Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasijanto Sastrodinomo*
FILM dokumenter Batik Our Love Story garapan Nia Dinata yang diputar di layar televisi beberapa waktu lalu menggugah pertanyaan: seberapa dalam cinta kita kepada batik. Pertanyaan ini penting karena UNESCO—badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu, dan kebudayaan—telah mengesahkan Indonesia sebagai ahli waris budaya perbatikan menyusul perselisihan kita dengan Malaysia yang mendaku hak pewarisan yang sama. Dengan pengesahan itu kita patut makin yakin sekaligus bertanggung jawab bahwa batik harus dijaga karena memang cinta kita.
Dari segi bahasa, khususnya khazanah kata, isyarat rasa cinta itu cukup terukur. Hampir semua istilah tentang batik telah dibukukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Pusat (sekarang Badan) Bahasa. Lema batik beserta turunannya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia jauh lebih kaya ketimbang Kamus Dewan (Edisi IV, 2005) terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka, Malaysia. Artinya, langsung atau tak langsung Kamus Besar Bahasa Indonesia telah ikut mengukuhkan keabsahan pemilikan kultural kita atas batik. Bahkan, sebelum terjadi silang pendapat dengan negeri jiran tentang hak pewarisan itu, Kamus Indonesia sejatinya juga "siap tempur" berhadapan dengan kamus resmi Melayu tersebut.
Kedua kamus itu memuat lema pokok batik dengan uraian arti yang agak berbeda meski pokok pengertiannya sama: "kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu" (Kamus Besar Bahasa Indonesia); bandingkan dengan apa yang tertulis di Kamus Dewan: "kain yang bercorak (dilukis atau ditera dengan lilin dan dicelup". Kedua kamus juga menurunkan sublema serupa: membatik, batikan, pembatik, dan pembatikan (lihat arti masing-masing kata pada kedua kamus). Sampai di sini, kedua kamus itu memiliki persamaan substantif dalam memerikan lema pokok batik dan turunan dekatnya.
Perbedaan mulai terlihat dalam contoh corak batik. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut batik-batik gaya Pekalongan, Sala, dan Yogya; Kamus Dewan pun memasukkan batik Yogya, ditambah Semarang. Pada sublema batik Semarang ini Kamus Dewan menambahkan bentuk peribahasa dengan arti "janda yang lebih cantik daripada semasa gadis"—yang tidak ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Perbedaan juga tampak pada contoh batik Kelantan dalam Kamus Dewan. Bisa dimengerti karena Kelantan, selain Trengganu, merupakan pusat industri batik di Tanah Melayu sejak awal abad ke-20. Namun, jangan lupa, penyebar "virus" batik di negeri itu adalah Raden Mukhtar asal Jawa (lihat tulisan Abdullah bin Mohamed dalam Warisan Kelantan, IX, 1990).
Selebihnya, lema/sublema tentang perbatikan banyak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Benar, Kamus Dewan memasukkan beberapa unsur yang terkait dengan batik, tetapi penjelasannya samar. Lema canting, misalnya, menurut Kamus Dewan adalah "alat daripada tembaga yang digunakan sebagai bekas lilin cair untuk melukis corak pada kain"—tanpa "batik". Bandingkan dengan Kamus Indonesia yang lebih eksplisit menyebut sebagai alat membatik: "pencedok lilin yang bercarat, dibuat dari tembaga (alat untuk membatik)." Lebih lengkap lagi, Kamus Besar BI memerinci jenis canting: cecekan, isèn, liman, loron, obyok, prapatan, rengrengan, telon, témbokan, dan tenteng. Deretan istilah ragam canting ini tak tersua satu pun dalam Kamus Dewan.
Kekayaan istilah perbatikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Dewan makin jauh bila dilihat pada lema tentang teknik pembuatan batik. Kamus Indonesia mempunyai entri babar, membabar dengan arti mewarnai kain bahan batik dengan soga. Kata yang sama ditemukan dalam Kamus Dewan tetapi dalam arti yang berbeda, yakni "membanting, mengembang; membentangkan, mengembangkan". Tak ada istilah rengrengan dalam Kamus Dewan, tetapi masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengacu rancangan gambar pada kain mori yang akan dibatik. Pada istilah lorot, Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan "membuang lilin pada kain batik sesudah diwarnakan". Kamus Dewan sepakat tentang soal ini seraya mengakui bahwa lorot adalah kosakata Jawa.
Jika demikian, telah totalkah cinta KBBI kepada batik? Belum sepenuhnya. Kepalang tanggung, kamus itu perlu menambah lema tentang proses pembuatan batik, seperti ngloyor, ngemplong, nerusi, némb medel, dan mbironi. Belum lagi peralatan yang lazim digunakan untuk membatik. Bukankah kita juga diwarisi Serat Amratélakaken Anjoga, Angetèl toewin Adamel Sindjang Sekaran mawi Boemboe-boemboenipoen, anggitan saking Soerakarta (1902), atau risalah Recept Batik: Babaran Roepa-roepa Kleur antero Model jang Paling Baroe dan Practis (1937), karangan Liem Boen Hwat, yang bisa dirujuk. Kelengkapan informasi ini niscaya membuat siapa pun yang mengaku-aku sebagai ahli waris batik bakal tak berkutik.
Dilihat dari momentum perbalahan dengan negeri tetangga soal siapa yang berhak atas warisan batik, kolom ini mungkin terlambat ditulis. Namun, yang penting ada pelajaran yang bisa menyadarkan kita: dengan lema yang lengkap dan terperinci, sebuah kamus bisa menjadi "amunisi" kultural dalam menghadapi suatu persoalan. Maka, istilah budaya Nusantara yang lain, atau bidang apa pun, perlu digali lebih luas sebagai bahan khazanah lema kamus kita. Dengan ini pula ingin ditunjukkan bahwa bahasa, bukan slogan, memang punya peran nyata membangun identitas bangsa.
*Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo