Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menjadi detektif profesional itu artinya bersedia melakukan apa saja untuk mendapatkan informasi yang diinginkan klien. Cara apa pun harus dilakukan, termasuk yang sangat memalukan. Itu pernah dialami Wiryono Sudianto alias CJ Ryon, pemilik perusahaan penyelidik swasta Panca Indera. Dia pernah menyamar menjadi penari telanjang—tentu harus melepas seluruh busana kecuali secarik kancut.
Syahdan, dia mendapat pekerjaan dari seorang lelaki yang curiga istrinya main serong. Tak tanggung-tanggung, sang istri suka jajan di Bangkok, menyewa gigolo-gigolo negeri tersebut. Salah satu pusat transaksinya adalah sebuah klub malam. Nah, untuk bisa mengamati gerak-gerik sasaran di tempat itu tanpa harus dicurigai, Ryon pun menyamar menjadi penari telanjang.
Selama dua pekan, ia harus memakai baju seksi dan bersiap memuaskan mata nakal tetamu klub. ”Untungnya, saya tidak sempat tampil di atas panggung. Padahal pakaiannya sudah semi-telanjang," ujarnya. Mujurnya lagi, penyamaran itu membuahkan hasil. Targetnya, yang merupakan sosialita Ibu Kota, didapatinya kerap menyewa gigolo di tempat itu. Setelah tawar-menawar dan harga pas, mereka pergi ke hotel.
Hal yang mirip pernah dialami AJ Cacio, wanita asal Italia yang dua tahun lalu mendirikan Gecko Investigations di Bali. Dia pernah menyamar menjadi pelacur. Entah karena dandanannya kurang seksi atau memang ia tak punya bakat membangkitkan gairah lawan jenis, AJ justru ditawar dengan harga yang jauh di bawah standar. "Murah amat," katanya sambil tertawa.
Tentu saja AJ tidak tersinggung. Baginya, itu justru menunjukkan dia berhasil memerankan sosok yang diinginkan. AJ mengaku amat menikmati penyamaran dengan identitas lain. Dia punya ratusan kartu nama palsu, rambut palsu, tas palsu, bahkan kisah hidup palsu. Dengan keahliannya ini, AJ pernah menyamar menjadi pecandu narkoba, bekas tahanan, reporter, dan lainnya. Di Indonesia, terkadang AJ merasa diuntungkan dengan warna kulitnya. Sebab, ia bisa menyamar menjadi turis asing yang pura-pura tersesat.
Tapi tak semua teknik penyamaran bisa diterapkan di Indonesia. Sebagai contoh, di Indonesia mustahil melakukan pengawasan dari sebuah van berjendela gelap di pinggir jalan. Sebab, para tetangga selalu usil dan memperhatikan gerak-geriknya. Sedangkan di Amerika berlaku sebaliknya. "Tiga hari van tidak bergerak pun tidak pernah mendapat perhatian," ujarnya.
Salah satu aset investigator adalah kerahasiaan. Itulah mengapa sampai kini AJ menutup betul identitas aslinya, termasuk wajahnya. Ia hanya bersedia diwawancarai, tanpa mau difoto.
Lain lagi dengan Loreen Neville Djunaidi, 52 tahun. Wajah pendiri kelompok detektif partikelir PT Guard Force Indonesia ini sudah dikenali pemilik toko obat di daerah Pramuka dan Blok M, Jakarta. Pasalnya, ia kerap menyamar untuk menyelidiki peredaran obat palsu di dua tempat tersebut.
Kadang kendala seperti ini bisa diakali dengan mengubah penampilan. Dalam beberapa kasus, Loreen tidak lupa membawa wig beragam warna dan kacamata pengubah bentuk wajah. Jika ini juga tak mempan, ia pun mengerahkan para agennya. "Agen juga harus ahli akting," ujar Loreen, yang kini sedang menangani 30 kasus penipuan sejumlah lembaga keuangan.
Loreen biasanya dibantu empat agen, satu perempuan dan tiga laki-laki. Mereka kerap berganti peran. Dalam pengejaran seorang anggota sindikat obat jantung palsu yang baru-baru ini dilakukan, misalnya, ada yang menyamar menjadi gembel, tukang sapu jalan raya, dan tamu sebuah apartemen di Taman Anggrek, Jakarta Barat.
Waktu itu, tim menargetkan harus bisa memfoto pintu kamar si anggota sindikat. Caranya, satu orang, yang pura-pura menjadi tamu di lobi, mengikuti penghuni apartemen yang memiliki kartu akses untuk naik lift. Ia sendiri yang bertugas memfoto pintu target. Sedangkan satu agen perempuan menunggu di lobi mengawasi keadaan.
Celakanya, Loreen kepergok karena tidak memiliki kartu akses lift apartemen. Menyamarlah dia menjadi turis asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia. "Akhirnya lolos, meski jantung ini berdebar," kata Loreen.
Dengan para agen, Loreen memiliki beberapa perjanjian. Intinya, agen tidak boleh buka suara kepada siapa pun dan harus menghancurkan barang bukti jika kepergok. "Tidak boleh juga menyebut nama perusahaan dan saya," ujarnya.
Disangka turis asing seperti Loreen masih keren. Ryon pernah sial. Saat mengintai kasus perebutan warisan, dia justru disangka maling. Walhasil, pria 40 tahun ini dikejar-kejar anggota satpam sebuah perumahan elite. Meski hampir digebuki, dia tetap bisa menutup mulut menjaga rahasia kliennya. "Padahal deg-degannya setengah mati," ujar Ryon. Dia akhirnya bebas karena mengaku sedang tersesat. "Untungnya pada percaya," kisahnya.
Dari mana mereka mendapatkan ilmu penyelidikan itu? AJ pernah bekerja selama satu tahun untuk Departemen Investigasi Kriminal (CID) Kepolisian Florida Selatan. Karena itu, ia memiliki banyak keahlian. Sebut saja teknik pemeriksaan poligraf, sidik jari, teknologi informasi, dan investigasi pembunuhan. Ia juga pernah magang di sebuah agen investigasi swasta terkemuka di Miami selama dua tahun. "Saya menjadi detektif swasta berlisensi penuh di Florida pada 1999," kata AJ, 37 tahun.
Loreen kurang-lebih sama. Selain pernah menjadi wartawan, ia pernah menjadi anggota CID Singapura.
Lain lagi dengan Ryon. Sebelum terjun ke dunia investigasi, ia pekerja kantoran. Pria flamboyan ini pernah menjabat manajer dan direktur di sebuah perusahaan di Jakarta. Ryon berpikir, kalau terus bekerja pada orang lain, dia tidak akan menjadi kaya. Ia pun beralih menjadi detektif swasta. "Saya menyukai dunia investigasi sejak SMA," ujar Ryon, sarjana teknologi informasi.
Saat Panca Indera didirikan, semua orang mencemooh karena menganggap yang dikerjakannya hanyalah mimpi. Pada saat itu, kata Ryon, detektif swasta di Indonesia hanya ada di novel. Maka ia memulainya dengan bergerak di bawah tanah—karena situasi yang masih tidak jelas. "Kasus dan klien pun masih teman atau kenalan saja," ujarnya.
Skill menjadi detektif dipelajarinya di lapangan. Sama seperti profesi lain, ia memandang, semua bisa dipelajari, tapi yang berhasil adalah yang berbakat. Ryon banyak belajar dari para koleganya di World Detective Association, International Organization of Private Intelligence Agencies, dan Close Protection Course, yang berdomisili di Amerika dan Jerman.
Dari beberapa kali kursus di lembaga-lembaga itu, Ryon belajar bagaimana menjadi detektif profesional. Termasuk bagaimana melakukan penyadapan dan penyamaran. Meski begitu, ia tidak serta-merta mempraktekkan keahliannya itu di Indonesia, karena terbentur larangan. Ia akan melakukannya kalau sudah melalui proses izin institusi terkait.
Untung, untuk menjadi penari telanjang, dia tak harus minta izin.
Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo