenal suka mengunjungi para kiai sepuh untuk berkonsultasi. Mereka—sering disebut sebagai kiai waskita, kiai nyentrik, kiai khowaas, atau apa pun namanya—berjumlah sekitar 40 orang. Abdurrahman pun memenuhi undangan Ustad As'aary Muhammad, pemimpin Darul Arqam Malaysia, yang mengaku bertemu dengan Nabi Muhammad dalam mimpi. "Ada pesan-pesan penting untuk saya. Dan saya percaya," kata Abdurrahman. Tapi ke makam untuk apa? "Kegiatan ziarah ke makam adalah bagian dari filter spiritual Gus Dur," kata K.H. Nur Iskandar, sahabat Abdurrahman. Apa pun, Abdurrahman kini berhasil menjadi orang nomor satu di Republik. Seberapa besar saham dunia spiritual itu menopang keberhasilan menjadi presiden? Lupakan jawabannya. Bisa jadi Abdurrahman memakai semua isyarat, konsultasi, atau apa pun dari orang lain sebagai referensi saja. Keputusan akhir tetap ada di tangan Abdurrahman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus