Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mukjizat, Mata Ketiga, dan Sains

Sains modern menemukan mata ke-tiga sebagai kunci untuk mengung-kap misteri mukjizat.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mukjizat adalah misteri sains. Dalam terminologi Islam, mukjizat adalah kekuatan supernatural yang dianugerahkan Tuhan kepada para rasul. Mukjizat Nabi Musa, misalnya, adalah kemampuannya membelah laut dan menciptakan ular dengan sebatang tongkat. Kekuatan supernatural dengan penampakan yang sama yang dimiliki para wali dan sufi disebut karomah. Ahmad ibnu Hanbal, salah satu imam mazhab fikih, menyebut kedua fenomena paranormal itu—begitu terminologi lain dari para ilmuwan—dengan satu istilah: mukjizat. Dalam bahasa Quran, mukjizat adalah suatu kekuatan yang diberikan oleh Allah kepada orang yang Dia kehendaki. Pengertiannya, manusia bersikap sekadar memperolehnya karena diberi oleh Yang Mahakuasa. Penjelasan tentang cara memperoleh kekuatan mukjizat itu sangat sedikit. Para ustad di madrasah mengaitkannya dengan tingkat keimanan seseorang. Quran menjelaskannya secara alegoris lewat, misalnya, kisah Ashabul Kahfi, yang bisa hidup ratusan tahun, atau perawan Maryam yang memperoleh hidangan makanan dari malaikat. Pasca-kenabian Muhammad, sebuah tradisi muncul di kalangan penganut tasawuf, yaitu riyadhoh (latihan olah batin). Lewat latihan spiritual, para sufi, selain memperoleh pencerahan batin, juga sering memiliki mukjizat. Yang paling umum, kemampuan untuk melihat secara tembus pandang (kewaskitaan). Tradisi olah batin itu sejatinya bagian dari peradaban manusia universal. Kalangan umat Hindu di India sejak ribuan tahun lalu memiliki tradisi yoga, suatu seni olah jiwa dan raga. Kalangan Buddha juga mengembangkan varian lain dari yoga. Agama Kristen pun memiliki tradisi mistisisme. Dalam sejarahnya, dunia Barat pada era modern cenderung tidak mempercayai fenomena metafisis sebagai ekses dari peradaban modern yang menimba filsafat positivisme August Comte. Namun, pada abad ke-19, masyarakat Barat kembali melirik filsafat Timur. Jerman adalah negara yang pertama kali memperkenalkan istilah parapsikologi, sebuah istilah untuk fenomena okultisme (klenik). Ketertarikan Barat kepada parapsikologi dimulai sejak Emanuel Swedenborg (1688-1772) mengaku telah berkomunikasi dengan Tuhan dan mengungkapkan konsep semesta yang berkait erat dengan kehidupan setelah kematian. Pada dekade 1960, seiring dengan mewabahnya gairah spiritualisme dengan bantuan suntikan LSD ala kaum hippies di AS, lembaga riset parapsikologi bermunculan. Salah satu obyek penelitian parapsikologi adalah pengalaman psychedelic seperti yang dialami oleh para hippies itu dan penderita epilepsi. Pengalaman semacam itu digambarkan sebagai sebuah serangan yang tiba-tiba, spontan, dan sama sekali tidak disangka-sangka. Tapi, yang menggairahkan riset parapsikologi adalah fenomena para yogi dan guru Zen yang memiliki kekuatan paranormal—bagian dari pengalaman psychedelic itu. Maka, sejumlah resi dan guru meditasi dari Timur pun diboyong ke laboratorium psikologi yang dilengkapi peralatan modern untuk dijadikan obyek riset. Dari sejumlah riset tersebut ditemukan bahwa ada sebuah kelenjar yang bisa mempengaruhi saraf-saraf di dalam otak. Kelenjar pineal, begitu sebutannya, ditemukan mengandung suatu hormon dan suatu neurohumor yang fungsinya berkaitan dengan gairah berahi dan ekstasi. Kelenjar itu juga yang bisa membuat mata ketiga terbuka. Bila mata ini terbuka, dimensi realitas yang sama sekali baru dan "berbeda" akan bisa disaksikan. Istilah mata ketiga bersumber dari terminologi kundalini yoga. Menurut ajaran yoga, ada enam tingkat cakra (semacam simpul-simpul saraf) dalam tubuh manusia. Bila kundalini (sebuah "kekuatan" yang disimbolkan sebagai ular) bisa mencapai tingkat keenam, kemampuan psikis tersebut akan menjelma. Cakra tingkat tertinggi itu terletak di tengah antara kedua mata. Disimbolkan sebagai mata, ia disebut mata ketiga. Kelik M. Nugroho

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus