Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sherlock Holmes memang terkenal dengan kaca pembesar. Detektif swasta rekaan Arthur Conan Doyle itu digambarkan membawa suryakanta ke mana-mana. Tapi dia "hidup" 125 tahun lalu, ketika teknologi masih sangat sederhana. Kini para detektif partikelir sudah memiliki alat secanggih milik James Bond—tokoh intelijen Inggris dalam novel Ian Fleming.
"Anak-cucu" Holmes di Indonesia tidak ketinggalan. Salah satu teknologi pendukung aksi detektif partikelir adalah perangkat Global Positioning System (GPS). Detektif CJ Ryon termasuk yang ahli memanfaatkan teknologi ini. Dia memasang chip GPS ke bordiran celana dalam yang dikenakan agen perempuannya. "Saya merakitnya sendiri," ujar Ryon.
Menurut Ryon, mengeksplorasi teknologi GPS amat mudah. Apalagi alatnya gampang didapat, meski tidak dibeli di dalam negeri. Ryon membeli chip itu dari Cina dengan harga US$ 500. "Chip cukup kecil, sebesar permen Sugus," katanya. Itulah mengapa chip ini mudah ia sematkan ke celana dalam yang ia beli di mal di Jakarta.
Dalam pemrosesannya, chip GPS ini nantinya terhubung ke transmiter kecil, yang sudah satu paket dengan pembelian chip. Peralatan ini bisa dijalankan dengan komputer dan terkoneksi dengan Google Maps. Dari peta online itulah ia bisa tahu persis titik koordinat celana dalam tersebut berada. "Namun transmiter kecil ini cuma bisa mencakup beberapa kilometer. Jadi, kita harus mendekati si pemakai GPS agar tidak kehilangan jejak," ujarnya.
Yang lebih canggih adalah peralatan milik Loreen Neville. Perangkat GPS miliknya memang jauh lebih mahal ketimbang punya Ryon. Ia membeli paket GPS beserta desain program website-nya Rp 27 juta. "Yang mahal sistem desainnya," katanya. Program di komputernya itu tersambung ke satelit dan bisa melihat lebih terperinci titik koordinat alat GPS berada.
Menurut dia, cakupan wilayah GPS-nya mencapai seluruh Jakarta, bahkan di luar kota juga masih terlacak. "Jadi, target tidak akan lolos," ujar Loreen sembari menunjukkan contoh posisi sang target kepada Tempo, di kantornya, di bilangan Jakarta Selatan, pekan silam.
Ada juga alat yang bernama infrared voice interceptor. Alat seharga Rp 60 juta ini dipakai Ryon dalam beberapa kasus berat. Bentuk alatnya seperti tripod kamera ukuran sedang. Komponen alat ini ada dua. Fungsi teknologi buatan Negeri Abang Sam ini cukup canggih, yakni bisa merekam suara dari balik dinding dan kaca, bahkan dari gedung sebelah.
Cara menggunakannya cukup menembakkan gelombang inframerah ke kaca ruangan yang dituju. "Satu alat menembakkan sinarnya, satunya lagi menerima sinar balik itu, sekaligus menghantarkan suara. Alat ini bisa merekam cukup lama," kata Ryon. Hasil rekaman suara dari alat ini, menurut dia, cukup jernih. Hal itu karena tenaga yang dipakai alat ini bisa memakai listrik ataupun baterai. "Jadi, tenaganya tak terbatas," ujarnya.
Alat berikutnya yang dipakai Ryon adalah penyadap telepon seluler atau cellular interceptor. Ia mengatakan bentuk alat ini seperti dua koper besar yang memiliki antena. Dengan teknologi ini, ia bisa menyadap gelombang radio telepon seluler yang radiusnya sekitar 2,5 kilometer dari letak alat itu berada. "Bisa merekam suara dan SMS. Pokoknya canggih," katanya.
Ryon amat jarang memakai teknologi penyadapan senilai miliaran rupiah ini karena takut melanggar hukum. Ia harus meminta izin instansi yang berwenang jika ingin memakai alat tersebut.
Teknologi lain yang diketahui Ryon adalah pelacakan menggunakan virtual base transceiver station (BTS). Pelacakan ini berbasis menara-menara BTS operator seluler. Bentuk alatnya seperti radio komunikasi handy-talky (HT). Di HT itu ada monitor untuk melihat kekuatan sinyal nomor telepon yang dimaksud. "Ada audio analyzer-nya," kata Ryon, yang tidak memiliki alat ini. Namun ia yakin ada beberapa private investigator di Indonesia yang memakainya untuk melacak target. Seperti halnya alat penyadap, penggunaan alat ini tak boleh sembarangan.
Alat lain yang dimiliki Ryon adalah beberapa kamera single-lens reflex dengan telephoto, nightshot camera atau infrared camera, dan juga alat rekam. Ciri khas dia adalah selalu menenteng ponsel andalannya, Sonim XP3, yang tahan banting dan lempar.
Berbeda dengan Ryon, Loreen amat anti-teknologi buatan Cina. Dia tidak percaya kepada kemampuan kamera yang ada di kancing baju dan pulpen. "Hasilnya tidak bagus," tuturnya. Ia lebih percaya kepada Lumix Camera Panasonic yang beresolusi 20 megapiksel miliknya seharga Rp 6 juta. Kamera itu bisa dipakai memotret di tempat gelap tanpa kilat, baik jarak dekat maupun jauh.
Namun alat favorit dia adalah kacamata hitam yang dilengkapi fasilitas kamera dan video. "Kualitas kamera dan videonya bagus dalam keadaan terang, tidak ada flash, mudah dibawa ke mana-mana, dan dapat mengelabui subyek," ujarnya.
Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo