Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kawasan Pecinan yang Manis

Amrus Natalsya memamerkan relief kayu berwarna tentang kawasan pecinan Jakarta. Ia seorang entrepreneur yang piawai.

26 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PECINAN YANG TERSISA
Pematung:Amrus Natalsya
Tempat:Galeri Mon Décor, Jakarta Utara
SETIAP orang punya kenangan masa kecil yang membuatnya bahagia. Dari Henry Moore sampai Gregorius Sidharta, dari Alexander Calder sampai Amrus Natalsya, tentu semuanya punya cerita masa kecil yang menarik yang boleh jadi sebagai pemicunya untuk menjadi pematung.

Kawasan pecinan di Jakarta Utara, misalnya, adalah kawasan masa kecil yang manis tempat bermain perupa Amrus Natalsya. Bahkan, ia menulis puisi untuk Kiat Sek dan Beny Chung, teman-temannya, sambil mengenang kawasan itu, yang penuh toko-toko gemerlapan dengan lampion-lampion warna-warni. Ia memamerkan 33 batang relief kayu berwarna, di antaranya dua patung, dan satu panel relief sepanjang 10 meter. Selama tujuh tahun (1978-1985), di kiosnya di Pasar Seni, Ancol, Jakarta Utara, Amrus menemukan ekspresi baru itu: relief kayu. Hal ini merupakan bentuk yang lebih mudah untuk diatasi bila bahan kayu untuk patung mulai langka.

Relief kayu itu rata-rata berukuran persegi dan Amrus melukis di atas kayu itu bagai melukis di atas kanvas. Warna merah dan cokelat yang mendominasi adalah warna peradaban Cina seperti yang memengaruhi kerajinan batik di pantai utara Jawa. Relief kayu itu seluruhnya merupakan pemandangan rumah tembok yang khas, jalan raya, dan sungai dengan perahu-perahunya. Kesibukan warga Tionghoa yang menunggu tokonya, warga pribumi yang mendorong gerobaknya, ibu-ibu yang menunggu warungnya, dan tukang perahu yang hilir-mudik di sungai digambarkan Amrus dengan meriah. Dan jangan lupa gadis-gadis Tionghoa cantik dengan rambut berkepang dua tampak mengobrol. Tidak puas dengan yang kecil-kecil, Amrus menghadirkan Jalan Raya Pelabuhan Baru sepanjang 10 meter. Dari sini lalu muncullah kehidupan ekonomi kota tua yang bersejarah itu dengan jalan raya yang panjang dan sungai yang sibuk oleh perahu-perahu dagangnya.

Seluruh relief kayu berwarna itu terdiri atas bilah-bilah papan yang disambung-sambung. Mereka tampak monoton karena taferil dalam atmosfer, tema, dan pengolahan yang sama. Sedangkan dua batang patungnya, yang berbentuk bangunan rumah petak tembok, merupakan karya yang monumental. Satu patung di antaranya tetap mempertahankan warna kayunya, cokelat. Amrus, 66 tahun, biasa membuat "patung taferil". Patung pemandangan itu meliputi perahu, bukit dengan rumah dan pepohonan, rumah susun dengan banyak penghuninya, dan masih sejumlah lagi. Ingat bentuk kuburan Toraja dengan boneka-boneka yang dipajang di bukit? Nah, seperti itulah "patung taferil" karya Amrus. Seperti Togog, pematung Bali, yang meniru tumbuhan dan buah-buahan dari kayu yang dilukis, yang banyak kita temui di supermarket, begitulah Amrus. Keduanya adalah pembaru seni patung.

Amrus sungguh seorang entrepreneur yang piawai. Ia merancang karya yang cocok dengan kondisi sosial dewasa ini, meriset pasar, dan memilih galeri yang memamerkan karya-karyanya. Bahkan, ia dengan tepat memilih Onghokham, sejarawan, untuk menuliskan sejarah pecinan pada katalognya. Ia juga memilih kurator Sri Warso Wahono untuk menuliskan kata pengantar, yang oleh Martha Gunawan, direktur Galeri Mon Décor, dianggap berjasa dalam menyukseskan pameran Amrus. Dari sini Amrus menangguk ratusan juta rupiah dari sekitar 25 batang karyanya yang terjual—satu di antaranya seharga Rp 100 juta. Ini sungguh hasil yang mengejutkan ketika kemerosotan ekonomi dan krisis moneter masih terus berlanjut.

Pada 1970-an, sejumlah pematung Bandung menolak karya-karya Amrus karena muatan tradisinya yang kelewat banyak (Perdebatan Seni Patung Kontemporer, Hendro Wiyanto, 1999, kritikus). Padahal, Amrus, raksasa seni patung Indonesia, adalah aset yang tak ternilai yang karyanya sulit ditafsir. Ia bekerja begitu primitif dengan memahat sendiri satu demi satu takik sebuah gelondongan besar kayu karena ketiadaan biaya untuk menggaji seorang pekerja.

Menurut ukuran seni patung kontemporer, hasilnya juga primitif. Namun, ia bisa saja dikategorikan ke dalam barisan tokoh-tokoh postmo di jajaran dunia mana pun. Memang terbentang lorong waktu yang harus dilayari para pemerhati seni patung untuk sampai bisa menikmati karyanya. Dan lorong waktu itu mengatasi berbagai disiplin pemahaman sehingga terkadang bisa menjebak kita.

Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus