Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG itu tak lagi kosong. Bob Yudhita Agung menghadirkan 18 manusia di ruangan berukuran 5 x 5 meter di bagian depan rumah Galeri Srisasanti, Kemang, Jakarta Selatan, itu. Mereka berjejer di sepanjang tiga perempat tembok. Deretan makhluk ciptaan Bob, termasuk anjing di lukisan dan instalasi empat kambing yang dihujani cat di pojok kiri, memamerkan berbagai ekspresi.
Ada yang diam sambil menatap tajam. Ada pula yang mengangkat tangan: simbol perlawanan. Dipertegas dengan empat laki-laki di atas kanvas—terselip di antara deretan lukisan sepanjang lebih dari 10 meter dengan tinggi 160 sentimeter—yang terlihat marah dan siap tempur. Semuanya berdiri di atas tanah subur yang mereka perjuangkan. Seolah berseru seperti judulnya, Jangan Gusur Tanah Kami.
Lukisan itu bagian dari pameran tunggal Bob yang berlangsung hingga 26 Juni di galeri tersebut. Bob menghadirkan belasan karya lain yang dilukis sejak tahun lalu. Kebanyakan lukisannya berbicara tentang kritik terhadap kondisi sosial, hasil pengalaman hidupnya. Tapi ada yang berbeda dengan pameran yang dibuka tepat saat ulang tahun ke-39 Bob, 26 Mei.
Dia masih menyebut dirinya Bob Sick, Bob Si Sakit. Tentu kita ingat torehan tato di setiap mili tubuhnya, hasil kegilaan menjadikan tubuhnya sebagai kanvas bagi seniman tato. Kita juga ingat booming lukisan Bob pada 2007, sampai-sampai orang antre di rumahnya untuk mendapatkan lukisan, mirip-mirip fenomena dukun cilik Ponari. Dalam sebulan, ratusan juta dikantonginya. Bob, yang sebelumnya menggelandang, pun menjadi kaya.
Itu dulu. Selepas booming, lukisannya jarang terjual. Bob mengakuinya. Musababnya, Bob terlalu banyak memproduksi lukisan. Beberapa teman yang dulu ditumpangi jebolan Institut Seni Indonesia ini menjual karyanya yang dititipkan. Krisis global juga menyurutkan niat orang membeli lukisan.
Bob memutuskan masuk manajemen Srisasanti tahun lalu. Pilihannya didasari konsep diri sebagai pabrik yang menghasilkan benda bernama lukisan. Galeri Srisasanti berusaha mempromosikan kembali Bob dan karyanya yang cenderung naif melalui strategi pencitraan. Maka, jadilah tema Bobvarium, gabungan dari nama Bob dan ovarium, indung telur perempuan. Srisasanti agaknya ingin memposisikan Bob yang lebih feminin. ”Kami ingin Bob tak dikenal hanya karena tatonya, tapi juga karena karyanya,” kata Manajer Program Srisasanti Fery Oktanio.
Bob mengaku kemabukannya akibat minuman keras tak seperti dulu yang seolah tanpa batas. Keadaan sadar lebih menjadi pegangannya dalam memoleskan akrilik di atas kanvas. Mungkin kesadaran ini pula yang membuat gaya melukisnya sedikit-banyak berubah meski tetap naif, spontan, dan tanpa sketsa.
Warna-warna pastel nan cerah semacam biru langit, merah darah, kuning cerah, oranye, juga jingga cukup mendominasi lukisan, bahkan mencapai dua pertiga dari keseluruhan yang dipamerkan. Dalam China Town in Central Java, ia menghadirkan lukisan gaya anak-anak yang padat dan karya warna. Ia juga menyelipkan bangunan Crocodile Bar & Resto, sebagai perwujudan mimpinya membuka bar dan kasino bernama Crocodile.
Soal penggunaan warna cerah, Bob hanya memiliki dua alasan: ia sudah punya anak sehingga menjauhi warna gelap dan, ”Mubazir kalau cat mahal tidak aku gunakan,” katanya. Lukisan Bob pun menjadi lebih berbentuk dan tertata. Manis untuk dilihat, dan sedikit menjauh dari kekumuhan ala Bob sebelumnya.
Toh citra kekerasan tetap terlihat dari karyanya. Dalam Konsumeris Tulen Agen Kapitalis yang penuh warna, Bob menggambarkan laki-laki besar bertangan lima menonjok pria besar lain berkaki tiga. Satu sosok lain dihadirkan Bob dengan mengenakan topi dan jas bendera Amerika yang berada di belakang perkelahian.
Bob juga membiarkan lelehan cat mewarnai obyek lain di sejumlah lukisannya. Pada Interaksi, lelehan ini cukup banyak dan menambah suasana getir. Eksperimen yang cukup berani dan sedikit memperkaya makna.
Selain itu, dia masih menghadirkan lukisan kelam semisal Kontes Metro Sexual, yang berisi 21 pejantan bercawat dalam berbagai ukuran. Di antaranya ada yang menggunakan bra dan terkesan perempuan. Tubuh mereka abu-abu, biru, merah, dan cokelat. Berlatar belakang hijau tua-muda, lukisan ini merefleksikan kebanggaan sekaligus eksploitasi kaum Adam terhadap tubuhnya sendiri.
Bob mungkin sedang menjalani perubahan dalam karyanya, sesuatu yang sangat wajar. Tapi Bob tetaplah Bob yang eksentrik. Ia tak akan pernah berhenti melukis meski tak ada pembeli. Bob Si Sakit sekali lagi membuktikan kesakitannya.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo