Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga pria itu duduk dengan tangan dan kaki diborgol. Semua berbaju tahanan biru terang de-ngan celana panjang berwa-r-na gelap. Panel-panel di ruang pengadilan Detroit, Amerika Serikat, memisahkan mereka: Hadianto Djoko Djuliarso, Ignatius Ferdinandus Soeharli, dan Ibrahim Amran.
Hadianto dan Ignatius—keduanya war-ga Indonesia—serta Ibrahim, warga Si-nga-pura, Kamis siang dua pekan lalu itu sedang menghadapi hakim Lesli Kobayashi. Bersama David Beecroft, warga Inggris yang tinggal di Singapura, me-reka didakwa bersekongkol akan menga-palkan peralatan militer dari Amerika ke Indonesia tanpa izin.
Hakim Kobayashi memerintahkan Ha-dianto dan Ibrahim dipindah ke Michigan, kantor pusat perusahaan pemasok kebutuhan militer yang berhubungan de-ngan mereka. Ia juga memerintahkan Ignatius dan Beecroft tetap ditahan, tidak bisa dibebaskan dengan uang jaminan.
Setelah selesai membacakan dakwa-an, Kobayashi menoleh ke Hadianto. ”Apa-kah Anda mengerti akan segera di-bawa ke Michigan?” katanya. Dengan bantuan penerjemah, tersangka yang di-kenal sebagai pengusaha rekanan TNI ini menjawab: ”Saya tak melakukan apa pun.” Sang hakim dengan cepat bilang: ”Silakan, katakan hal itu untuk menjawab dakwaan di Michigan.”
Itulah sidang awal Hadianto dan Ibrahim, yang ditangkap petugas imigr-a-si dan bea cukai Amerika di Hawaii, 9 April lalu. Dua rekannya, Ignatius dan Beecroft, akan menjalani sidang lagi secara terpisah di Detroit, Selasa pekan ini. Mereka ditangkap setelah menggelar negosiasi pembelian radar pesawat tempur dan berbagai senjata dengan utusan sebuah perusahaan senjata di Amerika. Ternyata, di antara mereka terselip pula agen imigrasi yang menyamar.
Tak hanya mengurus pembelian radar pesawat F-5 pesanan TNI Angkatan Udara, para tersangka juga mengintip peralatan lain. Mereka sempat menjajaki pembelian peluru kendali Sidewinder, senapan mesin MP-5, dan senjata khusus penembak jitu. Beecroft ikut hadir untuk mengatur penga-palan barang itu ke Singapura. ”Orang-orang itu siap, berniat, serta mampu membeli senjata dan membawanya ke luar Amerika,” kata jaksa Stephen Murphy. Dia juga bilang: ”Pada saat barang dipesan, Indonesia masih diembargo sehingga ekspor senjata dari Amerika ke Indonesia melanggar hukum.”
Itu sebabnya keempat tersangka dinilai telah melanggar Undang-Undang Peng-awasan Ekspor Senjata Amer-ika Se-rikat. Mereka terancam hukuman mak-simal lima tahun penjara dan denda US$ 250 ribu atau sekitar Rp 2,25 miliar. Hadianto dan Ibrahim juga dituduh melanggar aturan ekspor dan melakukan tindak pidana pencucian uang. Ancaman hukumannya 10 tahun penjara dan denda US$ 1 juta atau Rp 9 miliar. Adapun orang yang melakukan pencucian uang diancam maksimal 20 tahun penjara dan denda US$ 250 ribu.
Sebenarnya dua perwira TNI Angkat-an Udara, yakni Letkol Hadi Suwito dan Letkol Edi Supriyanto, yang ikut dalam rombongan Hadianto, juga sempat ditangkap. Namun, keduanya dilepaskan setelah menunjukkan paspor dinas dan surat tugas mereka. Hingga akhir pekan lalu, Tempo belum bisa mewawancarai dua perwira Angkatan Udara ini. Ketika Tempo mendatangi kompleks Pang-kalan Udara Iswahyudi, Madiun, Letnan Kolonel Edi Supriyanto tak ada di rumah. Atasannya, Komandan Depo 21 Kolonel Yunus, juga tak mengizinkan ia menemui wartawan.
Penangkapan terhadap Hadianto dan kawan-kawannya amat mengejutkan ka-rena mereka dikenal sebagai peng-usaha rekanan TNI. Sebagai bos PT Ata-ru Indonesia, Hadianto bahkan telah me-ngantongi kontrak untuk pembe-li-an sembilan radar pesawat tempur F-5. Berdasarkan dokumen kontrak yang diperoleh Tempo, nilai total untuk barang-barang itu mencapai US$ 355.518 atau sekitar Rp 3,5 miliar. Tapi, ”Kami tidak memesan barang-barang yang lainnya,” kata Kepala Staf Angkat-an Udara, Marsekal Herman Pra-yitno, Rabu pekan lalu.
Kontrak pembelian radar itu ditandatangani sendiri oleh Herman—saat itu Wakil KSAU—dan Hadianto, Direktur Utama PT Ataru, pada 30 November 2005. Di situ disebutkan, Ataru bertindak sebagai wakil Indodial Pte Ltd, perusahaan Singapura tempat Ibrahim Amran menjadi direktur.
Menurut perjanjian, barang pesa-nan sudah harus tersedia pada akhir Juli tahun ini. Pembayaran akan dilakukan dua kali: 60 persen setelah material kontrak dikirimkan, dan sisanya setelah se-mua barang sampai ke gudang Angkat-an Udara dalam keadaan baik. PT Sagita Raya Transport Services ditunjuk sebagai perusahaan pengangkut, dengan asuransi PT Asuransi Intra Asia.
Kontrak ini pun diketahui oleh Depar-temen Pertahanan. Itu karena pada 15 De-sember 2005 Asisten Logistik Kepala Staf Umum TNI, Marsekal Muda K. Inu-groho, menyurati Direktur Jenderal Pe-ren-canaan Sistem Pertahanan. Isinya, per-mintaan untuk menyetujui pembukaan surat utang alias letter of credit.
Untuk memenuhi pesanan TNI Angkatan Udara, PT Ataru lalu berhubung-an dengan Orchard Logistic Service, per-usahaan pemasok berbagai kebutuhan militer yang berkantor pusat di Michigan. Itu sebabnya, Hadianto dan Ibrahim akan segera dikirim ke pengadilan di sana.
Dalam negosiasi, ternyata Orchard Logistic juga menawarkan produk lain kepada Ataru. Di antaranya senapan me-sin MP-5, bom tipe MK, serta pel-uru kendali Sidewinder dan Maverick. ”Daftar item-nya sampai 310 jenis,” kata Hoedaifah Koeddah, kakak ipar Hadianto.
Menurut versi TNI, gara-gara menjajaki berbagai jenis senjata itulah Hadianto cs. kemudian ditangkap. Marsekal Herman menegaskan, pihaknya tak me-mesan barang-barang selain radar. Dua letnan kolonel yang pergi bersama mere-ka juga hanya mengecek radar. ”Kedu-a-nya memang sempat melihat demo senjata MP-5 di Hawaii. Tapi mereka hanya menjadi penonton pasif,” ujar Herman.
Lalu, untuk siapa peluru kendali dan berbagai senjata yang dilirik Hadianto? Mungkin senjata itu dibeli oleh Ataru untuk persediaan. Seorang sumber yang mengetahui bisnis senjata menduga, Ha-dianto telah memperoleh informasi tentang berbagai kebutuhan yang akan dibeli TNI. ”Jadi, sekalian saja mereka ber-belanja barang-barang itu,” katanya. Da-lam bisnis senjata, praktek ini dikenal sebagai ”ijon”—diambil dari istilah tengkulak yang membeli hasil pertanian jauh sebelum produk itu bisa dipanen.
Menurut Emir Moeis, Ketua Pa-nitia Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, pembelian peluru kendali dan senjata me-mang masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2005. ”Anggarannya masuk dalam pos alat utama sistem persenjataan,” kata politisi PDI Perjuangan itu.
Juru bicara TNI-AU, Marsekal Pertama Sagom Tamboen, pun membenarkan bahwa pembelian Sidewinder akan diusulkan tahun depan. ”Karena embargo senjata oleh Amerika telah dicabut November tahun lalu,” ia menambahkan.
Hanya, Hoedaifah membantah dugaan PT Ataru berbelanja senjata untuk per-sediaan. Menurut dia, kontrak dengan Orchard Logistic tak bisa dilakukan sebelum ada pembeli di Indonesia. ”Seba-gai pedagang, kami hanya mengumpulkan semua data dan berbagai kemungkinan,” ujarnya.
Kini keluarga Hadianto tengah sibuk menyiapkan pengacara baru. Rupanya mereka menolak pengacara yang disiapkan pengadilan Detroit. ”Sebab, kami be-lum pernah mengenal kiprahnya,” kata Hoedaifah. Setelah berkonsul-tasi dengan Profesor Kemal Roemawi, Ke-tua Parliament Watch Indonesia, mereka lalu menunjuk pengacara Alfred A. Cala-bro, yang bermarkas di California.
Dialah yang menemani Hadianto da-lam persidangan di Michigan nanti. Di sana pula nasib pengusaha rekanan TNI ini akan ditentukan.
Budi Setyarso, Eduardus K. Dewanto, Wahyu D., Fanny Febiana, dan Faturrohman Taufiq (Madiun)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo