Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Bumi Mengalir Jauh

Kepada polisi, Gayus Tambunan ”bernyanyi” tentang perannya mengatur persoalan pajak perusahaan Grup Bakrie. Komplotannya tersebar di berbagai titik Direktorat Pajak. Selain Gayus, belum ada satu pun yang jadi tersangka.

7 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head1315.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAMU itu datang pada suatu petang awal 2008. Sendirian, pria itu masuk ruang lobi Apartemen Cempaka Mas di kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Gayus Halomoan Tambunan, pegawai menengah Direktorat Pajak Kementerian Keuangan, turun dari kamarnya di lantai 11 dan menyambut sang tamu. Rupanya ia teman dekat Gayus: Alif Kuncoro, pengusaha perbengkelan.

Setelah bertukar kabar hangat, mereka masuk pokok pembicaraan. Sang tamu menyampaikan pesan: perusahaan pertambangan ternama, PT Kaltim Prima Coal, sedang bermasalah di Kantor Pelayanan Pajak untuk Wajib Pajak Besar di Gambir, Jakarta Pusat. Surat ketetapan pajak periode 2001-2005 perusahaan itu tidak keluar karena persoalan kurs. Alif bertanya kepada tuan rumah, apakah bisa membantu membereskan persoalan itu.

Gayus menyatakan sanggup. Kepada polisi yang memeriksanya pada awal April lalu, dia mengatakan langsung beraksi. ”Saya menghubungi Maruli,” katanya. Yang ia maksud adalah Maruli Pandapotan Manurung. Kepala Seksi Pengurangan dan Keberatan pada Direktorat Keberatan dan Banding Kantor Pusat Direktorat Pajak itu adalah atasannya.

PT Kaltim Prima, perusahaan tambang batu bara di Kalimantan Timur, sebenarnya tidak termasuk daftar perusahaan yang ditangani Gayus. Sepanjang 2007-2009, ia menangani proses banding 44 perusahaan wajib pajak. Namanya juga tercantum dalam surat tugas untuk menangani banding 104 perusahaan, walaupun ia mengatakan tidak terlibat dalam prosesnya.

”Order” pertama itu membuka peluang bagi Gayus memperoleh pesanan selanjutnya. Perusahaan yang dia bantu, Kaltim Prima Coal, adalah bagian dari kerajaan bisnis batu bara, Bumi Resources. Pemiliknya keluarga Bakrie. Aburizal, motor utama keluarga itu, kini adalah Ketua Umum Partai Golkar.

Kepada penyidik, Gayus mengatakan membantu membereskan tiga kasus pajak perusahaan Grup Bakrie sepanjang 2008. Selain kasus tertahannya surat ketetapan pajak PT Kaltim Prima Coal, Gayus membantu proses banding PT Bumi Resources di pengadilan pajak serta membuatkan surat pemberitahuan pajak pembetulan untuk pengurusan sunset policy PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia.

Berkat sokongan Gayus dan kelompoknya, ketiga perusahaan Bakrie itu terhindar dari keharusan menyetor pajak plus denda dengan jumlah lebih banyak ke kas negara. Menurut Gayus, tiga perusahaan itu memilih jalur belakang, membayar sogokan melalui mafia pajak setidaknya US$ 7 juta atau sekitar Rp 65 miliar.

Jaringan Gayus tergolong mangkus menjalankan ”orderan klien”-nya. Semua persoalan bisa diselesaikan dengan memuaskan. Proyek pertama, penahanan berlarut-larut atas surat ketetapan pajak PT Kaltim Prima Coal, langsung dibereskan dengan turunnya tim gabungan Inspektorat Pajak dan Direktorat Peraturan Perpajakan ke Kantor Pelayanan Pajak Gambir pada pertengahan 2008.

Di atas kertas, tim ini bertugas mencari tahu penyebab di balik tak kunjung terbitnya surat ketetapan pajak milik perusahaan Bakrie. Namun, menurut pengakuan Gayus kepada polisi, tim ini justru mendesak Kantor Pajak Gambir untuk segera meloloskan PT Kaltim. ”Mereka mengirim surat ke Kantor Pelayanan Pajak Gambir untuk tidak mempersoalkan selisih kurs mata uang dolar dan rupiah,” kata Gayus dalam dokumen pemeriksaan. Padahal selisih penetapan kurs inilah pangkal sengketa antara Kantor Pajak Gambir dan PT Kaltim.

Gayus tidak bekerja sendiri. Pangkatnya yang masih rendah tidak memungkinkannya bergaul rapat dengan para petinggi di kantornya. Dia membutuhkan tangan lain untuk menggerakkan pejabat di atasnya. Ia pun mengenalkan Alif dengan Maruli Pandapotan Manurung, atasannya.

Menurut Gayus, Marulilah yang meminta pembentukan tim khusus untuk memeriksa tindakan Kantor Pajak Gambir menyandera surat ketetapan pajak PT Kaltim. Maruli beberapa kali bertemu Gayus dan Alif di Hotel Peninsula, Slipi, Jakarta Barat, sebelum tim Dirjen Pajak bergerak. Surat ketetapan pajak PT Kaltim Prima Coal akhirnya terbit setelah tim Maruli turun tangan langsung.

Untuk keperluan ini, menurut Gayus, PT Kaltim mengeluarkan setidaknya US$ 2,5 juta melalui Alif Kuncoro. Ia mengaku menerima US$ 500 ribu, Alif mendapat jumlah yang sama, dan Maruli memperoleh US$ 1,5 juta. Semua diserahterimakan di tempat parkir Hotel Peninsula. ”Uang yang saya terima saya simpan dulu di rumah, kemudian setelah beberapa bulan saya setor ke BCA dan Panin,” kata Gayus, seperti dituturkan sumber Tempo.

Sampai akhir pekan lalu, Maruli tak bisa ditemui. Sejumlah sumber Tempo memastikan pegawai pajak ini sudah diperiksa polisi, meski belum ditetapkan menjadi tersangka. Fendy Dharma Saputra, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Gambir ketika itu, menolak berkomentar. ”Ini terkait dengan rahasia jabatan,” katanya. ”Dan lagi, kasusnya sedang dalam pemeriksaan yang berwajib.” Walhasil, patgulipat seputar surat ketetapan pajak PT Kaltim ini memang baru klaim sepihak Gayus.

l l l

KOMPLOTAN Gayus kemudian memuluskan persoalan pajak yang melibatkan PT Bumi Resources. Masih pada 2008, pria berkepala pelontos ini diminta mengurus proses banding Bumi atas penetapan pajak dari pemerintah. Jika kalah, biduk utama armada kelompok Bakrie itu harus membayar ekstra sampai Rp 100 miliar. Order ini lagi-lagi datang dari Alif Kuncoro dan adiknya, Imam Cahyo Maliki.

”Alif meminta saya membuatkan surat banding, surat bantahan, dan diminta berkoordinasi dengan panitera pengadilan pajak, untuk memenangkan Bumi Resources,” kata Gayus dalam pengakuannya kepada polisi. Konsep surat banding dan surat bantahan itu dia ketik di kantornya sendiri, lantai 18 gedung Direktorat Pajak, Kementerian Keuangan.

Untuk memenangkan sang klien di pengadilan, Gayus juga tak bisa bermain sendiri. Maruli jelas tidak bisa dipakai karena order kedua ini membutuhkan akses dan keahlian berbeda. Dengan cerdik, Gayus menghubungi Idris Herawan, panitera pajak Majelis 10 Pengadilan Pajak. ”Saya kenal dia pada saat ikut sidang di sana,” kata Gayus. Kehadiran di pengadilan pajak memang bagian dari tugas Gayus sebagai pegawai penelaah banding.

Pada suatu malam, Alif datang membawa US$ 500 ribu ke apartemen Gayus. Ia juga menitipkan uang dalam jumlah yang sama buat panitera, Idris. Gayus menemui sang panitera di sela-sela istirahat sidang. ”Saya menyampaikan ada pekerjaan banding PT Bumi dan minta tolong agar dia mengatur sampai beres. Idris menyanggupi,” tuturnya kepada polisi. Duit dolar pun disodorkan ke Idris di tempat parkir bawah tanah gedung pengadilan pajak di daerah Senen, Jakarta Pusat. Tak sampai tiga bulan, pengadilan pajak menerima banding PT Bumi Resources.

Idris, yang dihubungi pekan lalu, membantah semua tuduhan Gayus. ”Tidak ada dan tidak tahu,” katanya melalui pesan pendek di telepon seluler. Dia juga menolak keterangan Gayus yang menyatakan Idris menerima US$ 500 ribu. Ia mengirim pesan: ”Saya tidak pernah menerima apa pun.”

Gayus kemudian juga masih sempat membantu dua perusahaan Grup Bakrie, PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, buat menyiapkan surat pemberitahuan pajak pembetulan. Proyek ketiga ini datang menjelang penerapan sunset policy, yakni kebijakan Direktorat Pajak untuk menghapus semua sanksi administrasi pajak, pada 2008.

Gayus lalu ngebut memperbaiki surat pemberitahuan pajak terutang pajak penghasilan di kedua perusahaan itu. Ketika itu, dia mendapat akses penuh atas data laporan keuangan dan pembukuan Kaltim Prima dan Arutmin. ”Saya tahu tindakan saya tidak bisa dibenarkan,” kata Gayus ketika diperiksa penyidik.

Kuasa hukum Gayus, Pia Akbar Nasution, menyatakan otentik semua dokumen pemeriksaan Gayus yang diperoleh Tempo. Namun dia menolak berkomentar atas isinya.

l l l

GAYUS dan Alif kawan lama. Mereka saling mengenal sejak lima tahun lalu dan biasa bertemu di bengkel mobil milik Alif di Jalan KH Abdullah Syafei 50, kawasan Casablanca, Jakarta Selatan. Salah satu mobil Gayus, sebuah Mercedes C180 hitam, dibeli dari Alif Rp 200 juta. ”Saya diperkenalkan seorang kawan pada 2005,” kata Alif dalam pemeriksaan polisi.

Alif tak melulu pengusaha otomotif. Ketika Tempo menemuinya pada pertengahan Maret lalu, dia mengaku terus terang bahwa bisnisnya ada di segala medan. ”Orang bilang saya pengusaha ’palugada’, apa lu mau gua ada,” katanya terkekeh. Sayangnya, ketika hendak dibesuk di tahanan Mabes Polri pekan lalu, Alif menghindar. ”Klien saya trauma,” kata pengacaranya, Rachmat Ruslan.

Dua tahun setelah berkawan dengan Alif, Gayus berkenalan dengan adik Alif, Imam Cahyo Maliki. Imam adalah seorang auditor keuangan lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Rawamangun, Jakarta Timur. Terakhir, dia bekerja di Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta dan Mustofa. Namun, sejak 1999, dia memutuskan berwirausaha sendiri. Dia menjadi auditor keuangan lepas untuk sejumlah perusahaan.

Dua bersaudara inilah yang mempertemukan seorang eksekutif perusahaan Bakrie dengan Gayus. Kebetulan, salah satu wakil presiden bidang keuangan (vice president finance) di PT Bumi Resources, Denny Adrianz, adalah mantan kolega Imam di PT Sunkyong-Keris, sebuah perusahaan tekstil patungan Indonesia-Korea. Pada awal 2008, ketika Denny kelimpungan mencari pegawai Direktorat Pajak yang bisa membantu mengurus masalah pajak perusahaannya, Imam datang menawarkan bantuan.

Pucuk dicita ulam tiba. Kemunculan Gayus Halomoan Tambunan bagai malaikat penyelamat. ”Waktu itu Denny ingin tahu bagaimana mekanisme permohonan keberatan pajak untuk perusahaan dia, Bumi Resources,” kata Imam dalam pemeriksaan polisi.

Menurut Gayus, dia selalu menemui Denny Adrianz bersama kakak-adik Alif-Imam. Mereka pernah makan siang bersama di restoran hotel berbintang di Ibu Kota seperti Four-Seasons dan Ritz-Carlton, Kuningan. Dalam semua pertemuan itu, Denny tak pernah secara terbuka memberikan fulus. Pembayaran semua order Bumi Resources, menurut Gayus, selalu datang dari tangan Alif.

Adapun Denny Adrianz sampai akhir pekan lalu belum bisa ditemui. Tempo menunggui kantornya di lantai 7 Wisma Bakrie II, Kuningan, Jakarta Selatan, tanpa hasil. Surat permohonan wawancara yang dikirim pun tak berbalas. Wenny, sekretaris pribadi Denny, menyatakan bosnya rapat di luar kantor. ”Belum tahu,” katanya ketika ditanya kapan Denny kembali.

Rekayasa pajak yang dilakukan komplotan Gayus memang direncanakan matang agar sulit dilacak. Imbalan untuk mereka selalu dibayar tunai di muka. Selain itu, transaksi selalu dilakukan di tempat yang jauh dari keramaian dan tak pernah melibatkan lebih dari dua orang.

Untuk proyek perdananya, membantu penerbitan surat ketetapan pajak PT Kaltim Prima Coal, misalnya, Gayus mendapat US$ 500 ribu, yang dibayar di depan. Menurut Gayus, atasannya, Maruli, kebagian lebih besar: US$ 1,5 juta. Paket duit tunai itu diserahkan Alif kepada Maruli dan Gayus di basement Hotel Peninsula, Slipi, setelah rapat mereka rampung.

Begitu juga untuk proyek kedua: pemenangan Bumi Resources di pengadilan pajak. Gayus menerima US$ 500 ribu tunai yang dibawakan Alif langsung ke apartemen Gayus di Cempaka Mas, bersama berkas-berkas lain yang dibutuhkannya. Jumlah yang sama diserahkan ke Alif.

Juru bicara PT Bumi Resources, Dileep Srivastava, membantah semua keterangan Gayus tentang rekayasa pajak perusahaan Bakrie. ”Semua tuduhan itu tak berdasar,” kata Dileep. ”Kami menolak semua pernyataan bernada miring seperti itu.”

Dileep menegaskan, semua laporan keuangan, termasuk pajak perusahaannya, selalu diurus dengan transparan dan bisa langsung dinilai oleh publik. ”Kemenangan kami di Mahkamah Agung membuktikan status pajak kami tak bermasalah,” ujarnya. Dia curiga ada motif tertentu di balik beredarnya cerita penyuapan ini. ”Jelas ada sesuatu, karena cerita-cerita ini beredar tak lama setelah kami menang atas Dirjen Pajak.”

Polisi masih terus menelusuri pengakuan Gayus. Sumber Tempo di kepolisian menegaskan, semua orang yang disebut Gayus sudah diperiksa sebagai saksi. Namun belum ada yang ditetapkan menjadi tersangka.

Juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Edward Aritonang, mengakui ada aliran dana dari Gayus ke petugas pengadilan pajak. Namun dia mengaku belum melihat nama tiga perusahaan Bakrie di daftar perusahaan yang disangka bermain mata dengan Gayus.

Wahyu Dhyatmika, Oktamandjaja Wiguna, Dwidjo Utomo Maksum, Sutarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus